Oleh Mahar Prastowo
Rabu pagi, pukul lima lebih tiga puluh menit. Di halte angkutan umum seorang pria dengan jaket biru malu-malu antara dongker ke abu-abu membungkus baju putih seragam ASN DKI Jakarta, di sebuah angkot KWK U05 di bilangan Jakarta Utara. Dengan bersepatu pantofel mengantre bersama siswa SMA, ibu rumah tangga, buruh dan lainnya. Namanya Sigit Priyono, usianya 40 tahun. Jabatan: pejabat eselon IVa di lingkungan Pemerintah provinsi DKI Jakarta, Kasipem Kelurahan Kebon Pala, kecamatan Makasar Jakarta Timur.
Dia tersenyum ketika ditanya: kenapa tidak naik mobil dinas? Jawabnya singkat, "Ini hari Rabu, Bro!"
---
Rabu Naik Umum: Aturan atau Ajakan?
Sejak awal 2024, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencanangkan kebijakan unik. Namanya "Rabu Naik Transportasi Umum". Sasarannya bukan masyarakat biasa. Tapi para Aparatur Sipil Negara (ASN). Dari staf honorer hingga kepala dinas. Wajib --- atau setidaknya sangat dianjurkan --- meninggalkan mobil pribadi dan naik transportasi publik setiap hari Rabu.
Gubernur Jakarta Heru Budi Hartono, waktu itu masih sebagai Pj, menyebutnya sebagai bagian dari "teladan ASN dalam mendorong perubahan perilaku warga kota." Ia sadar, membangun infrastruktur bukan cukup. Budaya mobil pribadi tak akan hilang hanya karena ada MRT dan LRT.
Maka ASN, katanya, harus menjadi contoh.
---
Kebijakan yang Berakar dari Langit Abu-Abu
Awalnya, sebelum Mas Pram-Gubernur Jakarta-mengeluarkan Ingub No.6/2025, kebijakan ini sebenarnya tidak tertulis sebagai instruksi ataupun peraturan yang mengikat. Ia lahir dari semangat yang tumbuh di antara kekhawatiran dan harapan.
Kekhawatiran bahwa Jakarta tidak akan pernah keluar dari macet, polusi, dan ketimpangan mobilitas. Harapan bahwa ada satu cara sederhana: mengubah perilaku elite birokrasi.
Dinas Perhubungan DKI kemudian mulai mengeluarkan edaran. Kepala OPD ikut menyebarkan. Di WhatsApp group para ASN, setiap Selasa malam, beredar pengingat: "Besok jangan bawa mobil, ya."
---
Manfaat yang Tak Sekadar Mengurangi Polusi
Bagi Sigit, Rabu pagi adalah hari yang membuatnya merasa "jadi manusia kota lagi".
"Biasanya saya duduk di mobil, atau bawa motor. Sekarang Rabu saya di angkot dan berdiri di bus, ngobrol dengan warga, dengerin keluhannya langsung. Rasanya kayak 'reality check'," katanya sambil tersenyum.
Ia bukan satu-satunya. Banyak ASN lain merasakan manfaat serupa, sebut saja Bella Ayudita yang naik LRT dari Bekasi Timur, Boval Juliansyah dari Gunung Putri. Sedangkan Maria Stella memang tiap hari naik TJ dari Bekasi, jadi Rabu-nya tidak begitu istimewa. Kebetulan ketiganya: Bella, Boval, Maria sama-sama sejawat yang berdinas di kantor Kelurahan Kebon Pala.
Keseruan lainnya dialami Dokter Diana, yang bertugas di Puskesmas Kecamatan Makasar. Angkot yang ditumpanginya hanya sampai depan kantor kecamatan. Alhasil, dia harus berjalan kaki ke Puskesmas yang jaraknya lumayan. Tapi katanya sambil olahraga. Â
Diantara manfaat naik transportasi umum, menurut mereka, saya, juga para ahli, paling tidak, ada empat hal:
1. Empati sosial meningkat
Naik transportasi umum membuat para pejabat merasakan langsung peliknya pelayanan transportasi publik. Mereka melihat halte rusak, pendingin bus mati, atau keterlambatan LRT. Dan semua itu tidak datang dari laporan. Tapi dari pengalaman.
2. Kesehatan dan gerak fisik
Rabu juga berarti banyak berjalan kaki. Dari halte ke kantor. Dari stasiun ke rumah. Mereka tidak sadar, satu hari itu menyumbang lebih banyak langkah daripada lima hari duduk di balik meja.
3. Efisiensi energi dan ruang
Bayangkan jika 70 persen ASN tidak parkir di kantor satu hari seminggu. Berapa ruang yang bisa dimanfaatkan ulang? Berapa liter BBM yang bisa dihemat?
4. Contagious behavior
Yang paling menarik: ketika ASN naik umum, bawahan, masyarakat, dan bahkan mitra swasta ikut terpengaruh.
---
Apakah Kebijakan Ini Bertahan Lama?
Ada skeptisisme. Beberapa ASN menyiasatinya. Mereka parkir mobil pribadi di mal terdekat, lalu naik satu halte TransJakarta ke kantor agar "terlihat" patuh. Ada pula yang "WFH" tiap Rabu. (Ngaku saja, nggak usah ngeles)
Tapi tetap saja, jumlah pengguna angkutan umum dari kalangan birokrat meningkat. Data Dishub mencatat lonjakan 5--7 persen pada hari Rabu di beberapa koridor.
Dan kini, wacana memperluas ke hari Jumat sudah muncul.
---
Dari Gaya Hidup Jadi Gerakan Kota
Mungkin benar, revolusi tidak selalu datang lewat pidato dan palu. Kadang cukup lewat sepatu kets, KTP elektronik, dan kartu JakLingko.
Banyak ASN yang kini tak lagi menunggu Rabu untuk naik umum. Maria Stella, Kasat Dukcapil kelurahan Kebon Pala contohnya, sudah terbiasa dan saat saya konfirmasi ke ruangannya, ternyata sudah setiap hari naik TransJakarta.Â
Dan mungkin, inilah revolusi kecil yang paling efektif. Dimulai dari ASN, di kota paling padat, lewat kebijakan paling sederhana: membaur bersama warga setiap hari Rabu.
---
Penutup: Teladan yang Ditunggu
Sering kita dengar keluh kesah masyarakat yang katanya lelah pada birokrasi yang menjauh (Mungkin di luar Jakarta sana). Â Yang jelas masyarakat ingin mereka turun, berjalan, dan duduk di halte bersama mereka. Rabu naik umum adalah simbol bahwa itu mungkin.
Maka, jika Anda melihat seorang pria klimis, atau wanita cantik berbusana rapih berdiri di TransJakarta, jangan buru-buru curiga. Bisa jadi, itu pejabat Anda. Yang sedang belajar kembali menjadi warga kota.Â
(mp)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI