Sebuah Tanggapan Atas Tulisan Halima Maysaroh
"Beta rasa foto ini bukan cuma soal gaya, tapi soal jiwa."
Itu kalimat pertama yang muncul di kepala saya setelah membaca tulisan Halima Maysaroh, seorang PNS di SMP PGRI Mako, Namlea, tentang tren foto keluarga yang mahal.Â
Tulisan beliau bukan sekadar refleksi pribadi, tapi potret sosial yang sedang berkembang pelan tapi pasti di masyarakat kita hari ini---termasuk di pelosok-pelosok Nusantara seperti Pulau Buru.
Halima menulis dengan kejujuran yang polos namun dalam, tampak sederhana, tapi menyimpan letupan makna yang meledak di dada pembaca belakangan. Di kalangan wartawan ada istilah, berita bagus itu berita yang membuat orang berpikir setelah membacanya. Nah, tulisan Halima ini salah satu contohnya.
Foto yang Lebih dari Sekadar Jepretan
Di era media sosial, foto keluarga tak lagi sebatas dokumentasi---ia telah menjelma jadi simbol. Simbol keutuhan, simbol keberhasilan, simbol kasih sayang. Dan meski tampilannya bisa dipoles dengan filter dan pencahayaan studio, yang tak bisa direkayasa adalah emosi yang tertangkap dalam sorot mata dan senyum tulus dalam foto-foto itu.
Halima menulis, "Bukan soal harga seragam, tetapi soal keringat yang dikuras untuk bisa mengenakan seragam kerja."Â Di kalimat itu saja, ada energi syukur yang luar biasa.Â
Dalam konteks daerah seperti Buru, di mana akses terhadap fasilitas belum semerata kota besar, keputusan untuk menyisihkan waktu, uang, dan tenaga untuk satu sesi foto bersama keluarga adalah bentuk pengorbanan sekaligus penghargaan. Itu bukan gaya hidup; itu gaya bersyukur.
Dari Namlea, Untuk Indonesia
Tulisan Halima juga mengingatkan kita bahwa narasi besar bisa lahir dari tempat yang jauh dari hiruk pikuk ibu kota. Dari Namlea, suara kecil ini menyentuh siapa saja yang masih memiliki orang tua, masih bisa mencium tangan ibu, atau sekadar duduk dan mendengar cerita lama dari ayah.