Mohon tunggu...
I Putu Hendra Mas Martayana
I Putu Hendra Mas Martayana Mohon Tunggu... Dosen - pendulumsenja

Ik Ben Een Vrijmaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Indonesia Bubar 2030?

24 Agustus 2018   22:44 Diperbarui: 14 September 2018   15:20 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada 18 September 2017, dalam acara bedah buku bertajuk "Nasionalisme Sosialisme dan Pragmatisme Pemikiran Ekonomi Politik Soemitro Djojohadikusumo" bertempat di Kampus Universitas Indonesia Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Prabowo Subianto, Ketua Umum Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) menyampaikan sebuah pidato yang cukup provokatif. Ia menyebutkan bahwa Indonesia akan bubar tahun 2030 mendatang. Video berdurasi 78 detik dan di share melalui fanpage resmi Partai Gerindra tersebut segera menjadi polemik nasional. 

Banyak yang mendukung, namun tidak sedikit pula yang mencibir. Cibiran tentu saja menggarisbawahi bahwa pernyataan tersebut dirujuk dari data yang kurang ilmiah, yakni novel Ghost Fleet yang dikarang oleh dua ahli strategi dari Amerika Serikat yang menggambarkan sebuah skenario perang  antara Cina dan Amerika tahun 2030. Menariknya, dalam novel diramalkan Indonesia yang terkena imbas perang itu turut bubar pada tahun yang sama.

            Terlepas dari motivasi Prabowo atas pidato tersebut, apakah bertendensi politis untuk menyerang pemerintah atau bukan, yang jelas sebagai bangsa Indonesia kita tentu harus tetap menjaga kewaspadaan. Ciri atau riak ke arah itu telah nampak meski belum terang muncul ke permukaan. Prof Mahfud M.D dan Kapolri Tito Karnavian seperti dikutip dari Tribunnews.com, 25 Maret 2018 menyatakan bahwa Indonesia akan tetap ada, bahkan bisa menyaksikan Generasi Emas 2045 dengan syarat kebhinekaan tetap dijaga dan dirawat dengan baik. Pun begitu dengan beberapa kesempatan pidato kenegaraan yang disampaiakan Bapak Presiden Joko Widodo yang menyatakan aset paling besar dari bangsa ini adalah persatuan.

Di samping dua opini yang berbeda pandangan dalam meramalkan Indonesia di masa depan itu, nampaknya potensi konflik yang jika tidak dikelola dengan baik akan berdampak fatal bagi indonesia di masa depan telah bermunculan. Kondisi ini seharusnya menyadarkan kita bahwa negara bangsa yang telah berdiri hampir 73 tahun ini rentan terhadap perubahan. Peradaban-peradaban besar yang lahir, tumbuh dan mati silih berganti menjadi bukti bahwa tidak ada yang abadi selain perubahan itu sendiri.

Indonesia dengan kemajemukannya secara horisontal ditandai oleh kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku, agama, ras dan antargolongan. Secara vertikal, bisa dilihat sebagai stratifikasi sosial antara lapisan atas dan lapisan bawah yang tercipta melalui perbedaan ekonomi, politik, sosial dan budaya. Keberagaman menyebabkan  Indonesia selalu berhadapan dengan potensi konflik yang diperparah pula oleh adanya globalisasi. Sentuhan budaya global denga sendirinya menyebabkan budaya lokal mengalami disorientasi dan dislokasi.

Meskipun telah ada upaya untuk meminimalisir konflik di atas melalui konsep integrasi, namun dalam sebuah interaksi sosial, masalah persatuan pada bangsa yang multietnik dengan struktur sosial yang majemuk bersifat mendua. Alih-alih seimbang, selaras, dan harmonis, namun isinya penuh dengan intrik, ketidakpuasan, pertentangan, paradoks, etnosentrisme, primordialisme, stereotipisme, dan konflik sosial.

Berdasarkan kenyataan  di atas, ada lima hal pokok yang nampaknya bisa menjadi alasan kuat mengapa tagline " Indonesia Bubar 2030" atau bahkan lebih awal bisa saja terwujud.

Pertama, bibit permusuhan masa lalu yang selalu ter(di)rawat ; dalam sejarah Indonesia, tidak pernah ditemukan persatuan sejati. Semua rezim yang berkuasa belum mampu menemukan zona ideal dalam mengelola konflik. Di era Orde Lama, kepentingan politik-ideologi telah menghasilkan pengkotak-kotakan kelompok, bukan berdasarkan etnis maupun agama, melainkan dalam bentuk tripolarisasi politik antara kelompok nasionalis, agama dan komunis. 

Di era Orde Baru, pasca difusikannya semua kepentingan politik menjadi tiga partai politik, pengelompokan terulang berdasarkan ekonomi. Penyakit sosial seperti KKN jugalah yang pada akhirnya mengggerogoti rezim ini dan mencapai kulminasi pada 21 Mei 1998 dengan lengsernya Soeharto. Di era reformasi, ikatan etnik dan agama justru makin menguat sebagai dampak dibukanya keran demokrasi yang di masa Orde Baru adalah barang mewah.

Kedua, Peliyanan terhadap perbedaaan.  Daripada berupaya menemukan unsur persamaan, bangsa yang sedang mencari identitas di era kebebasan ini cenderung menonjolkan perbedaan. Akibatnya, kelompok atau orang yang berbeda pilihan politik atau keyakinan misalnya akan dengan mudah dianggap sebagai musuh yang harus dilenyapkan daripada kenyataan yang harus dirawat. Pilkada DKI Jakarta 2017 bisa menjadi contoh bahwa muatan-muatan SARA dalam politik masih sangat populis dan efektif mempengaruhi pilihan politik. Mayoritas dan minoritas dibinerkan, sehingga mengubah pola pikir para pemilih ketika dihadapkan antara pilihan rasional vis a vis emosional.    

Ketiga, masih kuatnya mental splittolerance atau penyimpangan toleransi. Masyarakat mengalami kesulitan untuk membangun budaya menghargai perbedaan yang pada hakikatnya merupakan pesan kuat dari nilai-nilai lokal. Hal tersebut justru berbanding terbalik dengan sikap toleran yang diperlihatkan untuk merespon praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun