Mohon tunggu...
mad yusup
mad yusup Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menggemari nulis, membaca, serta menggambar

tinggal di kota hujan sejak lahir hingga kini menginjak usia kepala lima

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bule dan Inferiority Complex

21 Januari 2021   08:58 Diperbarui: 21 Januari 2021   09:16 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di sisi lain, perlawanan rasa rendah diri itu tersublimasi dengan sebutan lain untuk para tuan meneer tersebut. Yaitu kumpeni, atau londo oleh orang Jawa. Sebutan bule, kalau merujuk pada pengakuan Ben Anderson yang mulai dikenalkan di awal tahun 1960-an bisa juga dianggap sebagai bentuk sarkasme baru dari rasa sentimen dominasi Barat. Terlepas dari rikuhnya sang profesor sejarah itu dipanggil tuan.

Kalau pun ada pendapat lain yang menyebut kata bule berasal dari kata boulevard -wilayah tempat orang-orang Belanda tinggal- sebagai cara untuk mempermudah komunikasi di antara mereka pada masa kolonial, namun fakta tidak menunjukkan kata itu telah dikenal di era kolonial.    

Termasuk juga penyebutan bule untuk kebo bule Kyai Slamet yang dikeramatkan pada perhelatan kirab satu suro oleh Keraton Kasunanan Surakarta, menunjukkan diksi itu sudah ada tapi tidak ditujukan kepada orang Belanda.

Kenapa Harus Bule?

Dalam sebuah forum resmi pada awal Januari 2017, Presiden Joko Widodo pernah menggunakan kata "bule profesional" untuk merujuk orang asing yang ingin beliau  tempatkan di BUMN.

Penggunaan istilah itu tak pelak mengundang perdebatan, di luar kontra terhadap penempatan tenaga asing itu sendiri. Karena kata bule biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari dan bukan dalam forum-forum resmi kenegaraan.

Tom Pepinsky, seorang pakar Asia Tenggara dari Cornell University, menyebutkan bahwa kata bule kini memiliki makna yang mirip dengan kata whitey dalam bahasa Inggris Amerika, gwai loh di Hongkong, ang mo di Singapura, farang di Thailand, yang semuanya itu tidak begitu diterima oleh komunitas targetnya.

Bagi mereka yang tak suka dipanggil bule, terutama dengan teriakan-teriakan di jalanan sering kali mengeluhkan, kenapa harus dipanggil bule? Seperti Pepinsky, mereka merasa diperlakukan diskriminatif dengan panggilan itu.

Namun tak semua orang Barat alergi dengan panggilan bule. Bahkan label itu justru malah jadi ladang mendulang uang. Mungkin ada yang masih ingat dengan acara televisi yang pernah tayang, seperti Bule Gila dan Bule Masuk Kampung pada tahun 2004-2006.

Ramainya kasus Kristen Grey di Bali -yang ternyata tidak bule-bule amat- mengingatkan penulis akan teman yang benar-benar bule karena berasal dari Serbia. Dia tak mau dipanggil bule karena warna kulitnya -apa pun konotasinya- dan tak suka diperlakukan istimewa sebab ke-bule-annya. Sementara Grey memanfaatkan ke-Barat-annya untuk memperoleh privilege.

Patut direnungkan ucapan Ben Anderson tentang tak semestinya ada pengkultusan terhadap suatu nation mana pun. Karena begitu pengkultusan muncul, inferiority complex akan menemukan momentumnya kembali. Hingga kita cenderung memberikan kompensasi yang berlebihan. Dan itu tak hanya kepada bule semata, tetapi bisa juga terhadap nation lainnya!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun