Mohon tunggu...
mad yusup
mad yusup Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menggemari nulis, membaca, serta menggambar

tinggal di kota hujan sejak lahir hingga kini menginjak usia kepala lima

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenang Semaraknya Dongdang Muludan

19 Oktober 2021   07:55 Diperbarui: 19 Oktober 2021   08:48 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tulisan ini menyambung artikel  sebelumnya yang mengupas tradisi Rebo Kasan di kampung penulis yang masih tetap lestari hingga sekarang. Yang berbeda dengan perayaan Muludan yang digelar bak sebuah festival dan kini hanya tinggal kenangan.

Berakhirnya bulan Sapar (Shafar) yang ditutup dengan acara Rebo Kasan yang khidmat itu, para warga kampung akan kembali bersiap menyambut hari kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada bulan berikutnya, yakni bulan Mulud (Rabiul Awal).

Dahulu, perayaan ini terasa lebih meriah dan semarak dibandingkan dengan hari raya Lebaran (Idulfitri) apalagi hari Rayagung/Lebaran Haji (Iduladha), karena berlangsung lebih dari sebulan dengan cara bergiliran di setiap kampung.

Meskipun tanggal kelahiran itu jatuh pada 12 Rabiul Awal, namun acaranya akan dihelat dari awal sampai akhir bulan Mulud, bahkan hingga memasuki bulan Silih Mulud (Rabiul Akhir). Kenapa? Karena perputarannya yang jatuh seminggu sekali, sementara kampung-kampung yang bergiliran meliputi tujuh kampung.

Festival Kampung

Ketika satu kampung menggelar Muludan, maka warga enam kampung lainnya akan hadir mengikuti acara yang berlangsung pada malam hari itu. Dan seperti sudah menjadi ketentuan tak tertulis (konvensi) pula, kampung kami selalu menjadi yang terakhir menggelar perayaan Muludan atau Maulid Nabi tersebut.

Meski acara yang berpusat di masjid jami itu dimulai sehabis isya, namun kesibukannya akan terasa dua hari menjelang pelaksanaan Muludan. Bahkan kerabat dari kampung lain akan ikut serta datang membantu saudaranya memasak makanan yang memang lebih banyak dan lebih besar dari pada hidangan ketupat di hari raya.

Hampir dipastikan, setiap rumah akan memotong beberapa ekor ayam -sesuai kemampuan- untuk dibuat bakakak sebagai hidangan utama, selain nasi, mie, bihun, orek-orek tempe dan buncis, hingga rendang telur.

Sementara para lelakinya sibuk mempersiapkan dongdang sebagai tempat penyimpanan makanan tersebut. Sebuah dipan kayu dengan rangka bambu dan kertas wajit yang berwarna-warni akan dibentuk menjadi miniatur masjid, rumah, mobil, perahu, pesawat, bahkan ka'bah.

Miniatur-miniatur kertas itu sekilas hampir mirip dengan model sejenis yang biasanya muncul pada upacara kematian dari saudara-saudara kita etnis Tionghoa. Bedanya, dongdang itu tidak untuk dibakar tetapi akan diisi hidangan. Lengkap dengan aneka buah seperti pisang, nenas, dan jeruk yang digantung. Serta tak ketinggalan adalah puluhan batang-batang rokok yang ditempel pada kertas penghias bak asesoris. Selain bendera merah putih yang menjadi simbol ke-Indonesia-an.

Menjelang magrib, seluruh makanan yang disimpan dalam beberapa baskom dan nampan besar mulai ditata di dalam dongdang. Para ibu atau anak-anak akan berjaga di samping dongdang agar tak ada kucing nakal ngembat bakakak ayam yang wanginya memang menggoda.

Setiap dongdang rata-rata mewakili tiga rumah, kecuali orang-orang tertentu yang biasanya satu dongdang mewakili keluarga besarnya. Semua ditempatkan di halaman rumah masing-masing. Maka tak heran, dalam satu perhelatan Muludan akan ada belasan hingga dua puluhan buah dongdang. 

Bakda magrib, shalawat pun dilantunkan diiringi tetabuhan rebana untuk menyambut para undangan dari kampung lain yang mulai berdatangan ke masjid jami. Luasnya masjid tak mampu menampung orang-orang yang sebagian duduk lesehan di jalan dan teras-teras rumah warga sekitar masjid. Pun dengan salat isya berjamaah, laiknya salat hari raya saja. Penuh dan sangat padat.

Acara dibuka dengan asrokol atau marhabaan, yakni pembacaan kitab Barzanji yang dipimpin ajengan tuan rumah. Lantunannya yang bersahut-sahutan dengan jamaah begitu menggema ke seluruh penjuru kampung. Pembacaan shalawat Barzanji ini diakhiri dengan acara ngayun, ritual potong rambut untuk para bayi dari warga kampung.

Secara simbolik, sang ajengan memotong rambut dengan gunting yang ditempatkan secara khusus di dalam sebutir kelapa hijau. Di mana mata guntingnya tercelup air kelapa yang bertabur bunga. Usai dipotong rambutnya, kepala bayi lantas diusap dan didoakan oleh para ajengan dan sesepuh masyarakat yang hadir.

Menjelang ceramah yang diisi oleh ajengan tamu, dikumandangkan ayat-ayat suci Al Quran oleh qori terbaik di kampung. Sangat kontras dengan suasana sebelumnya yang membahana saat shalawat, keheningan begitu menelusup hingga sanubari. Khidmat mendengar kalam ilahi.

Ceramah yang menceritakan kejadian yang mengiringi kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad SAW seakan tak bosan untuk disimak. Sebab setiap penceramah sepertinya punya cara tersendiri dalam menjelaskan peristiwa tersebut.

Dan puncak acara Muludan pun dimulai. Setelah panitia mengumumkan titik kumpul untuk masing-masing kampung undangan, biasanya di rumah warga yang berhalaman luas. Maka dongdang pun siap untuk dihantarkan.

Arak-arakan dongdang yang digotong oleh beberapa orang pada saat itu laiknya bak karnaval dari sebuah festival. Berarak menyusuri jalan-jalan kampung di bawah cahaya lampu-lampu neon yang sengaja dipasang. Konon dahulu sebelum ada listrik, arak-arakan itu diterangi oleh obor-obor atau lampu petromaks.

Bagi yang pernah melihat upacara ngaben di Bali saat sebuah bade diarak menuju tempat kremasi, mungkin hampir mirip keriuhannya. Hanya arak-arakan dongdang diiringi dengan shalawatan dan rebana, sementara bade diiringi musik gamelan.

Sepanjang perjalanan, arak-arakan dongdang itu akan jadi rebutan orang-orang untuk mengambil 'asesoris'-nya berupa buah-buahan dan rokok tadi.

Arak-arakan itu akan berakhir di masing-masing titik kumpul sebagai jamuan atau besek untuk masing-masing kampung undangan. Pengaturan porsi diserahkan sepenuhnya kepada kokolot masing-masing kampung.

Kemeriahan Muludan di kampung itu kini hanya jadi catatan sejarah yang pernah menghiasi kampung kami.

Bogor, 19 Oktober 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun