Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Renungan Singkat: Ketika Akal Bertikai dengan Hati

18 Januari 2018   00:56 Diperbarui: 18 Januari 2018   01:39 1296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber:www.bizgroup.ae)

Ketika akal memaksa jiwa manusia untuk memberontak dari keadaan, ia akan menyuguhkan beragam argumen yang membenarkan. Bagian dari jiwa manusia itu bekerja dengan baik menyajikan dasar-dasar kuat untuk menolaknya, untuk menyingkirkan keadaan tadi dari kehidupan kita.

Cukup dengan berdiam diri sejenak dan berkata pada akal kita: "hai akal berhentilah kau sejenak, biarkan saudaramu sang hati berbicara!". Maka di saat seperti itu diri manusia sedang berusaha menuju ke keadaan yang kita sebut dengan keseimbangan dan moderasi dalam rangka mencari informasi alternatif  yang dibawa hati.

Dua macam informasi yang dibawa akal dan hati itu kemudin akan sering beradu, bertolak belakang, berdebat secara sengit di dalam diri sampai-sampai jika kita tidak mampu menyembunyikan pertikaian tersebut, wajah murung, perasaan sensitif, stres dan gejala depresi muncuat ke permukaan yang terkadang bisa disaksikan oleh orang di sekeliling kita.

Lalu bagaimana kita mengakhiri pertikaian antara akal dan hati tersebut?

Informasi yang dibawa oleh masing-masing akal dan hati tadi, pada awalnya berdiri sendiri terlepas dari keterkaitan dengan masa lalu dan masa datang. Mereka  biasanya hanya membawa argumen pada masa kini dan di sini saja. Maka kebingungan masa kini itu bisa sedikit demi sedikit kita hilangkan dengan mengaitkannya pada masa lalu dan masa datang.

Jika setelah dikaitkan dengan masa lalu dan masa datang, salah satu pihak tampak lebih kuat dalam bobot argumen dan dasar-dasar informasi yang disajikannya, maka di sanalah kemudian pertanyaan muncul. Beranikah kita memihak kata akal atau memilih bisikan hati? Masalah kemudian bergeser dari pertikaian akal dan hati menjadi masalah mental (keberanian diri).

Selanjutnya, apabila sudah memiliki keberanian untuk berpihak baik ke akal maupun ke hati, maka buatlah keputusan agar jiwa tidak diombang-ambingkan oleh keduanya. Apapun yang akan terjadi, maka hadapilah. Toh kita sudah membuat keputusan. Keputusan yang mungkin belum tentu benar, tapi tetap saja bermanfaat untuk menyelamatkan jiwa dari arah yang tidak jelas.

Untuk menyempurnakan ketetapan yang menjadi pilihan tersebut, konsultasikan dan kuatkanlah dengan ajaran agama yang kita yakini. Karena belum tentu perkataan akal dan bisikan hati selalu selaras dengan agama.

Demikianlah keadaan kita ketika menghadapi pertikaian antara akal dan hati. Dalam kamus psikologi, keadaan itu disebut "dilema". Satu hal yang lebih penting ketika kita terseret pada keadaan demikian adalah menyelamatkan jiwa kita dari himpitan yang tak berkesudahan yang disebabkan oleh pertikaian antara akal dan hati tadi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun