Oleh: Mahar Prastowo
OPINIÂ -- Minggu pagi itu, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, ditangkap. Tidak di ruang sidang. Tapi di rumah. Tidak memakai toga. Tapi kaus santai. Tidak melawan. Hanya tersenyum.
Ia bukan tersangka biasa. Ia adalah hakim yang dipercaya memimpin pengadilan yang paling strategis di negeri ini. Tapi ia kini diduga menerima suap Rp60 miliar untuk "membantu" tiga korporasi raksasa---Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas---lepas dari jerat kasus korupsi ekspor minyak goreng.
Ini bukan sekadar soal Arif. Ini tentang hukum kita. Sejauh apa palu keadilan bisa dibeli?
Tiga korporasi itu sebelumnya divonis bebas oleh PN Jakarta Pusat, 19 Maret lalu. Padahal tuntutan jaksa sangat jelas: uang pengganti, miliaran rupiah, atas dugaan penyelewengan ekspor saat dalam negeri kekurangan minyak goreng. Tapi tiba-tiba: vonisnya nihil. Bersih.
Dan sekarang, kita tahu kenapa.
Uang Rp60 miliar itu diduga mengalir melalui pengacara Marcella Santoso dan Ariyanto, yang kini juga tersangka. Bukti digital, transaksi keuangan, dan komunikasi mereka sedang didalami Kejaksaan Agung.
Kita pernah punya harapan bahwa hukum akan bersih. Tapi kasus ini membuktikan: keadilan masih bisa dibeli, asal harganya cocok. Bahkan ketika yang diperjualbelikan adalah nasib jutaan rakyat yang tak mampu beli minyak goreng kemasan.
***
Sayangnya, ini bukan pertama kalinya lembaga kehakiman tercoreng. Kita masih ingat nama-nama seperti Akil Mochtar, Patrialis Akbar, dan Nurhadi. Semua tokoh penting peradilan. Semuanya jatuh karena suap.
Kini giliran Arif. Mungkin bukan yang terakhir.