Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gaya "Rambut Pejabat" Pasha, antara Jalan Setapak dan Jalan Raya

23 Januari 2018   10:37 Diperbarui: 23 Januari 2018   13:54 1804
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tentu saja semua itu akan menjadi pekerjaan baru bagi seseorang dengan peran demikian. Begitu pun dengan Pasha ketika dirinya berubah dari hanya sekedar seorang vokalis band Ungu menjadi Wakil Walikota Palu.

Maka jika diibaratkan lagi, seorang pejabat publik adalah mereka yang menyusuri jalan raya sebagai fasilitas umum dalam rangka melayani masyarakat umum pula. Jalan di mana semua aturan dan tata krama diterapkan. Jalan yang tidak seperti jalan setapak di atas yang menuju ke ruang privat.

Jalan raya selalu menjadi tempat umum yang berada di atas jalan setapak dalam segala hal. Dalam lebarnya, dalam keleluasaannya, dalam fungsinya dan dalam hal lain yang lebih luas dari fungsi jalan setapak. Ketika seseorang berada di jalan raya, ada banyak aturan bahkan CCTV mengintainya. Pelanggaran sekecil apa pun akibatnya akan membuahkan sanksi.

Ketika Pasha Menyusuri Jalan Raya dengan Gaya Jalan Setapak

Pasha memiliki cara dalam menyajikan penampilan pribadinya terkait potongan rambutnya. Secara gaya dengan kekhasan personalnya tentu saja tidak perlu dipersoalkan. Karena urusan cara dalam menyajikan diri sendiri adalah urusan pribadi sesuai dengan preferensinya. Apalagi jika melihat latar belakangnya sebagai seorang artis. Di sinilah Pasha sedang menyusuri jalan setapak menuju wilayah privatnya.

Yang jadi masalah adalah ketika gaya tersebut tidak lagi menjadi gaya sebagai ekspresi diri individual atau personal. Ketika seseorang sudah memasuki wilayah pengharapan publik terhadap dirinya baik sebagai pejabat atau tokoh yang secara kelaziman dan kepatutan umum mengharuskannya untuk menanggalkan gaya personalnya, maka ia sebenarnya ibarat sedang menyusuri jalan raya dengan seabrek aturan dan tata tertib.

Di sinilah potensi pelanggaran menjadi lebih besar dibanding ketika dia menyusuri jalan setapak. Sedikit saja pelanggaran maka dia akan menuai polemik dan cemoohan. Polemik dikarenakan preferensi pribadinya terhadap gaya rambut yang digunakannya bertubrukan dengan pengharapan publik kepada dirinya sebagai seorang tokoh dan pejabat. Harapan yang mengharuskannya tampil lebih sopan menurut definisi kebanyakan orang.

Tetapi hal itu tidak semata-mata menjadi faktor pemicunya. Faktor lain adalah adanya kesepakatan umum dari masyarakat mengenai kepatutan seorang pejabat publik. Kepatutan menyangkut cara berbicara, cara berpakaian dan cara bertindak.

Lagi-lagi ini ibarat aturan-aturan yang berlaku di jalan raya yang meskipun tidak tertulis dan diundangkan oleh pemerintah, tetapi tetap saja memiliki sanksi; sanksi sosial dan moral.

Bagaimanapun masyarakat telah memiliki semacam "rambu-rambu lalulintas" umum yang meskipun tidak tertulis tetapi digunakan untuk menilai dan mengukur penampilan dan tindakan seorang pejabat publik. Jika selaras dengan pakem tersebut, maka masyarakat diam atau bahkan memujinya.

Tetapi jika menurut sebagian saja, sang pejabat menyimpang dari pakem, maka polemik dan cemoohan muncul ke permukaan. Penyimpangan yang bukan secara moral, tetapi penyimpangan yang sebenarnya merupakan cara diri untuk berekspresi yang tidak ada hubungannya dengan moral dan etika ketika tidak sebagai pejabat publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun