Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sejatinya "Kritik" dalam Konteks UU MD3 yang Jadi Polemik

14 Februari 2018   00:24 Diperbarui: 14 Februari 2018   19:43 1450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kritik itu penting (twenty.hueandi.co)

Namanya juga manusia, dia pasti berbicara baik dan berbicara buruk. Baik ketika melihat yang menurutnya baik. Buruk ketika melihat sesuatu yang menurutnya buruk. Melihatnya itu bisa dengan mata atau bisa dengan pikiran.

Intinya baik buruk itu hal biasa. Mengharapkan setiap orang bicara baik adalah hal yang naif. Ibarat menginginkan hari, menjadi siang melulu. Itu sudah menyalahi hukum alam. Hukum yang dibuat Tuhan untuk mengatur alam semesta ini.

Apa hubungannya dengan urusan UU MD3 yang lagi ramai jadi perbincangan? Hubungannya ya ada dalam atribusi etik antara baik dan buruk dengan kata kritik. Baik dalam menyampaikan kritik atau buruk dalam menyampaikan kritik.

Jadi masalah ini bisa saja dilihat dari sisi etik sebagai pedoman wicara ketika mau mengkritik DPR atau anggotanya. Etik adalah parameternya. Tetapi lagi-lagi parameter itu juga masih ada di ranah perdebatan.

Asal Kata Kritik

Kata kritik ini berasal dari Bahasa Yunani Kuno "krinein, krites dan kritike"  satu kata benda yang merupakan turunan (derivatif) dari kata "kritikos"  yang feminin. Kritikos ini sendiri berarti orang yang cerdas, tajam atau arif (discerning) atau punya kemampuan menilai (capable of judging).

Dari kata itu kemudian diserap oleh Bahasa Latin menjadi "criticus" dan berubah lagi menjadi Bahasa Inggris "critic". Itu semua adalah kata benda untuk menunjukkan seseorang yang melakukan kritik yang dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai "kritikus".

Ada lagi kata lain "critique" dan "criticize" yang sama-sama memiliki arti yang mirip walau ada perbedaan antara keduanya. Tetapi cara kerjanya sama saja ketika keduanya merupakan cara "menilai" sesuatu.

Jika yang pertama lebih menekankan pada bentuk evaluasi yang dilalukan berdasarkan keahlian seperti mengevaluasi tulisan, sedangkan yang kedua lebih kepada mencari-cari kesalahan.

Maka "critique" berarti  to express your opinion about the good and bad parts of (something): to give a critique of (something). Sedangkan "criticize" berarti  to express disapproval of (someone or something), to talk about the problems or faults of (someone or something).

Begitulah seperti yang didefinisikan oleh Merriam Websters. Definisi dan penjelasan ini malah membuat pening kepala untuk sementara. Tapi memang demikian adanya. Minimal semua itu berguna untuk mencari dasar-dasarnya.

Kritik dalam Definisi KBBI

Kemudian kata tersebut diadopsi oleh orang Indonesia menjadi "kritik". Kata ini didefinisikan oleh KBBI sebagai "kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat dan sebagainya".

Mulailah masalah etik di sini muncul. Jika sejarah awal dari kata tersebut ada perbedaan, maka ketika diserap ke dalam Bahasa Indonesia, kritik ini sudah mulai bercampur antara kecaman dan tanggapan. Maka kecaman menurut definisi KBBI adalah bagian dari kritik.

Bahkan uraian dan pertimbangan dalam kerja kritik ini hanya dikatakan sebagai "kadang-kadang". Maka tidak heran kalau di Indonesia, kata kritik itu bisa membuat alergi seseorang, karena pasti ada kecaman. Tentunya siapa sih  orangnya yang mau selalu dikecam dalam pekerjaannya.

Misal pun ada pertimbangan rasional di dalamnya, itu hanya kadang-kadang saja sebagaimana menurut definisi KBBI tadi. Maka di Indonesia kata kritik akhirnya identik dengan kecaman dan mencari-cari kesalahan dari satu perbuatan atau karya orang lain (jika berpatokan kepada definisi KBBI).

Baca juga: Tentang Kritik dan Kriminalisasi terhadap Kehormatan Dewan

Kembali ke Fitrah Kata

Jika kita mengacu kepada asal kata kritik ini dari Yunani Kuno, sebenarnya dalam satu kritik ini terdapat kearifan dan kebijakan seperti halnya seorang hakim (judge) dalam melihat satu masalah.

Jadi kecam-mengecam pada dasarnya bukan merupakan kritik. Ia merupakan "kritik" yang sudah dipelintir dan ditunggangi oleh beragam kepentingan dari orang yang melakukan kritik tersebut.

Mengkritik yang benar berarti mencari dan mencermati sisi-sisi kelemahan satu karya atau tindakan dalam rangka melakukan perbaikan; seperti mengkritik karya tulis atau karya seni.

Ini tentu saja sangat jauh berbeda dari kecaman atau mengecam. Kecaman merupakan ungkapan dari rasa tidak suka atau rasa tidak senang terhadap tindakan atau karya seseorang. Aspek negatif lebih kental di dalam kecaman ini.

Orang mengecam orang lain terkadang tidak perlu dasar rasional untuk melakukannya. Jika sudah tidak suka mau benar atau tidak yang dilakukan oleh seseorang, pasti saja akan dikecam.

***

Terhadap perbedaan dari dua hal ini, maka sebenarnya polemik dari UU MD3 itu bisa diposisikan. Apakah mengkritik itu berarti mengecam? Apakah mengkritik itu selalu harus berakhir dengan rasa tidak suka kepada seseorang anggota dewan?

Jika kritik selalu diartikan sebagai kecaman, maka amat sangat "lebay" jadinya ketika seorang anggota dewan harus selalu melaporkan tindakan kritis seseorang dan memperkarakannya menjadi masalah pidana.

Blunder ini akan semakin menjadi manakala kata kritik, kecaman dan merendahkan martabat dan kehormatan dicampuradukkan tanpa distingsi dan tanpa definisi yang jelas. Dalam kondisi seperti ini, maka UU MD3 akan menjadi alat untuk menjerat kritik dan opini rakyat.

Sedangkan jika hal-hal tadi didudukkan dalam tempatnya masing-masing secara proporsional dan profesional, maka tidak ada alasan sebenarnya menjadikan UU MD3 sebagai alat untuk menekuk kebebasan berbicara dari rakyat.

***

Terlepas dari perbedaan arti kata yang membingungkan di atas, disahkannya UU MD3 seyogianya tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan; pihak yang alergi dengan kritik; pihak yang mencampuradukkan kritik dan kecaman.

Bias-bias sinar dari kepentingan dan bias-bias sinar dari kekhawatiran di kalangan masyarakat bahwa UU MD3 akan meringkus gerak dan kebebasan bersuara dan beropini kritik (sebagai bagian dari demokrasi), jangan sampai membuat keruh keadaan dan iklim demokrasi di negeri ini.

Kontroversi terhadap UU MD3 ini tentu saja merupakan indikasi demokrasi masih berjalan baik di negeri ini. Tetapi mari kita lihat, setelah UU MD3 ini diberlakukan, apakah iklim demokrasi ini akan menjadi sunyi senyap karena opini dan kritik dari rakyat menjadi tiarap?

Baca juga: Tentang Kritik dan Kriminalisasi terhadap Kehormatan Dewan

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun