Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tentang Kritik dan Kriminalisasi terhadap Kehormatan Dewan

14 Februari 2018   19:30 Diperbarui: 14 Februari 2018   19:55 1436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung DPR RI (hidayatullah.com)

Sebagian kalangan heboh dalam beberapa hari ini mengenai UU MD3. kehebohan ini terutama dalam tiga hal; imunitas anggota DPR, DPR bisa memaksa siapa saja untuk menghadirkan institusi atau perorangan ke dalam rapat dan persidangannya dan tentang akibat hukum yang akan timbul karena menghina DPR atau anggota DPR.

Reaksi ini wajar saja terjadi. Masyarakat selalu menanggapi hal-hal yang baru di dalam dua kutub berbeda. Ada yang pro dan ada yang kontra. Sama-sama keduanya punya argumen.

Salah satu hal menarik terkait dengan UUD MD3 ini menurut saya adalah pasal tentang seseorang atau institusi bisa diperkarakan apabila ditengarai menghina atau melecehkan DPR atau anggotanya.

Polemik ini kemudian mengandung beragam tafsir. Ada yang mengatakan DPR anti kritik, ada yang mengatakan DPR membunuh demokrasi, ada yang mengatakan DPR menjadi super body yang tidak bisa salah.

***

Menurut satu media massa online (Viva, 12,14/02/2018), Fadli Zon selaku Wakil Ketua DPR mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kandungan pasal mengenai penghinaan DPR atau anggotanya itu adalah kriminalisasi terhadap fungsi DPR sebagai lembaga dalam mengkritisi pemerintah.

Kata kuncinya adalah kriminalisasi tupoksi DPR. Jadi bukan berarti DPR anti kritik namun jangan melakukan kriminalisasi terhadap tugas dan tanggung jawab DPR sebagai lembaga yang mengontrol pemerintah.

Kriminalisasi itu apa? Menurut KBBI kata itu berarti "proses yang memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat."

Berarti ketika anggota DPR melakukan fungsi kritis terhadap pemerintah, maka jangan sampai hal tersebut diopinikan dan diolah sedemikian rupa menjadi seperti tindakan yang bermuatan kriminal kepada pemerintah. Hal itu sudah merupakan upaya kriminalisasi terhadap anggota DPR yang sedang menjalankan tugasnya.

Misalnya saja, ketika DPR atau anggota DPR mengkritisi kebijakan dan kinerja Jokowi, itu tidak boleh dinilai sebagai tindakan selain melakukan kritik terhadap Jokowi. Ini disebabkan karena yang bersangkutan sedang melakukan fungsi kritis dan kontrol terhadap pemerintah.

Barangkali demikian alur logikanya. Jadi terkesan ada satu upaya untuk lebih menguatkan dan membuat DPR leluasa dalam rangka mengkritisi kinerja pemerintah. Intinya di sana. Jangan sampai tupoksi DPR sebagai "tukang kritik" terhadap pemerintah dikriminalisasi oleh institusi atau perorangan.

Jika ternyata ada upaya lembaga tahu perorangan melakukan kriminalisasi terhadap tupoksi DPR, maka undang-undang tersebut akan menjerat pelakunya. Institusi atau perseorangan dapat saja diperkarakan sebagai telah menghina DPR dan anggota DPR (kriminalisasi).

Baca juga: Sejatinya Kritik dalam Konteks UU MD3 yang Jadi Polemik

***

Dari sudut pandang rakyat sendiri sebenarnya melakukan kriminalisasi terhadap lembaga DPR sendiri merupakan satu keanehan. Lembaga yang diisi oleh wakil yang ditunjuk oleh rakyat masa iya  mau dirusak kehormatannya oleh yang rakyat yang memilihnya sendiri.

Ibarat kita membangun rumah kemudian merusak dan menghancurkannya. Tentu saja itu menjadi tindakan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Orang yang melakukan hal tersebut adalah orang yang tidak punya logika sehat. Membangun untuk kemudian menghancurkan.

Namun demikian, sebenarnya kritik dan "kecaman" yang keluar dari ungkapan dan komentar-komentar rakyat itu hanyalah merupakan reaksi atas tindakan yang dilakukan oleh pemimpin dan wakilnya saja (pemimpin dan wakil rakyat). Jika mereka bertindak dan berujar yang membuat rakyat tidak terusik ketenangan, keadilan dan emosinya, mereka tentunya tidak akan berceloteh.

Tetapi jika ada salah satu saja dari wakil rakyat atau pemimpinnya tersebut melakukan tindakan yang mencoreng lembaga yang terhormat itu, rakyat terpancing untuk berkomentar dan memberikan opini. Kadang-kadang opini yang  terkesan berlebihan dan dianggap menghinakan. Tetapi hal tersebut tidak muncul serta merta tanpa adanya stimulus pancingan.

Jadi yang namanya rakyat itu tergantung yang memimpin. Jika yang memimpin atau wakilnya menunjukkan sikap dan tindakan yang tidak mencederai rasa keadilan dan etika publik, rakyat diam kok. Mereka tidak akan ribut mencaci maki atau mengecam dan menjatuhkan harga diri seseorang.

***

Ibarat permukaan air kolam, jika tidak ada benda yang jatuh maka tidak akan ada riak dan gelombang dari tengah ke pinggiran. Persepsi dan opini rakyat pun demikian juga.

Mereka tidak akan bereaksi dengan mengeluarkan opini atau kritik pedas sampai kecaman yang dianggap menghinakan, jika mereka tidak dilempar dengan isu atau sikap dan tindakan pimpinan dan wakilnya yang menyimpang.

Jadi bertindak dan berbuatlah yang membuat rakyat tenang dan tenteram. Jangan berbuat yang akan menimbulkan reaksi dan emosi rakyat. Bukankah yang dipimpin itu tergantung yang memimpin?

Kehormatan itu tidak akan terbentuk karena peraturan dan perundang-undangan. Kehormatan akan lahir dari integritas seseorang yang memegang teguh amanat dan kepercayaan yang diberikan. Kehormatan datang dengan sendirinya tidak bisa dibuat atau dipaksa-paksakan.

Baca juga: Sejatinya Kritik dalam Konteks UU MD3 yang Jadi Polemik

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun