Mohon tunggu...
maestroway13
maestroway13 Mohon Tunggu... -

bermanfaat untuk orang lain

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dualisme Kebijakan dalam Kasus Bipatride Gloria dan Arcandra

17 Agustus 2016   14:13 Diperbarui: 17 Agustus 2016   14:29 784
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tepat tanggal 17 Agustus 2016 esok bangsa ini memperingati hari kemerdekaannya yang ke -71. Kibaran bendera merah putih menghiasi berbagai pelosok negeri mulai dari kota hingga desa. Kibaran tersebut tidak hanya sebagai simbol tanpa makna. Sudah seharusnya kibaran yang ada menjadi simbol kobaran semangat juang yang selayaknya ada dan terpatri dalam jiwa anak bangsa tidak terkecuali pasukan pengibar bendera pusaka (PASKIBRAKA). Untuk menjadi bagian dari PASKIBRAKA, semua anak bangsa wajib menjalani seleksi hingga lolos sampai tingkat nasional untuk kemudian menjalani masa karantina hingga pelantikan sebagai anggota PASKIBRAKA dilaksanakan. Sebuah prestasi dan kebangggaan tentunya jika hal itu dapat dicapai. 

Salah satu anggota paskibra yang berhasil lolos hingga tingkat nasional adalah Gloria Natapraja Hamel yang mewakili Jawa Barat. Impiannya untuk menjadi bagian penting dalam upacara kemerdekaan yang ke 71 kandas sudah manakala Presiden Jokowi batal melantiknya dengan alasan dua kewarganegaraan. Alasan yang sebenarnya tidak ada landasan hukum yang jelas. Untuk dapat menjadi anggota PASKIBRAKA, seseorang harus mampu melewati tahapan seleksi :

  • Pengetahuan umum dan kemampuan baris berbaris
  • Kesehatan
  • Postur tubuh yang dibuktikan dengan hasil CT scan (computed tomography scan)
  • Psikotes dan
  • Wawancara
  • Karantina

Jadi sungguh ironi memang pembatalan pelantikan yang terjadi pada diri seorang Gloria. Ia sudah melewati seleksi dari kota hingga nasional. Ini artinya ia memiliki kemampuan sebagaimana yang sudah ditentukan. Proses panjang yang ia lalui hingga akhirnya sampai pada tahap karantina sudah pasti dengan semangat juang yang tinggi. Tidak mungkin seseorang mampu melewati itu semua tanpa adanya semangat untuk berjuang meraih apa yang diinginkannya. Pembatalan ini tentunya menjadi beban psikis tersendiri bagi seorang Gloria. Gadis berusia 16 tahun ini sudah pasti memiliki rasa nasionalisme walau ia terlahir bipatride. Kalau saja jiwa nasionalisme itu tidak ada dalam dirinya, sudah barang tentu ia tidak akan mengikuti seleksi panjang tersebut.

Pembatalan pelantikan yang dilakukan oleh seorang Presiden Jokowi sudah selayaknya tidak terjadi jika memahami psikologis anak dan hukum kewarganegaraan yang ada di negara ini. Gloria  merupakan seorang anak yang terlahir dari pernikahan ayah berkewarganegaraan Perancis dan ibu WNI. Yang dari pernikahan tersebut mengakibatkan Gloria memiliki dua kewarganegaraan (bipatride). Dalam UU no 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan pada pasal 4 poin (d) dinyatakan bahwa WNI adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah warga negara asing dan ibu WNI. Sangat jelas dan gamblang apa yang tertuang dalam hukum kewarganegaraan tersebut. Walau ayahnya warga negara asing, Gloria tetap WNI sampai ia berusia 18 tahun dan kemudian memilih setelah berusia 18 tahun/sudah menikah (pasal 6). Alangkah ilegalnya keputusan untuk seorang pemuda WNI yang telah berjuang hingga tingkat nasional.

Masalah dua kewarganegaraan (bipatride) tidak hanya menimpa seorang Gloria tetapi juga dialami oleh Arcandra, ex Menteri ESDM yang belum satu bulan menjabat diberhentikan dengan hormat oleh Presiden Jokowi. Presiden memang memiliki hak prerogratif untuk mengangkat dan memberhentikan menteri. Hal ini sejalan dengan sistem presidensil yang berlaku di negara Indonesia. Namun demikian hak ini bukan berarti dapat digunakan tanpa adanya pertimbangan-pertimbangan apalagi melawan hukum positif yang berlaku saat ini. Sungguh miris apa yang melanda kabinet pemerintah saat ini. Bagaimana tidak, secara tidak langsung negeri ini telah kecolongan dan terusik kedaulatannya dalam mengurus pemerintahannya sendiri. 

Seorang yang diangkat menjadi menteri ESDM ternyata memiliki paspor negara lain. Hal ini berarti bahwa Presiden telah mengangkat warga negara asing (WNA) menjadi bagian penting dalam pemerintahan Indonesia. Sungguh keputusan yang tidak cermat dan menunjukkan bagaimana buruknya sistem administrasi negara ini. Kalau saja untuk melantik anggota PASKIBRAKA, Presiden mampu cermat hingga akhirnya membatalkan prosesi pelantikan Gloria, mengapa untuk tingkatan lingkaran pertama pemerintahan negara ini kecolongan dan tidak cermat?!. Masih dalam UU No 12 tahun 2006, pada bab IV pasal 23 poin (h) dinyatakan bahwa seseorang kehilangan kewarganegaraan Indonesia ketika mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor atau surat dari negara asing yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya. Dari pasal tersebut bahwa jelas, apa yang sedang melanda Menteri ex ESDM Arcandra bukanlah dua kewarganegaraan tetapi menteri yang berkewarganegaraan Amerika Serikat. 

Hal ini sangat jelas, orang yang memiliki paspor atau sejenisnya maka kewarganegaraan Indonesianya hilang secara otomatis. Sudah seharusnya Presiden membatalkan Surat Keputusan (SK) pengangkatan Arcandra sebagai Menteri ESDM bukan hanya sekedar memberhentikan dengan hormat. Memang benar hak prerogratif adalah hak presiden. Dan tanpa mengurangi rasa hormat atas hak prerogratif yang dimiliki ole Presiden Jokowi, sudah seharusnya keadilan keputusan atas Arcandra juga sama adilnya untuk seorang Gloria. Apalagi pemerintah menganggap dua kasus ini sama sebagai kasus bipatride seorang Gloria dan Arcandra. Diperlukan ketegasan dari seorang presiden untuk membatalkan SK pengangkatan menteri ESDM tersebut. 

Dan diperlukan kelogowoan dari seorang Presiden untuk menghargai perjuangan seorang Gloria. Hal ini sangat diperlukan sebagai wujud tanggungjawab Presiden terhadap rakyat Indonesia yang telah memilihnya secara langsung dalam pemilihan presiden 2014 lalu. Kalau penyelesaian kasus Arcandra hanya sebatas pemberhentian dengan hormat dan dikaji semata maka dipertanyakan kesungguhan dan kepiawaiann bapak Presiden dalam menjalankan dan mengurus negeri tercinta ini. Kedaulatan negara ini pun secara tidak langsung telah diusik. Tidak mungkin negeri Paman Sam tidak mengetahui warganya telah menjadi seorang Menteri di negara lain. 

Kalau saja ada warganya yang terancam di negara lain diperjuangkan dengan sunggu-sungguh, apakah mungkin negara sebesar Amerika Serikat kecolongan pula dalam administrasi kependudukannya? Apakah ini sebuah kesengajaan untuk mempermalukan negara Indonesia?. Jika pemerintah tidak tegas untuk untuk kasus ini maka terusiklah kedaulatan negara ini. Dan sudah seharusnya sebagai warga negara Indonesia untuk menjaga dan mempertahankan kedaulatan NKRI sebagai wujud mengisi kemerdekaan yang telah menginjak usia 71 tahun. Salam Merdeka!!     

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun