Mohon tunggu...
I Putu Hendra Mas Martayana
I Putu Hendra Mas Martayana Mohon Tunggu... Dosen - pendulumsenja

Ik Ben Een Vrijmaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Depancasilaisasi dan Warisan Konflik Diametral

3 Juni 2020   22:27 Diperbarui: 3 Juni 2020   22:25 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa waktu yang lalu, kita dikejutkan oleh pernyataan sarkastis seorang filsuf kondang lulusan UI yang wajahnya sering wara wiri di televisi, Rocky Gerung. Di dalam sebuah acara talkshow pada stasiun televisi swasta, Ia dengan tendensius menyebut pancasila bukan ideologi negara. Tidak sampai di situ, Ia juga menyatakan bahwa Presiden RI, Bapak Jokowi tidak paham Pancasila. 

Perdebatannya dengan salah satu politisi kawakan PDIP, Junimart Girsang  bahkan berujung pada pelaporan Rocky ke pihak kepolisian. Delik aduan terhadap Rocky kurang lebih menyatakan bahwa Ia didakwa telah melakukan pencemaran nama baik dengan menghina lambang negara dan menyebutnya tidak paham Pancasila. 

Bukan sekali dua kali Rocky mengeluarkan pernyataan provokatif, alih-alih intimidatif yang berujung pada pelaporan dirinya kepada pihak berwajib. Di tahun 2018 lalu misalnya Ia menyebut kitab suci itu fiksi. Namun tidak secara spesifik menyebutkan kitab suci mana yang disebut sebagai fiksi. 

Lebih lanjut, Rocky menyatakan bahwa fiksi dan fiktif mengandung makna yang berbeda. Fiksi bagi seorang Rocky adalah energi yang mengaktifkan, sehingga memunculkan kreativitas dan inovasi. Terpenting, fiksi telah melahirkan imajinasi tentang kehidupan yang baik di masa depan. Oleh karenanya fiksi telah memupuk harapan dan semangat baru.

Setahun berikutnya di 2019, ketika kontestasi pilpres sedang berada pada titik kulminasi, Ia malah terlibat penyebaran konten hoaks operasi plastik Ratna Sarumpaet yang gagal itu. Ia dituduh ikut melakukan penyebaran hoaks bersama dengan Fadli Zon dan Fahri Hamzah yang pada saat itu masih menjabat sebagai pimpinan DPR RI. 

Namun setelah diselidiki dan dilakukan olah TKP oleh pihak kepolisian, berita penganiayaan terhadap Ratna adalah hoaks dan yang bersangkutan langsung memberikan klarifikasi sebagai pemain drama terbaik. Ratna didakwa, sedangkan Rocky, Fadli dan Fahri bebas.

Ada yang paradoks dari pensikapan Rocky terhadap hoaks. Beberapa bulan sebelumnya Ia sempat berdebat masalah hoaks di era disrupsi teknologi dengan Rhenald Kasali dan Budiman Sudjatmiko. 

Budiman menyatakan bahwa hoaks adalah industri pikiran yang begitu laris di era Revolusi Industry 4.0, di mana agen penggeraknya adalah algoritma yang tidak memiliki hati dan pikiran. Rocky menyebut bahwa hoaks adalah the dark side yang sangat diminati otak reptil manusia. Lebih lanjut Rocky menyatakan bahwa hoaks rentan menyerang orang-orang yang Ia sebut sebagai "dungu". Oleh sebab itu menjadi tugas negara untuk menaikan digit kecerdasan masyarakat dengan melakukan budaya literasi.

Namun tuduhan atas keterlibatan Rocky atas kasus hoaks Ratna Sarumpaet mengindikasikan bahwa berita bohong tidak hanya menyerang orang "dungu" sebagaimana tuduhannya terhadap lawan debat melainkan juga kaum terpelajar seperti dirinya sebagaimana pernyataan yang disampaikan Rhenald Kasali.  

Prof. Rocky, begitu Ia disapa. Meski tidak pernah mengecap pendidikan formal hingga ke jenjang S3, toh jejak intelektualnya di kampus UI memperlihatkan bahwa kualitas akademiknya bukan kaleng-kaleng. Minimal setara atau bahkan melebihi kapasitas seorang profesor. Beberapa pernyataannya di program televisi seperti ILC mampu mengusik zona nyaman setiap orang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun