Mohon tunggu...
Made Dike Julianitakasih I
Made Dike Julianitakasih I Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Made Dike Julianitakasih Ilyasa. Pegiat Komunitas Ruang Imajinasi Sastra IMM FAI UMY. Pernah Meraih Juara Penulisan Cerpen Pekan Seni Mahasiswa Tingkat Nasional (PEKSIMINAS) Kemdikbud

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen "Penolak Bala"

31 Mei 2023   05:49 Diperbarui: 31 Mei 2023   05:52 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar AI Gencraft (@MADE_DIKEE)

Penolak Bala

Atap saung berderak dikoyak rintik-rintik gerimis, aku mendengarkan pembicaraan di balik kamar bilik bambu tipis-tipis.

"Anwar, sepertinya tidak lama lagi buah hati kita akan lahir. Aku bisa merasakannya," seru wanita di hadapan Anwar bersemangat, tetapi tidak dengan Anwar. Ia menyentuh perut istrinya beberapa kali seolah memastikan sesuatu, namun air mukanya tidak juga cerah.

"Bagaimana kamu bisa seyakin itu denganku, Erma? Sementara sampai saat ini pun aku belum pernah memberikan apa yang kamu mau." Anwar melirik tempat tidur mereka yang beralaskan tikar berlapis karung.

Erma tersenyum simpul. "Karena kamu bukan orang biasa---" kata-kata Erma terjeda oleh batuk yang enggan berhenti. Meski sedang hamil besar, ia tampak kurus dan letih. Erma menengok ke arahku yang sedang membersihkan bulu-bulu sayap dengan paruh. "Meri belum masuk kandang, Anwar?"

Anwar menoleh, berjalan pelan kepadaku. Air di sungai belakang rumah Anwar kotor sekali, selepas berenang di sana aku mesti melakukan ritual bersih diri seperti itu. Dari sorot mata Anwar aku menduga, dia merasakan suatu pertanda yang aku tidak tahu itu apa.

**

Sejak Anwar memungutku yang terdampar di sungai belakang rumahnya sekitar tiga tahun lalu, belum pernah aku melihatnya terlalu senang ataupun terlalu sedih selazimnya banyak orang. Jika senang, ia akan tersenyum sampai deretan gigi-giginya yang rata dan putih bersih terlihat, meski tidak pernah juga aku mendapatinya tertawa terbahak. Kalau sedih, biasanya dia hanya diam, merenung. Tapi kali ini berbeda. Air di kedua pelupuk mata Anwar tumpah ruah. Tadi pagi sekali ketika langit masih gelap dan Anwar hendak menunaikan ibadah, Erma menghembuskan napas terakhirnya. Siang itu jasadnya langsung dikebumikan.

Anwar membelai sayap kemudian pucuk kepalaku. Wajarnya, orang-orang takut dekat denganku karena aku sering menyosor jika merasa tidak aman. Hanya dengan Anwar aku merasa damai dan tenang.

"Orang-orang ramai memperbincangkan wabah COVID-19. Semalam pun Erma sempat mengeluh sesak napas." Anwar menunduk sembari memetik dawai banjo, mendendangkan kidung kabung yang menyayat hati. "Meri, kami ini diciptakan dari tanah dan akan kembali ke tanah. Pemisah antara manusia dan kematian itu serapuh sarang laba-laba dan setipis sayap laron. Tetapi kenapa..." Anwar menghentikan petikannya. "...rasanya ditinggalkan sesakit ini?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun