Mohon tunggu...
mad yusup
mad yusup Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menggemari nulis, membaca, serta menggambar

tinggal di kota hujan sejak lahir hingga kini menginjak usia kepala lima

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Kuliner dan Budaya Niaga dalam Jejak Kolonial di Kota Hujan

3 Desember 2021   10:27 Diperbarui: 3 Desember 2021   13:46 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Bagi warga Jakarta, tentu tak asing dengan nama Jalan Surya Kencana -yang kini tengah direvitalisasi- sebagai salah satu tujuan wisata kuliner di akhir pekan. Apalagi di era medsos sekarang dengan banyaknya tayangan konten-konten jajanan hingga konten yang 'serius' mengangkat tema sosial di kawasan pecinan tersebut.

Sebelum era medsos hadir, kuliner 'jalanan' itu pernah diangkat oleh FX Puniman, kontributor harian Kompas dengan menyajikan liputan berjudul "Comro Termahal dari Bogor" yang terbit pada Selasa, 20/11/2005. Sejak itulah jajanan kaki lima di sepanjang Jalan Surya Kencana - Jalan Siliwangi menghiasi harian-harian lokal dan nasional. Dari mulai soto kuning Pak Salam hingga nasi goreng pete Guan Tjo. 

Kehadiran para pedagang makanan di tempat itu tidaklah serta merta begitu saja. Ada riwayat panjang yang mengiringi perjalanannya. Yang kini seringkali dianggap eksotis di era yang serba instagramable. Dari jenis makanan, nama, sajian, hingga lingkungannya yang identik dengan warga keturunan itu.

Menjadi Ciri Identitas

Pada masa kolonial Belanda, struktur masyarakat terbagi dalam tiga kelas. Sebagaimana tertuang dalam Indische Staatsregeling Pasal 163, yang mengatur pembagian golongan dalam masyarakat. Pertama, golongan Eropa; kedua, golongan Timur Asing (Tionghoa, Arab, India); dan ketiga, golongan Bumiputera.

Pembagian ini tentunya bukan sekedar aturan hukum semata, namun juga sarat bermuatan politis. Sebab orang Jepang justru dimasukkan sebagai golongan Eropa hanya karena ada ikatan perjanjian dagang di antara mereka pada tahun 1896.

Secara sosial, dampak dari aturan ini adalah dibangunnya koloni-koloni untuk masing-masing komunitas agar mudah dalam hal pengawasan maupun kelancaran sektor dan jalur perniagaan. Koloni-koloni ini dipimpin oleh seorang 'kapitan' dari komunitasnya sendiri yang ditunjuk langsung pemerintah kolonial.

Tak terkecuali dengan wilayah Bogor yang dulu disebut Buitenzorg, terambil dari nama Istana Buitenzorg -kini disebut Istana Bogor- yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Belanda, Gustaaf Willem Baron van Imhoff pada tahun 1744 sebagai tempat bagi para pembesar kolonial untuk menikmati liburan dan beristirahat.

Kawasan yang diperuntukkan secara khusus itulah yang sekarang masih bisa kita saksikan. Seperti wilayah Empang dan sekitarnya sebagai basis komunitas Arab yang secara langsung bersanding dengan komunitas Tionghoa yang mendiami wilayah Lawang Saketeng dan sekitarnya. Sementara daerah Sempur dan Taman Kencana sekarang merupakan wilayah golongan Eropa, yang kini hanya tersisa berupa bangunannya saja.

Tempat-tempat itu sekarang menjadi ciri khas dan identik dengan komunitasnya. Termasuk di dalamnya adalah bangunan-bangunan tempo dulu yang seharusnya masuk kategori cagar budaya, di luar masjid dan kelenteng sebagai heritage (warisan budaya) Kota Bogor.

Budaya Niaga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun