Mohon tunggu...
Nita Sintari
Nita Sintari Mohon Tunggu... High School Student -

girl - 17 years old amateur writer

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Para Orang Tua : Jangan Biarkan Anak Anda Menjadi Korban Broken Home

19 Oktober 2015   14:13 Diperbarui: 19 Oktober 2015   16:52 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Maraknya kasus kekerasan yang dilakukan oleh anak maupun terhadap anak menjadi penanda bahwa status keluarga sebagai pembimbing serta teladan utama bagi anak kini mulai dipertanyakan.

Keluarga, sejatinya merupakan tempat anak untuk mengadu, berkeluh kesah, serta mencari solusi atas segala permasalahan yang mereka hadapi. Selain itu, keluarga juga berfungsi memberi contoh kepada anak atas apa yang sebaiknya dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan.

Meskipun tidak semua anak-anak pelaku / korban kekerasan tersebut berasal dari keluarga yang bermasalah, kali ini saya bermaksud untuk membahas mengenai keluarga broken home.

Apa itu keluarga broken home? Keluarga broken home dapat didefinisikan berupa terjadinya ketidakharmonisan dalam lingkungan internal keluarga, yang dapat dipicu berbagai sebab serta menimbulkan rasa tidak nyaman bagi anggota keluarga itu sendiri.

Orang tua jaman sekarang, menurut saya, kerap kali menyepelekan keadaan broken home. Mereka membiarkan permasalahan rumah berlarut-larut, atau bahkan sengaja mempertontonkannya di depan anak. Padahal, masalah orang tua sejatinya bukanlah hal yang layak dikonsumsi oleh anak, karena masalah-masalah tersebut berpotensi untuk menghambat tumbuh kembang emosional anak.

Menurut saya, terdapat dua jenis keluarga broken home, antara lain :

  1. Kondisi dimana kedua orang tua sibuk bekerja, tidak pernah ada di rumah, atau tidak pernah memperhatikankan proses tumbuh kembang buah hati mereka.
  2. Kondisi dimana kedua orang tua ada di rumah, namun selalu menampilkan kondisi cekcok, adu mulut, bahkan dalam kondisi parah sampai perusakan barang maupun melakukan kekerasan dalam rumah tangga.

Kedua keadaan tersebut, tidak ada yang memberi dampak positif bagi pertumbuhan emosi anak. Berdasarkan pengamatan saya, anak-anak yang mendewasa pada dua kondisi tersebut akhirnya memiliki karakteristik antara lain :

  1. Anak pada kondisi pertama cenderung menjadi anak yang cuek, apatis, egois, sombong, serta materialistis. Hal ini dikarenakan anak jarang mendapat kasih sayang orang tua, jarang mengungkapkan permasalahannya, serta hanya menganggap orang tua sebagai penyedia materi, bukan sebagai teman yang bisa diajak berbagi.
  2. Anak pada kondisi kedua cenderung menjadi anak yang pemurung, penyendiri, tidak percaya diri, sulit percaya pada orang lain serta tidak mempunyai semangat hidup. Hal ini dikarenakan ia tidak mampu menemukan cinta dan kasih sayang pada mata kedua orang tua mereka, yang justru menampilkan percekcokan pada setiap kesempatan, akan membuat anak merasa tertekan dan membenci dirinya sendiri.

Diri saya pribadi, selaku seorang anak yang berasal dari keluarga broken home kondisi kedua, merasakan betul bagaimana sakit dan menderitanya menjadi anak korban broken home.

Untuk itu harapan saya kepada seluruh orang tua, agar berusaha semaksimal mungkin mengupayakan kebahagiaan bagi anak-anak yang kalian miliki. Broken home bukanlah persoalan yang sepele, dan dampak yang akan mengenai anak Anda tidak hanya berlangsung pada saat ini, melainkan juga berpotensi untuk menghancurkan masa depan mereka kelak.

 

Salam, Md Ns.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun