Mohon tunggu...
Mahaji Noesa
Mahaji Noesa Mohon Tunggu... Administrasi - Pernah tergabung dalam news room sejumlah penerbitan media di kota Makassar

DEMOs. Rakyat yang bebas dan merdeka

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kusut Qanun Bendera Aceh

15 April 2013   19:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:08 2008
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13660303561602558126

[caption id="attachment_238179" align="alignright" width="362" caption="ilustrasi Alam Peudeung Bendera Aceh/Sumber: riset Google"][/caption]

Lahirnya Qanun (Perda) No.3/2013 tentang Bendera dan Lambang Provinsi Aceh yang disebut-sebut mirip bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM), menambah sebuah pengetahuan bagi saya pribadi jika ada yang namanya Peraturan Pemerintah  (PP) No.77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah.

Saya pun jadi teringat ketika pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) tahun 2003 berniat menggantikan logo lambang daerahnya, kemudian menimbulkan tanggapan pro-kontra rencana penggantian lambang provinsi tersebut.

Saat itu belum ada rumusan bahwa lambang daerah adalah panji kebesaran dan simbol kultural bagi masyarakat daerah yang mencerminkan kekhasan daerah.

Belum ada ketetapan tentang kedudukan dan fungsi lambang daerah yang meliputi: logo, bendera, bendera jabatan kepala daerah, dan himne, harus ditetapkan melalui suatu Peraturan Daerah (Perda), tetapi tetap bukan sebagai simbol kedaulatan daerah.

Belum ada penegasan bahwa desain logo dan lambang daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannnya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Pasal 6 Ayat 4 PP No.77/2007.

Akibatnya, polemik yang muncul menyangkut rencana perubahan logo lambang daerah Provinsi Sultra kala itu, melahirkan sejumlah tanggapan dan komentar liar keluar dari substansi masalah.

Padahal, alasan mendasar untuk mengganti logo lambang daerah Provinsi Sultra setelah digunakan selama 40 tahun hanya karena 4 warna dasar lambang tersebut yang dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan. Maklum, pada tahun 2003, provinsi Sultra sudah mekar dengan 7 kabupaten/kota.

Keempatwarna dasar yang melatari gambar kepala Anoa sebagai gambar utama lambang daerah Provinsi Sultra, yaitu hijau, kuning, hitam, dan orange merupakan simbol potensi unggulan 4 kabupaten di di Provinsi Sultra ketika mulai berotonomi tahun 1963 sebagai provinsi tersendiri, melepas diri dari Provinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara (Sulselra) yang beribukota di Makassar.

Polemik terhenti, sayembara penggantian logo dan lambang daerah Provinsi Sultra yang sudah dipublikasi di media massa pun dibatalkan. Dan, sekalipun Provinsi Sultra kini sudah terdiri atas 13 kabupaten/kota, tetapi logo lambang daerahnya tidak terubah dengan kesepakatan pikir semua pihak bahwa latar 4 warna tetap dapat dijadikan sebagai simbol potensi unggulan Provinsi Sultra sekalipun telah memiliki puluhan daerah otonomi baru.

‘’Koq gitu aja repot,’’ komentar anak-anak belakangan.

Akan tetapi, dalam hal Perda Pemprov Aceh (Qanun No.3 Tahun 2013) yang menetapkan Lambang dan Bendera Aceh yang mirip dengan lambang GAM, logikanya penetapannya sudah harus memperhatikan hirarki peraturan lebih tinggi sebagai acuan yaitu PP No.77/2007 tentang Lambang Daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 6 Ayat 4 Peraturan Pemerintah No.77/2007 tentang Lambang Daerah mengatur, bahwa desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam Negara Kesatuan republik Indonesia.

Persoalan kemudian menjadi ruwet, karena PP No.77/2007 di Aceh dimentahkan dengan Undang-undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang memberikan kewenangan menyusun qanun atau berupa perundang-undangan seperti dalam bentuk Perda yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat di Provinsi Aceh.

UU Pemerintahan Aceh tersebut setahun lebih dulu hadir, hirarki hukumnya lebih tinggi yang seharusnya menjadi acuan dari penetapan PP No.77/2007. Artinya, benang kusut dapat semakin mengusut apabila Pemprov Aceh tetap ‘ngotot’ memperjuangkan penerapan qanun lambang dan bendera Provinsi Aceh yang mirip bendera GAM tersebut. Apalagi dikabarkan telah terjadi reaksi masyarakat di sejumlah daerah di Provinsi Aceh, seperti Aceh Tamiang, Gayo, Langsa, dan Meulaboh menolak keras penggunaan bendera Provinsi Aceh yang mirip dengan bendera GAM tersebut.

Pasal 18 PP No.77/2007 tentang Lambang Daerah yang ditetapkan di Jakarta, 10 Desember 2007 oleh Presiden RI DR.H.Susilo Bambang Yudhoyono mengatur, bendera suatu daerah tidak dikibarkan pada upacara memperingati hari-hari besar kenegaraaan di daerah, upacara ulang tahun daerah, dan/atau upacara/apel bendera lainnya.

Bayangkan kacaunya NKRI yang telah memiliki lambang dan bendera negara, jika aturan tentang lambang daerah seperti itu lantas dapat diabaikan dengan penerapan aturan melalui Perda yang justru sebaliknya dapat mengutamakan penonjolan lambang dan bendera daerah.

Energi seperti itu ada dalam Bab XXXVI mengenai Bendera, Lambang, dan Himne, pasal 246, 247, 248 dalam Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Simak:

Pasal 246

(1) Bendera Merah Putih adalah bendera nasional dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(2) Selain Bendera Merah Putih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan.

(3) Bendera daerah Aceh sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan

merupakan simbol kedaulatan dan tidak diberlakukan sebagai bendera kedaulatan di

Aceh.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk bendera sebagai lambang sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Qanun Aceh yang berpedoman pada peraturan

perundang-undangan.

Pasal 247

(1) Pemerintah Aceh dapat menetapkan lambang sebagai simbol keistimewaan dan

kekhususan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai lambang sebagai simbol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Qanun Aceh.

Pasal 248

(1) Lagu Indonesia Raya adalah lagu kebangsaan yang bersifat nasional dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(2) Pemerintah Aceh dapat menetapkan himne Aceh sebagai pencerminan keistimewaan dan kekhususan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai himne Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat 2) diatur dalam Qanun Aceh.

Justru kita berharap produk Qanun Aceh No.3/2013 dapat diselaraskan penerapannya dengan mengutamakan semangat NKRI antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi Aceh.

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun