Mohon tunggu...
Mahbub Alwathoni
Mahbub Alwathoni Mohon Tunggu... Bidan - Praktisi Pendidikan Tinggal di Grobogan

Pembelajar sepanjang hayat merindukan Indonesia yang sejahtera dan bermartabat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Era Disrupsi, Masih Relevankah Peran Guru?

24 Februari 2018   21:11 Diperbarui: 24 Februari 2018   21:18 2920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Disrupsi bahasa sederhananya gangguan atau menganggu (disrupt), adalah kata yang sering dijadikan tema dalam banyak seminar akhir-akhir ini. Disrupsi dapat diartikan pula sebagai kekacauan (chaos), ketika dalam beberapa kasus linearitas tidak terjadi pada variabel atau peubah, misalnya saja pergerakan dunia industri dan persaingan kerja tidak lagi linear. Perubahan dalam banyak situasi yang semestinya smoothing, halus dan berevolusi rapi, mendadak harus berubah penuh kejutan disertai inovasi-inovasi baru.  Kata disrupsi dipopulerkan oleh Clayton Christensen, tokoh adminstrasi bisnis dari Harvard Business School. Disrupsi menginisiasi lahirnya banyak model bisnis baru dengan strategi yang lebih inovatif dan disruptif. 

Cakupan perubahannya luas mulai dari dunia bisnis, perbankan, transportasi, sosial masyarakat, hingga dunia pendidikan. Era ini menuntut manusia untuk memilih dua pilihan, berubah atau segera punah. Dalam dunia bisnis misalnya, bagaimana para pengusaha mengerahkan kekuatan teknologi informasi untuk menata ulang proses bisnis dan mempertimbangkan kembali keseluruhan industri, dengan harapan untuk meningkatkan kualitas dan menurunkan beaya barang dan jasa, atau perusahaan segera punah karena masih praktikkan model konvensional.

Penelitian sains dan teknologi dengan kecepatan penuh selalu didepan mendahului penelitian sosial -- humaniora yang relatif lebih lamban, menjadikan keduanya tidak berimbang kontribusinya dalam perubahan zaman. Penelitian sains dan teknologi dengan kebaruan produk-nya (novelty) terlanjur banyak dikonsumsi oleh masyarakat, dan tak sadarkan diri muncul begitu banyak dampak pengiring (nurturant effect) yang pada akhirnya merubah pola pikir, perilaku dan nilai-nilai sosial dalam masyarakat. 

Teknologi gadget misalnya, meluncur dengan mudahnya diperkotaan hingga daerah pedesaan, lalu dibuntuti oleh transportasi online yang inovatif semisal grab, uber atau gojek. 

Kemajuan teknologi pada akhirnya sebuah keniscayaan yang "terpaksa" harus di beli untuk mempermudah banyak urusan, inilah diantara gambaran inovasi disruptif oleh Clayton Christensen (1995) dan sekarang sepertinya sudah menjadi era baru.

Dalam dunia pendidikan, disrupsi akhirnya mendorong terjadinya digitalisasi sistem pendidikan.  Munculnya inovasi aplikasi teknologi seperti uber atau gojek telah  menginspirasi lahirnya banyak aplikasi sejenis di bidang pendidikan. Google yang sebelumnya telah banyak mengambil "peran" guru pada layar lebar LCD, sekarang lebih mudah lagi ketika google tertanam dalam batangan android berupa aplikasi.  Mudah, sangat keren, inovatif dan canggih, lalu apalagi peran guru dalam ruang-ruang kelas konvensional yang dipenuhi tumpukan buku tugas dan terkesan membosankan?.

Bahkan perkembangan terkini digitalisasi pendidikan, saat ini telah menggarap pembelajaran online seperti inovasi e-learning MOOC (Massive Open Online Course) atau AI (Artificial Intelligence). Keduanya adalah pengembang model pembelajaran dalam jaringan (daring). MOOC adalah inovasi pembelajaran yang didesain terbuka, dapat saling berbagi dan saling berinteraksi antara mentor dengan siswa, atau sesama anggota dalam jejaring. 

Pembelajaran yang berpusat pada siswa ini tidak lagi mahal, modul dapat didownload bahkan ada yang free. Prinsip ini menandai dimulainya demokratisasi pengetahuan yang menciptakan kesempatan bagi semua untuk memanfaatkan teknologi yang inovatif dan produktif. 

Sedangkan AI adalah mesin kecerdasan buatan yang dirancang untuk melakukan pekerjaan yang spesifik dalam membantu keseharian manusia. Inovasi e-learning seperti MOOC atau AI (Artificial Intelligence), akhirnya memunculkan pertanyaan yang menyedihkan, peran guru masih relevankah pada era sekarang ini?.

Dalam jurnal-jurnal internasional education, social & behavior, beberapa tahun terakhir ini banyak muncul inovasi pembelajaran, seperti laporan dari Mishra dan Koehler (2010) yakni TPCK (Technological Pedagogical Content Knowledge : A framework for Teacher Knowledge), adalah sebuah framework (kerangka kerja) dalam mendesain model pembelajaran baru dengan menggabungkan tiga aspek utama yaitu teknologi, pedagogi dan konten/materi pengetahuan. 

Era disrupsi yang dipenuhi kemajuan teknologi informasi yang sedemikian pesatnya, adalah sebuah keniscayaan bahwa guru harus menguasai teknologi untuk kemudian digunakan sebagai media pendukung dalam kegiatan pembelajaran. Beberapa contoh penerapan teknologi dalam pembelajaran adalah seperti gagasan yang ditawarkan oleh NACOL (North American Council for Online Learning), yaitu model pembelajaran campuran (blended learning). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun