Mohon tunggu...
Mahaji Noesa
Mahaji Noesa Mohon Tunggu... Administrasi - Pernah tergabung dalam news room sejumlah penerbitan media di kota Makassar

DEMOs. Rakyat yang bebas dan merdeka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pelukis Supranatural di Makassar

1 Februari 2011   10:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:59 4108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lukisan Syekh Yusuf karya pelukis Mike Turusi itulah yang dipilih melengkapi dukumen pengusulan ulama, sufi, dan pejuang asal Gowa, Sulawesi Selatan pada abad XVII ini kemudian ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional pada tahun 2005. Namun demikian, terdapat banyak lukisan Syekh Yusuf versi pelukis lainnya yang dibuat sebelum maupun sesudah penetapannya sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Salah satunya, yaitu lukisan Syekh Yusuf karya Drs. Bachtiar Hafid yang dibuat sebelum penetapan sebagai Pahlawan Nasional. Karya lukis lelaki kelahiran Kabupaten Pinrang (Sulsel) tahun 1947 ini, sebelumnya telah dipublikasikan melalui pameran-pameran yang dilaksanakan oleh pemerintah Provinsi Sulsel. Seperti pada event-event pameran pembangunan yang pernah dilaksanakan di lapangan Karebosi tempo dulu. Termasuk sejumlah event pameran pembangunan yang pernah dilakukan oleh Pemprov Sulsel di lokasi Pameran Pembangunan di kawasan Benteng Somba Opu. Demikian pula, lukisan Syekh Yusuf karya Bachtiar Hafid tersebut, sebelum adanya penetapan sebagai Pahlawan Nasional sudah banyak dipakai melengkapi publikasi tulisan-tulisan mengenai Syekh Yusuf di media pers. Tahun 1993, Majalah Liberty yang terbit di Surabaya, Jawa Timur, telah mempublikasikan lukisan Syekh Yusuf karya Bahtiar Hafid yang pada tahun 2001 karya-karya lukisnya mendapat pengakuan dari IBC (International Biographical Centre) - Cambridge CB2QP, England. Tak heran, jika sampai saat ini justru banyak orang di Sulsel yang masih memiliki bahkan menyinpan dengan apik reproduksi foto lukisan Syekh Yusuf karya Bahtiar Hafid, dibandingkan lukisan Syekh Yusuf karya Mike Turusi. Apalagi, hingga saat ini masih terbilang kurang dilakukan publikasi resmi mengenai gambar atau lukisan Syekh Yusuf khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan pascapenetapannya sebagai Pahlawan Nasional. [caption id="attachment_88097" align="aligncenter" width="600" caption="Drs.Bachtiar Hafid di Bastion Mandarsyah Benteng Ujungpandang/Ft;Mahaji Noesa"][/caption]

Selain pahlawan Syekh Yusuf, Pak Tiar - demikian panggilan akrab keseharian karibnya terhadap Bachtiar Hafid, juga telah melukis sujumlah tokoh bersejarah lainnya yang pernah ada di Sulawesi Selatan sebelum orang mengenal alat pemotretan. Di antaranya, lukisan La Maddukelleng, tokoh asal Kabupaten Wajo yang juga telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Lukisan Raja Bone Arung Palakka. Sejumlah lukisan mengenai Pahlawan Nasional Pangeran Diponegoro ketika dipenjara (1834-1855) pihak kolonial Belanda di komplek Benteng Ujungpandang (Fort Rotterdam), dan puluhan lukisan tokoh leluhur di Sulsel. Termasuk membuat lukisan Raja Gowa ke-14 (1593 -1639), I Manngarangngi Daeng Manrabbia, bergelar Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna, raja yang memaklumkan agama Islam sebagai agama resmi Kerjaaan Gowa-Tallo. Lukisan Sultan Alauddin tersebut secara resmi telah diserahkan menjadi milik Senat Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Alauddin yang kini telah berubah nama dan status menjadi Univesitas Islam Negeri (UIN) Sultan Alauddin, Makassar. [caption id="attachment_88098" align="alignleft" width="420" caption="Pahlawan Nasional SYEKH YUSUF/Lukisan Bachtiar Hafid/Ft:Putra Jaya MS"]

12965559481926661661
12965559481926661661
[/caption]

Menurut mantan pembawa sekaligus pengisi acara siaran pendidikan 'Mari Menggambar' di Stasiun TVRI Ujungpandang (1976-1987), menjadi kebiasaannya sebelum memulai melukis, terutama terhadap tokoh-tokoh sejarah yang sama sekali tidak punya dokumentasi gambar atau foto, melakukan meditasi religius, berpuasa, berzikir dan banyak bertasbih. Selain tetap menjalankan ibadah wajib maupun sunat, tepat waktu. Ketika akan membuat lukisan 'Khalifah' - penyebutan Bachtiar Hafid terhadap Pahlawan Nasional Syekh Yusuf, sebelumnya ia melakukan puasa selama sebulan penuh. Bahkan ketika menyelesaikan lukisan Syekh Yusuf yang berukuran 175 x 120 cm yang diproses selama tiga hari berturut, bekerja non-stop tanpa makan dan minum, tapi tidak merasa lapar. Pelukis yang mulai aktif melukis tahun 1970 di Akademi Seni Rupa IKIP Yogyakarta ini mengakui, nalurinya mulai tertarik melukiskan wajah para leluhur di Sulsel ketika ia menempati sanggarnya di Komplek Pasar Seni Kawasan Benteng Somba Opu, Makassar, akhir tahun 1992. Sejak di tempat itu, katanya, setiap hari seolah ada yang menggetarkan benaknya untuk melukiskan wajah para tokoh leluhur yang ada di Sulawesi Selatan. Getaran itu melahirkan pola bentuk dalam mata batinnya mengenai rupa leluhur yang akan dilukisnya. Getaran itu yang menuntun menciptakan ujud karya lukisannya. Mulanya, getaran-getaran batin yang hadir ketika akan melukis wajah leluhur dianggap hal biasa. Namun, karena hal itu selalu terasa saat akan melukis wajah leluhur, dia lalu menyadari jika itu merupakan sesuatu kelebihan yang diberikan dari Yang Kuasa. ''Sebagai hamba Tuhan saya lalu lebih memperbanyak rasa syukur kepadaNya, senantiasa memohon petunjuk dan bimbingan agar tidak tersesat dalam mengarungi hidup dan kehidupan, terutama dalam menekuni dan melahirkan karya sebagai pelukis,'' katanya. Hingga saat ini sudah ada sekitar 20 karya lukis para tokoh masa lalu yang dibuat oleh Bachtiar Hafid, yang dikerjakan berdasarkan getaran petunjuk melalui mata batinnya. Dia menampik julukan banyak orang yang menyataka dirinya sebagai pelukis supranatural. Dalam teori lukis, menurut pelukis yang pernah mendapat penghargaan internasional dari Presiden Children Art Studio ST.Cyrill and Methode tahun 2000 (The small monmartre of Bitola) Republic of Mecedonia, untuk melukis wajah tokoh yang sudah meninggal dunia yang hanya punya riwayat tidak punya gambar atau foto, yang paling penting diperhatikan adalah simbolisnya. Hal itu dapat dilakukan melalui pendekatan-pendekatan anatomi. ''Melukis seorang ulama, harus tampak secara simbolik tokoh keulamaannya, jangan dilukis dengan kesan sebagai pedagang,'' jelasnya. Tahun 1968, Bachtiar Hafid pernah mengabdikan diri sebagai tenaga guru di PGA/DDI Kabupaten Pinrang, tempat kelahirannya. Namun, sejak mengenali dunia seni rupa tahun 1970, hingga saat ini ia mengabdikan diri dan bahkan menggantungkan hidup dengan kemandirian dari hasil karya lukis serta membimbing generasi muda. Selain di sanggarnya yang sekaligus menjadi tempat mukim bersama istri dan anak-anaknya di Maccini Danggang, Komplek Pasar Seni Benteng Somba Opu, yang kini masuk wilayah Kelurahan Benteng Somba Opu Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa, dia memberikan privat pelajaran seni lukis kepada generasi muda di dalam Komplek Benteng Ujungpandang. [caption id="attachment_88100" align="alignright" width="640" caption="Pahlawan Nasional Pangeran Diponegoro di Benteng Ujungpandang/Lukisan Bachtiar Hafid/Ft;Mahaji Noesa"]

129655607778592256
129655607778592256
[/caption]

Pendiri wadah seni rupa 'Padaelo' di Jakarta Utara ini, sejak tahun 1987 diberi ijin oleh pemerintah daerah untuk menempati salah satu ruang di benteng peninggalan Kerajaan Gowa, membuka sanggar senirupa yang diberi nama 'Sanggar Ujungpandang'. Pernah menempati ruang bekas tahanan Pangeran Diponegoro. Ketika ruangan tersebut direnovasi, ia berpindah ke sebuah ruang lantai bawah Bastion Mandarsyah di komplek Benteng Ujungpandang. Pria yang hidup penuh kesederhanaan sebagai pelukis selama berpuluh tahun bersama keluarganya ini, pada tahun 1976 -1987 pernah menjadi tenaga edukatif Seni Rupa di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Ujungpandang. Berbagai pameran pernah diikuti atau dilakukan, secara tunggal maupun dalam pemeran lukis berskala regional dan nasional. [caption id="attachment_88102" align="aligncenter" width="600" caption="Penjara Karebosi tempo dulu di Kota Makassar/Lukisan Bachtiar Hafid/Ft:Mahaji Noesa "]

1296556576437980973
1296556576437980973
[/caption] Selain membuat karya lukis bersifat natural, kini Bachtiar Hafid yang pernah menjalankan tugas sebagai tenaga penatar bidang kesenian di lingkup kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Sulsel, sedang mengembangkan lukisan kaligrafi memanfaatkan bentuk-bentuk huruf lontara Bugis-Makassar. Dunia kedinasan sebagai orang kantoran ditinggalkan oleh Bachtiar Hafid dengan penuh keyakinan dapat mandiri sebagai seorang pelukis. Dia begitu tegar membuktikan diri sebagai seniman pelukis sampai saat ini, sekalipun harus membiayai diri sendiri naik pete-pete -- Angkutan Kota bolak balik setiap hari dari tempat kediamannya di Kawasan Benteng Somba Opu ke sanggarnya yang berjarak sekitar 8 km di Benteng Ujungpandang. Demikian, salah satu lukisan natural kehidupan seorang pelukis di Kota Makassar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun