Oleh: Mahar Prastowo
Saat negara-negara maju sibuk menciptakan ekosistem perumahan yang inklusif, kita di Indonesia justru menyaksikan sebuah ironi: generasi muda Indonesia bekerja keras, hidup di kota-kota besar, namun semakin jauh dari mimpi memiliki rumah.
Keraguan anak muda mengambil KPR menyajikan fenomena yang semakin menguat dari tahun ke tahun. Fakta bahwa mayoritas anak muda memilih menghindar dari Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bukan semata karena mereka tidak ingin punya rumah, tetapi karena sistem yang seharusnya menjadi jembatan justru terasa seperti jebakan.
Mari kita kupas satu per satu dengan pisau ekonomi yang telanjang.
Harga Rumah yang Melesat, Gaji yang Jalan di Tempat
Pertama-tama, kita harus akui satu hal mendasar: harga rumah naik jauh lebih cepat daripada pertumbuhan pendapatan. Ini bukan rahasia. Di kota seperti Jakarta, harga rumah melonjak 10-15 persen per tahun, sementara gaji formal bahkan tak selalu naik 5 persen. Ini menciptakan apa yang disebut housing unaffordability trap, jebakan ketidakmampuan membeli rumah.
Seorang fresh graduate yang bergaji Rp5 juta per bulan, misalnya, tidak akan pernah bisa mencicil rumah tipe 36 yang harganya sudah menyentuh angka Rp600 juta di pinggiran Jakarta. Padahal, dalam rumus ekonomi klasik, rasio cicilan terhadap pendapatan idealnya di bawah 30 persen. Dengan harga rumah seperti itu, anak muda akan menyisihkan lebih dari 50 persen pendapatannya hanya untuk cicilan. Itu pun kalau disetujui oleh bank.
Subsidi Salah Sasaran dan Industri yang Dikuasai Oligarki?
Kebijakan perumahan nasional juga tampaknya dinilai sejumlah pihak tidak pro-pembeli pertama, tetapi lebih condong kepada pengembang besar yang terafiliasi dengan kelompok modal kuat. Kita tahu, insentif fiskal dan kredit perumahan bersubsidi lebih banyak dinikmati oleh pengembang lewat skema FLPP, tetapi tidak benar-benar menyasar kelompok yang paling membutuhkan.
Apa artinya subsidi kalau rumahnya tetap jauh dari pusat aktivitas ekonomi dan transportasi publik? Anak muda bukan hanya menghitung harga rumah, tapi juga hidden cost seperti transportasi, waktu tempuh, hingga kualitas hidup. Maka, mereka lebih memilih menyewa, ngekos, atau hidup berpindah-pindah sambil menjaga fleksibilitas karier.
KPR = Kredit Penuh Risiko?
Perbankan kita memang sangat disiplin dalam mengelola risiko. Tapi justru di sinilah letak masalahnya. Suku bunga KPR cenderung tinggi, floating, dan belum cukup bersaing. Saat suku bunga acuan Bank Indonesia naik, bunga KPR otomatis ikut naik. Anak muda yang sebelumnya sudah berhitung ketat dengan cicilan tetap pun mendadak kelimpungan.