Mohon tunggu...
Maftuhi Firdaus
Maftuhi Firdaus Mohon Tunggu... -

Ganggadata

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Politik Biaya Tinggi dan Integritas

14 Februari 2017   09:42 Diperbarui: 7 September 2017   19:38 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Maftuhi Firdaus  

13 Februari 2017

Email : firdausmaftuhi@gmail.com

 Politik merupakan suatu hal yang mengasikan, sehingga pembicaraan atau forum diskusi yang mengangkat tema politik kerap kali dilakukan oleh setiap kalangan masyarakat. Terlebih dalam beberapa waktu belakangan ini, pembahsan mengenai hal tersebut semakin sering dilakukan karena memang pesta demokrasi (pemilu) tingkat kepala daerah akan dilakukan. Namun lain dari pesta demokrasi (pemilu) kepala daerah sebelumnya, kali ini pesta pemilu kepala daerah dilakukan secara serentak pada 101 daerah di Indonesia. Semua oang seolah-olah sudah paling pandai bilamana berbicara pemilu, mulai dari melambungkan sampai menjatuhkan satu sama lain pasangan calon yang ada. Juga ada yang bersikap netral (tanpa arah), yang disebabkan oleh satu hal dan hal lain. Itulah penghias pesta demokrasi yang menjadi corak dan membuat lebih meriah.

Namun dibalik gemerlap dan meriahnya pemilihan umum banyak sekali yang menjadi perhatian, salah satunya yaitu politik biaya tinggi. Dengan artian, setiap pemilhan umum dilakukan, pasti akan diikut dengan pembiayaan tinggi dari tahap pra sampai pasca pemilihan umum yang ditanggung oleh setiap pasangan atau partai yang mengusung. Dalam hal ini memang biaya diperlukan dalam setiap pemilihan umum, namun yang menjadi perhatian adalah biaya yang terlalu tinggi. Pada beberapa daerah, KPUD telah menetapkan besaran jumlah uang yang dikeluarkan pada setip pasangan calon. Namun angka yang sudah ditetapkan pun masih dalam rupiah yang besar. Dan berapapun besarannya, biaya tersebut menandakan mahalnya biaya politik setiap pemilu kepala daerah yang dilakukan. Dalam hal iaya politik, tidak menutup kemungkinan ada biaya biaya lain yang dikeluarkan oleh setiap pasangan calon diluar apa yang telah dilaporkan kepada KPUD setiap daerah. Biaya itu merupakan biaya yang dikeluarkan untuk membeli suara rakyat dengan istilah populis “serangan fajar” dan lain lain.

Pada dasarnya politik meruakan suatu cara untuk mendistribusikan keadilan. Mulai dari pendistribusian hak ekonomi sampai hak social masyarakat, itu secara idealita pengertian politik. Namun seiring berjalannya waktu, politik mengalami distorsi yang menjadikan tujuan utama politik yaitu pendistribusian keadilan tidak tercapai, atau melenceng dari tujuan utamanya. Hal ini bisa dikarenakan kuranya pemahaman atas politik itu sendiri oleh kalangan politisi atau kurangnya pengawasan dai masyarakat sehingga tujuannya tidak tercapai. Dalam konstelasi politik saat ini, sudah bukan hal yang bersifat rahasia lagi bila politik di Indonesia indentik dengan politik uang atau (money politic).

Hal ini dikarenakan, terjadinya “trade-off” antara politisi dan masyarakat, dimana masyarakat memiliki suara dan politisi memiliki sumber daya kcapital. Maksudnya dalam konstelasi politik, suara merupakan modal utama untuk mencapai posisi sebagai eksekutif dan hal itu hanya didapatkan dari masyarakat yang memiliki hak suara dalam pemilihan. Juga dalam prespektif masyarakat, kini uang bukanlah hanya sebagai alat satuan hitung sederhana saja. Melainkan sudah menjadi kebutuhan pokok dan bisa dibilang menjadi komoditas penting dalam kehidupan. Dengan adanya uang semua bisa dilakukan, dengan adanya uang semua bisa dibeli dan lain sebagainya. Dan dengan semakin tidak pastinya kondisi ekonomi bangsa, membuat (segelintir) masyarakat melakukan hal apapun demi mendapatkan uang, mulai dari perampokan, pemerasan, sampai jual beli suara pada setiap pemilihan umum tidak terkecuali pemilihan umum kepala daerah.

Suara merupakan kebutuhan pokok bagi politisi dan uang adalah kebutuhan bagi masyarakat, sehingga tidak jarang “trade-off” itu dilakukan. Setalah dikalukannya pertukaran, setiap pelaku berhak atas apa yang telah diterima dengan menukarkan sumber daya yang dimiliki. Dalam arti kata, bilamana suara telah diterima oleh politisi dari (segelintir) masyarakat maka hak sepenuhnya atas penggunaan suara ada pada tangan politisi sebagai pemilik yang sah. Begitu juga hak atas uang yang telah diterima oleh (segelintir) masyarakat yang diberikan oleh politisi. Hal ini disebut “money politic”, yang berdampak pada terciptanya gap antara pemangku keijakan kelak dengan masyarakat selaku pemilik kekuasaan tertinggi. “Gap” yang dimaksud adalah pemisahan diri dari esensi politik itu sendiri, dimana representative masyarakat digambarkan pada orang yang berada pada posisi pemerintahan. Jikalau memang hak suara sudah dikantongi, maka kesewenang wenangan bisa saja dilakukan karena memang sudah “direstui” oleh masyarakat.lantas apa yang bisa dilakukan oleh pemegang kekuasaan tertinggi sebenarnya ? melakukan aksi demosntrasi ? aksi mogok masa ? atau hal lainnya yang bersifat artificial ?

Tentunya hal ini sangat merugikan bagi masyarakat, karena bukan hanya akan menimbulkan kesewenang wenangan atau penyalahgunaan wewenang “abuse of power” juga pemberian hak suara terkadang kepada orang yang tidak tepat secara kapasitas dan kapabilitas. Semua hanya berdasarkan pada kekuatan materil semata tanpa melihat sisi kemampuan memimpin dan pandangan akan masa depan daerah tersebut. Oleh karena itu rasa kesadaran akan pentingnya peran politik harus mulai ditumbuhkan oleh setiap individu dalam masyarakat. Menanamkan sikap politik partisipatif dan politik evaluativ merupakan hal yang penting bagi konstelasi politik bangsa. 

Dalam artian, tingkat partisipasi public atau masyarakat bukan hanya sebatas pada peran pemilih pada pemilihan umum kepala daerah saja, melainkan pada partisipasi aktif pada setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintahan kelak. Seperti berpatisipasi dalam menciptakan birokrasi bersih dari politik uang, turut andil dalam menciptakan atran aturan, turut aktif dalam penerapan peraturan yang sudah dibuat. Dalam hal politik evaluatif, masyarakat mengevaluasi kinerja pemerintahan dengan melakukan penilaian atas kinerja berasumsikan program atau rancangan kerja yang sudah disahkan atau dipaparkan oleh pemerintahan. Sehingga bukan hanya sumbangsih pada pemilihan umum saja peran masyarakat, melainkan hal yang lebih besar bisa dilakukan. Rasa canggung atau rasa takut akan pemerintahan harus dihilangkan, demi tercapainya titik ideal dalam sebuah pemerintahan, karena jikalau masyarakat takut untuk berpartisipasi dan mengevaluasi, konsukusnesi logis dari hal itu adalah melebarnya jurang pemisah dan semakin berpotensi penyalahgunaan wewenang.

Langkah kongkrit yang terdekat dalam hal ini adalah menolak politik uang, mencipakan dan membiasakan diri untuk politik bersih harus dibiasakan sejak hari ini. Jangan ada “trade-off” antara calon biroktarak atau pemerintah dengan masyarakat. Sebagai ilustrasi, uang yang dibagikan sebesar Rp.100.000. jikalau uang itu dibagi 5 tahun dengan jumlah hari 1825 hari. Maka Rp.100.000/1825 = Rp. 52 /hari, angka yang amat sangat kecil dan tentunya menunjukan sebegitu murahnya kekuasaan. Menjadi masyarakat yang cerdas dan bermartabat merupakan kunci keberhasilan atas sebuah pemerintahan daerah. Semakin bermartabat dan berintegritas, semakin besar peran dan fungsi politik maysrakat demi mewujudkan cita-cita bersama selama 5 tahun kedepan bahkan berabad-abad kedepan. Hindari politik uang, ciptakan rasa malu dan junjung tinggi integritas, moral serta kejujuran!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun