Mohon tunggu...
Mahar Prastowo
Mahar Prastowo Mohon Tunggu... Ghostwriter

https://www.maharprastowo.com https://wa.me/6285773537734 Praktisi Media dan co-PR -- Pewarta di berbagai medan sejak junior sekira 31 tahun lalu. Terlatih menulis secepat orang bicara. Sekarang AI ambil alih. Tak apa, bukankah teknologi memang untuk mempermudah? Quotes: Mengubah Problem Menjadi Profit.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Aminatus, Sampah, dan Demokrasi yang Nyaris Busuk

20 Mei 2025   22:43 Diperbarui: 20 Mei 2025   22:43 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tumpukan sampah depan RPU Krian Sidoarjo (foto: kjjt)

Seharusnya yang dibersihkan itu sampah, bukan jurnalisnya. 
Tapi di Krian, Sidoarjo, yang dibersihkan justru Aminatus.

Dia bukan pengganggu. Dia jurnalis. Datang hanya untuk mengambil foto. Tapi kemudian dianggap musuh. Diinterogasi. Diintimidasi. Difitnah. Dituduh menerima uang. Dan bahkan---yang lebih busuk dari sampah itu sendiri---diancam diusir dari lingkungan tempat tinggalnya.

Aminatus tidak membawa senjata. Ia hanya membawa kamera dan kewajiban moral: memberitakan fakta. Karena itu tugasnya. Karena itu pula ia datang ke depan Rumah Pemotongan Unggas di Jalan Wahidin Sudiro Husodo, 17 Mei lalu.

Tapi warga tidak melihat kamera. Mereka melihat ancaman.

Ada tokoh agama yang merasa perlu menegurnya. Lalu entah bagaimana, ia digiring ke Balai RW. Di sana ia dipaksa mengaku bersalah. Padahal ia hanya mengabadikan fakta yang juga bisa dilihat siapa saja: sampah menggunung di ruang publik.

Yang terjadi selanjutnya bukan cuma pelanggaran etika. Tapi pelanggaran hukum. Serius. Sebab Pasal 18 ayat (1) UU Pers No. 40 Tahun 1999 jelas menyebut: menghalangi kerja jurnalistik bisa dipenjara 2 tahun, atau didenda Rp500 juta.

Bahkan, UU ini lebih sakral dari sekadar aturan. Ia adalah bagian dari jantung demokrasi: bahwa siapa pun, terutama pers, berhak bicara soal hal yang salah.

Tapi apa artinya undang-undang jika yang menegakkan justru diam?

Itu yang ditanyakan Komunitas Jurnalis Jawa Timur (KJJT). Ketua KJJT wilayah Sidoarjo, Arri Pratama, sudah mendampingi Aminatus melapor ke kantor kelurahan. Tapi lurah tidak ada. Yang menerima cuma sekretaris desa dan bagian kesra. Hasilnya? Pertemuan lanjutan dijanjikan. Tapi malamnya, Aminatus justru dipanggil lagi. Ke balai RW. Lagi-lagi tanpa kejelasan hukum. Tanpa pendamping hukum. Tanpa rasa kemanusiaan.

Sampai hari ini, pihak-pihak seperti Pak RT, Aji Margono, dan Muklas yang mengaku "keamanan" hanya memberi janji. Tapi bukan perlindungan. Mereka ingin menyelesaikan secara kekeluargaan. Malam itu juga. Di tempat yang sama. Dengan cara yang sama. Seolah-olah jurnalis bisa diselesaikan seperti sampah: ditumpuk, didiamkan, dan dibersihkan diam-diam.

Hukum berkata lain.

UU No. 40 Tahun 1999 sudah menyebut: wartawan punya perlindungan hukum. Pasal 4 dan 8 menjamin kemerdekaan pers sebagai hak asasi. Dan ketika intimidasi terjadi, apalagi hingga menyentuh keluarga dan anak-anaknya, negara seharusnya hadir.

Apakah ini hanya soal Sidoarjo? Tidak. Ini bisa terjadi di Surabaya, di Jakarta, di mana pun. Ketika anak-anak Aminatus ikut dikucilkan, itu bukan hanya soal intimidasi jurnalis---tapi pelecehan terhadap perlindungan anak.

Bahkan jurnalis, adalah mereka yang menjaga agar hak-hak warga tidak dilanggar.

Lalu bagaimana bisa, saat jurnalis bekerja, ia justru dilanggar haknya?

Aminatus mungkin hanya satu nama. Tapi ia adalah cermin. Dan di cermin itu kita melihat apa yang sebenarnya terjadi hari ini: kemerdekaan pers tidak lagi dilarang secara formal. Tapi dikebiri secara sosial.

Jika negara diam, masyarakat menindas, dan hukum hanya jadi pasal di atas kertas, maka yang kita miliki bukan lagi demokrasi. Tapi tirani berjubah toleransi.

Dan ketika jurnalis harus bungkam, maka yang busuk bukan lagi hanya sampah. Tapi sistem.

(Ilustrasi: net)
(Ilustrasi: net)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun