Mohon tunggu...
Mahaji Noesa
Mahaji Noesa Mohon Tunggu... Administrasi - Pernah tergabung dalam news room sejumlah penerbitan media di kota Makassar

DEMOs. Rakyat yang bebas dan merdeka

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kotak Ningsi, Geliat Ibu yang Tersudut

22 Desember 2013   15:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:37 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah hampir 5 tahun keseharian perempuan Ningsi (42) hidupnya bermukim di sebuah kotak triplek berukuran sekitar 100 x 120 cm, tapi tidak  pernah ada yang peduli. Mirisnya, ibu dari seorang anak ini sampai sekarang tidak terdata sebagai penduduk Indonesia.    

Padahal kotak berkaki yang sepintas terlihat menyerupai gerobak dorong pedagang Kaki-5  tersebut berada di Jalan Mesjid Nurul Jiihad kota Makassar, setiap hari selalu ramai dengan aktivitas lalu-lalang warga berada di samping Kantor Unit Polisi PJR (Patroli Jalan Raya) Sulsel. Orang-orang sekitar termasuk para pemilik kios Kaki-5 serta pengurus dan jamaah tetap mesjid Nurul Jihad tempat Ningsi sering memanfaatkan MCK-nya, umumnya tahu jika penghuninya adalah seorang perempuan pengemis jalanan.

''Penghuninya seorang perempuan peminta-minta,'' menegaskan seorang pengunjung kios Kaki-5 yang hampir berhadapan dengan Kotak Ningsi, Minggu (22/12/2013) siang.

Ningsi (nama panggilan) mengaku kotak atau gerobak tersebut dibuat oleh tukang yang dibayar lebih Rp 1 juta ketika tahun 2008 dia mulai beroperasi sebagai pengemis di kawasan perdagangan Panakkukang kota Makassar.

''Kalau pintu gerobak terkunci berarti saya belum pulang, masih sedang mengemis. Kalau tidak terkunci saya ada, sedang tidur pistol di dalamnya,'' jelas Ningsi. Tidur Pistol dimaksudkan adalah tidur melengkung karena ukuran tubuhnya tinggi lebih 160 cm lebih panjang dari kotak tempat tidur yang sekaligus menjadi rumahnya. 

13877004461257851357
13877004461257851357

Dia mengaku lebih banyak beroperasi mengemis sore hingga malam, bahkan sampai dini hari, berpindah-pindah meminta-minta dari pengunjung mall, toko, kantor, hotel, cafe, restoran, warkop dan rumah makan yang ada di kawasan Panakkukang. Pagi hingga siang hari setiap hari lebih banyak digunakan sebagai waktu tidur.

Dalam kesempatan percakapan dengan perempuan asal sebuah kabupaten di wilayah tengah Provinsi Sulawesi Selatan tersebut saat mengaso di tepi teras sebuah Warkop di Jl Topaz Panakkukang mengaku, lahir dan hidup dari keluarga miskin.

Sulung dari dua bersaudara sejak kecil diasuh ibu, karena kedua orang tuanya bercerai. Setamat SMP ibunya sendiri menjerumuskan menjadi pelacur di kota Makassar. Setelah sekitar 3 tahun hidup mendulang uang dari hasil remukan nafsu jalang banyak lelaki, seseorang memboyongnya sebagai pendamping hidup. Namun nasib rumah tangganya tak bisa langgeng, dan Ningsi bersama seorang bayinya harus berpisah meninggalkan suatu daerah kampung halaman lelaki yang membawanya di Sulawesi Tenggara untuk kembali ke kampung halamannya di Sulawesi Selatan. Anaknya yang masih Balita kemudian ditinggalkan untuk dipelihara neneknya, dan Ningsi kembali ke kota Makassar.

''Saya kembali ke Makassar setelah beberapa saat Presiden Soeharto diganti,'' jelasnya.

Dengan modal kemolekan paras dan tubuhnya dia menyadari saat itu masih dapat menekuni kembali jejak masa lalunya sebagai perempuan malam mencari duit khususnya di tempat-tempat hiburan malam yang pernah dijalani di antara dengus nafsu banyak lelaki.

''Saya sudah capek jadi pelacur,'' tandasnya.

Entah petunjuk dari mana ketika Ningsi kembali ke kota Makassar tahun 2008 justru kemudian setiap hari membalut tubuhnya dengan pakaian kumal lalu turun jalan beroperasi sebagai pengemis hingga sekarang.

Selama menempati kotak di Jalan Mesjid Nurul Jihad, Ningsi mengaku tidak pernah dihubungi oleh aparat pemerintah maupun warga sekitar untuk didaftar sebagai warga penduduk kota Makassar atau diberi bantuan dan pembinaan sebagai warga miskin atau gelandangan pengemis.

Tak ada yang peduli, dan Ningsi enjoi saja sampai sekarang menjalani nasibnya sebagai seorang pengemis jalanan di kota Makassar.

''Biarlah saya begini asal anak saya tidak rusak masa depannya,'' katanya menyiratkan tekadnya untuk menjadi pengemis.

Tahun lalu, anak lelakinya yang semata wayang tinggal bersama neneknya di kampung sudah tamat SMA, semua dibiayai dari hasilnya bekerja sebagai pengemis. Namun hingga sekarang setiap bulan masih harus mengumpulkan uang lebih dari Rp 1 juta untuk sebagai biaya hidup anak sekaligus membayar sebuah rumah yang dibeli secara menyicil untuk anaknya tersebut.

''Mudah-mudahan saya tetap sehat selalu banyak pendapatan dari mengemis untuk dapat menyekolahkan anak saya agar dapat menjadi orang berguna yang punya pekerjaan dengan penghasilan yang baik,’’ katanya.  Ooww......Ningsi, apapun kata nasib, Selamat Hari Ibu, 22 Desember 2013.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun