Mohon tunggu...
Karnoto
Karnoto Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Me Its Me

Wiraswasta | Pernah Studi Ilmu Marketing Communication Advertising di Universitas Mercu Buana, Jakarta | Penulis Buku Speak Brand | Suka Menulis Tema Komunikasi Pemasaran | Branding | Advertising | Media | Traveling | Public Relation. Profil Visit Us : www.masnoto.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

"Perang Citra" di Arena Politik

4 November 2019   10:50 Diperbarui: 5 November 2019   09:30 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock via pharmaceutical-journal.com

Jika perang pemasaran adalah bagaimana merebut pangsa pasar, maka perang public relation adalah pertarungan merebut hati publik, empati publik, dan simpati publik.

Saya dan Anda sepertinya sepakat bahwa peperangan saat ini adalah perang citra. Siapa yang mampu membangun citra yang baik dan diterima masyarakat maka dialah yang akan menjadi pemenang.

Sebaliknya, siapa yang citranya hancur maka dia mesti siap menerima kekalahan. Gambaran ini bisa kita lihat secara kasat mata, jelas, dan transparan terlihat pada sektor politik.

Pengamatan penulis baik dalam konteks insting jurnalis maupun warga biasa, pertarungan citra mulai sengit saat Pilpres 2009 saat Prabowo-Hatta melawan Jokowi-JK. Keganasan pertempuran citra sangat terasa di sosial media, baik Facebook dan Twitter. Tampaknya pertempuran ini pun masih berlanjut hingga saat ini.

Pertempuran kolosal perihal citra juga terjadi saat Pilkada DKI Jakarta, di mana dua kutub yang begitu kontras disimbolkan oleh dua pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI yaitu Anies-Sandi dan Ahok-Djarot.

Pertarungan citra ini terlihat seperti barang lembek, tetapi sesungguhnya pertempurannya sangat keras dan menjadi perang kolosal.

Pertempuran citra melibatkan emosi dan energi publik, tak hanya kalangan elite dan terdidik, tetapi juga telah melibatkan seluruh energi bangsa. Peperangan citra juga masih berlanjut pada Pilpres 2019. Riak-riak pertarungan dan gesekan antarkubu pendukung dua pasang calon presiden dan wakil presiden tak kunjung usai. 

Hal ini menjadi konsekuensi adanya teknologi informasi sosial media. Tiada hari tanpa saling sindir, tiada minggu tanpa saling baku dan tiada menit tanpa saling kritik.

Sebagian tidak kuat melihat pertempuran itu dan memilih menepi, padahal ini sudah menjadi takdir kemajuan zaman. Lari tetap akan dikejar dengan suasana pertempuran, jika diam pun akan terkena "peluru" nyasar.

Semua itu disebabkan karena  menuju satu titik muara yaitu membangun citra untuk merebut simpati publik. Di sinilah peran public relation menjadi strategis dalam image building seseorang, partai politik, dan lembaga. Siapa yang memiliki tenaga public relation handal, cerdas dan terampil maka dia akan memenangkan pertempuran.

Strategisnya peran public relation membuat semua berlomba-lomba memburu dan melibatkan tenaga-tenaga public relation, baik yang profesional, relawan, maupun tanpa organisasi.

Realitas di lapangan memang banyak ditemukan pencitraan yang membabi buta, tanpa mengenal etika. Tak melakukan tapi dicitrakan melakukan.

Dalam konteks keuntungan mungkin tak menjadi persoalan, tapi dalam konteks moralitas dan pendidikan politik kepada masyarakat jelas ini pembodohan dan merusak demokrasi sekaligus membuat citra public relation menjadi buruk.

Padahal public relation adalah bagian entry point dalam studi di kalangan akademisi. Menurut penulis, peran public relation harus dikembalikan kepada fungsinya yang hakiki.

Benar bahwa public relation adalah bicara lobi dan negoisasi, tetapi bukan berarti melabrak semua etika dan norma termasuk aturan yang ada. Peran public relation harus menjadi daya tarik sebagai skill yang mulia bukan peran yang semata-mata demi uang.

Citrakanlah apa yang dilakukan, kemaslah aktivitas branding dengan apik dan tampilkan dengan baik, tetapi bukan membodohi publik. Sebab jika ini dilanjutkan maka secara tidak langsung kita telah mendidik generasi bangsa ini menjadi generasi pembohong dan pembual.

Pencitraan yang dilakukan public relation memang suatu keharusan agar publik mengerti dan memahami apa yang dilakukan sehingga diharapkan akan menimbulkan simpati dan memberikan dukungan kepada kita.

Jadi, public relation bukanlah tukang sihir yang melakukan tipu muslihat dan tipu daya kepada masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun