Ubi dan orang desa adalah makhluk dengan nasib yang sama. Sama-sama tidak kedengaran di pentas nasional. Sama-sama tidak kedengaran suaranya karena tertimbun di bawah tanah dan kemiskinan.
***
Tidak penting jadi terkenal. Tidak penting jadi selebritas. Yang penting bisa bermanfaat bagi manusia lewat apa pun itu caranya. Lewat tenaga, pikiran atau harta benda.
Seperti halnya ubi, tidak penting dia harus ada di supermarket atau tidak. Tidak penting dia harus masuk sebagai komoditas ekspor atau tidak. Selama ia mengenyangkan orang desa dan penulis Kompasiana Junior seperti saya, ia tetap berharga.
Maka peran dan fungsi eksistensial dari makhluk itu tidak harus dibarengi dengan kemegahan dan gemerlapnya gelar dan jabatan. Selama ada orang yang merasa terbantu dan mengambil manfaat secara positif dari makhluk tersebut, maka ia adalah makhluk yang sama-sama berguna.
***
Ubi layak untuk dihormati sebagaimana manusia menghormati sesamanya. Menghormati sesama tidak harus melihat status sosial dan derajat ekonominya. Menghormati sesama tidak harus melihat popularitasnya.
Selama sesama itu masuk dalam klasifikasi manusia dan makhluk Tuhan, mereka berhak mendapatkan penghormatan yang selayaknya. Layak sebagaimana menghargai ubi sesuai dengan fungsi dan peranannya sebagai menu sambilan.
Penghormatan terhadap ubi tidak harus dibuatkan undang-undang. Apalagi memaksa manusia untuk menghormatinya. Ubi tidak menuntut demikian. Ia hanya "menuntut" dianggap sebagai makhluk Tuhan.
Ia juga tidak akan tersinggung jika dilempar atau diinjak oleh manusia. Ubi rela menerima segala perlakuan manusia tidak beradab dan tidak beretika. Ubi tidak protes terhadap semua itu. Toh biar Tuhan saja yang akan menghukum manusia yang melecehkan ubi dan menghinakannya.
***