Mohon tunggu...
mad yusup
mad yusup Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menggemari nulis, membaca, serta menggambar

tinggal di kota hujan sejak lahir hingga kini menginjak usia kepala lima

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Euforia Citayam

28 Juli 2022   10:38 Diperbarui: 28 Juli 2022   10:40 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Fenomena Citayam Fashion Week yang secara tiba-tiba menghantam bak tsunami pada kemapanan gaya busana/mode di tengah masyarakat ini ditengarai merupakan sebuah rebel, perlawanan/pemberontakan dari kasta pinggiran terhadap dominasi kelas menengah dalam hal mode pakaian selama ini yang terkesan glamour.

Meskipun pusat nongkrong untuk adu 'nyentrik' dalam berbusana adalah kawasan elit Sudirman, namun nama Citayam-lah yang berkibar. Sebuah nama daerah asal mereka yang mencerminkan orang udik, kampungan, dan seringkali dicibir dengan sebutan jamet (akronim dari Jawa metal yang biasa disematkan pada mas-mas yang bekerja di kawasan Blok M atau Glodok) dalam hal penampilan.

Yang berbeda pula dengan Dago-Bandung misalnya, sebagai tempat hangout yang dipenuhi anak-anak gaul nan modis, namun mereka lebih branded alias berkelas dibanding anak-anak Citayam.

Hantaman Citayam ini pun menggetarkan para vlogger dan selebritas yang selama ini kerap memamerkan outfit mereka yang serba mewah di medsos. Apakah itu topi, kaca mata, baju, tas, hingga sepatu dengan harga yang begitu fantastis. Atau kunjungan ke tempat-tempat wisata yang hanya menjadi impian bagi anak-anak pinggiran. Yang akan selalu dimulai dengan pertanyaan: Ada yang bisa nebak berapa harga t-shirt ini? Atau: Ada yang tahu aku lagi di mana?

Aku Bergaya Maka Aku Ada

Era atau dunia visual sekarang ini sebagai efek dari gelombang ketiga peradaban manusia (era informasi), secara tak terduga memberi kejutan yang mungkin tak terpikirkan. Siapa yang menduga penjaga karcis jalan tol yang dulu diasosiasikan dengan iklan gadis cantik kini sudah tak ada lagi digantikan dengan mesin. Atau retail toko besar yang bangkrut karena hadirnya toko-toko online. Bagaimana euforia NFT ketika Ghazali dengan pengulangan wajah tanpa ekspresinya berhasil mengguncang dunia.

Belum lagi dengan mereka yang berlomba-lomba menjadi youtuber sebagai lahan profesi baru dengan segala keunikan materinya. Ada yang mengandalkan humor, petualangan, sulap, hobi, hingga keliling daerah untuk menikmati makanan. Dan ketika beruntung dengan jutaan subscriber-nya akan mendatangkan pundi-pundi uang yang tak sedikit, bahkan bisa menjadikannya seorang 'sultan'. Siapa yang tak tergiur?

Ini sebenarnya menggambarkan sifat naluriah manusia sebagai homo sapiens yang terus berevolusi, dan pada dasarnya masih tetap akan bereaksi untuk bertahan (survive) di tengah perubahan zaman. Termasuk salah satunya upaya anak-anak remaja yang ngumpul di Dukuh Atas itu yang merupakan kawasan Sudirman Central Business District yang diplesetkan menjadi Sudirman, Citayam, Bojong Gede, Depok (SCBD).

Ketika fenomena para remaja yang bergaya di Dukuh Atas itu dimunculkan di twitter sebulan lalu, sempat riuh twitwar antara yang pro dan kontra. Yang mencibir menyebut mereka sebagai generasi pemalas yang tak mau sekolah. Sementara yang pro menyebut itu sebagai bentuk ekspresi dan hiburan mereka yang patut diapresiasi.

Penulis sendiri langsung teringat akan seorang filsuf, Rene Descartes (1596-1650) dengan ucapannya yang terkenal: cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada. Tapi redaksinya diubah menjadi: aku bergaya maka aku ada. Sebagaimana dulu waktu kuliah kalimat itu 'diselewengkan' oleh anak-anak cewek menjadi: aku belanja maka aku ada.

Ya, aku bergaya maka aku ada! Berani tampil beda, meski tak se-glowing artis Korea. Itulah keniscayaan abad digital, abad visual. Sebab mereka adalah anak-anak generasi yang menurut Kupperschmidt's (2000), masuk dalam kategori Generasi Z atau Generasi Alpha (iGeneration), yakni generasi yang terbiasa hidup simple dan serba instan, ambisius, mempertanyakan otoritas, dan tidak pernah mengenal kehidupan tanpa teknologi. Forbes Magazine  menyebut generasi ini merupakan generasi global pertama yang terlahir di abad-21.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun