Mohon tunggu...
mad yusup
mad yusup Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menggemari nulis, membaca, serta menggambar

tinggal di kota hujan sejak lahir hingga kini menginjak usia kepala lima

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Ancaman dari Meja Makan

21 Oktober 2020   00:28 Diperbarui: 21 Oktober 2020   09:49 812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Makanan Terbuang (Andrey Popov/KOMPAS.com)

Gaya hidup itu tanpa terasa diserap oleh mereka yang awalnya makan selalu dihabiskan, namun begitu nongkrong di sebuah kafe atau resto mendadak 'jaim' untuk menghabiskan makanan. Malah ada kebiasaan baru di kalangan mereka yaitu menumpahkan saus  dan mengaduk-aduknya di piring usai makan.

Begitu pun di acara resepsi pernikahan. Tak sedikit makanan yang terbuang sia-sia.

Limbah Sisa Makanan

Mungkin ada yang masih ingat berita lama dari The Economist Intelligence Unit yang dirilis pada tahun 2016, di mana disebutkan bahwa Indonesia adalah penyumbang sampah makanan terbesar kedua di dunia setelah Arab Saudi. Laporan itu mengungkapkan bahwa rata-rata setiap penduduk Indonesia membuang sekitar 300 kg sampah makanan per tahun!

Sampah yang luar biasa banyak itu tentunya harus ditangani. Lalu berapa biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengolah sampah tersebut? Sekurang-kurangnya pemerintah mengeluarkan anggaran sekitar 2 triliun rupiah. 

Dan tragisnya,  dalam berita yang dimuat oleh Republika dan dirilis tahun 2016 juga, disebutkan bahwa Indonesia mengimpor limbah makanan sebesar 27,48 triliun rupiah untuk kebutuhan pakan. Jadi pemerintah harus mengeluarkan anggaran sekitar 29 triliun hanya untuk mengolah sampah sisa makanan.

Berita di atas bukanlah pembenar atau alasan untuk semakin menghambur-hamburkan makanan agar kebutuhan pakan ternak tercukupi. Kenyataan di atas justru menunjukkan bagaimana perilaku dan juga cara hidup masyarakat kita dalam menyikapi makanan.

Perilaku konsumtif dan berlebihan dalam hal makanan sudah menjadi 'virus' yang sama berbahayanya dengan virus covid-19. Bagaimana tidak? Hal-hal seperti ini secara tidak langsung berdampak pada:

1. Masalah kemanusiaan, hasil Riset Kesehatan Dasar 2018 menyebutkan bahwa ada 13,8 persen balita mengalami kurang gizi dan 3,9 persen lainnya menderita gizi buruk. Sementara rumah tangga yang masih memanfaatkan raskin (beras miskin) sekitar 34,74 persen. Kepekaan kita pada kenyataan ini harusnya menyadarkan kita untuk lebih bijak lagi dalam menyikapi makanan;

2. Masalah lingkungan, dengan meningkatnya produksi pangan maka meningkat pula penggunaan dan kebutuhan akan pestisida, pupuk kimia, dan sebagainya. Termasuk juga meningkatnya tingkat emisi dari pembusukan sampah organik yang menjadi salah satu 'penyumbang' efek gas rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global;

3. Masalah ekonomi, pemerintah harus mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit bahkan akan selalu meningkat tiap tahunnya apabila kita tidak mengubah kebiasaan yang buruk dalam menyikapi makanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun