Mohon tunggu...
little fufu
little fufu Mohon Tunggu... Jurnalis - Pembelajar aktif

manusia sanguin kholeris yang sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Papan Pelepas Kreativitas Anak: Jangan Kurung Imajinasinya!

16 November 2020   17:41 Diperbarui: 16 November 2020   17:53 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Semua memiliki keindahan, tetapi tidak semua orang melihatnya" --Andy Warhol-

Pernahkah kalian melihat anak kecil mencoret-coret tembok? Bagaimana respon kalian menanggapi hal tersebut? Memarahinya? Mebiarkannya? Atau mengalihkannya ke media yang lain?

Oke, pada kesempatan kali ini saya akan berbagi pengalaman saya terkait menyikapi hal diatas. Bisa dibilang, rumah orangtua saya (Include saya beserta saudara saya di dalamnya) selama 24/7 terbilang sering dikunjungi oleh segerombol adik sepupu saya. Entah itu sekadar bermain, mengerjakan tugas bersama-sama, menonton film bersama, atau mengambil jatah screentime milik meleka. 

Berkat kunjungan mereka, banyak sekali pengalaman yang saya dapat bersama mereka, terlebih perihal dunia "Kebocilan (Bocah kecil)". Selama pandemi, bermain di rumah orangtua saya merupakan sebuah selingan bagi mereka agar tidak merasa jenuh untuk di rumah saja. Fyi: Rumah kami terpaut tidak begitu jauh, jadi mudah saja bagi mereka untuk berkunjung kemari dengan mengayuh sepedah mereka.

Suatu ketika, ketika saya sedang mendampingi salah satu adik sepupu saya untuk mengerjakan tugas (TK B), mendapatinya sedang iseng memainkan pensil yang sedang dibawanya dengan menggambar di dinding rumah. 

Respon kilat saya tentunya terkejut dan langsung memanggilnya. Entah mendapatkan insight dari mana, saya langsung mengalihkan dia ke media lain, yaitu di papan kosong bekas tukang. Oke, jadilah papan tersebut pengganti dinding. 

Kenapa saya mengambil keputusan tersebut, yang bisa dibilang melarang secara halus dengan cara langsung memberikan media lain untuknya menggambar? Kiranya saya pernah mendengar dawuh para dosen saya yang mana mereka menjelaskan bahwa jangan menggunakan kata "Jangan" untuk anak usia dini, mengapa? Karena hal tersebut berdampak buruk untuk anak. Dikarenakan saya bingung harus menggunakan kalimat seperti apa untuk melarangnya, menyodorkan papan yang luas yang menyerupai dinding pun solusinya.

Gambar yang random dan tidak bertema pun tiba-tiba memenuhi papan yang tadi saya sodorkan. Entah mengapa, ketika saya melihat gambaran tersebut saya meihat sesuatu yang berbeda. Saya pun berpkir, mungkin jika diberi sedikit sentuhan akan menjadi sebuah maha karya yang kece dari seorang anak yang hendak berumur 6 tahun tersebut.

Ahaa! Saya mendapatkan pencerahan! Ide diambil dari hasil merefleksi diri yang mana sebenarnya saya ingin sekali menjadi pelukis. Namun sayang sekali, skill menggambar tidak sebagus itu. Sehingga, sebelum memulai saja saya sudah dibuat insecure dengan pikiran saya sendiri. 

Namun, ada sedikit yang saya ketahui terkait jenis aliran suatu lukisan, salah satunya adalah aliran  abstrak. Alih-alih memberikan sentuhan detail didalamnya, pelukis tersebut malah menekankan penafsiran seorang seniman terhadap esensi suatu objek. 

Nah, berangkat dari sana, saya memberanikan diri untuk mengajak adik sepupu saya untuk membuat projek bersama. Ya, membuat lukisan di papan yang berukuran kurang lebih 40x60 cm. Jika dipikir-pikir, projek tersebut juga memberikan kebermaknaan untuk dia, terlebih untuk mengembangkan kreatifitasnyan berupa menuangkan segala imajinasinya didalamnya. Saya sebagai kurator lukisan, dan dia sebagai pelukisnya.

Tidak menunggu lama, saya mengajak dia untuk menyiapkan perlatan terlebih dahulu. Kami memutuskan untuk pindah ke luar rumah, agar tidak terlalu ngoyo saat bersih-bersih, hehehe. Melihat antusiasnya, membuat saya bahagia.

Kurang lebih satu jam telah berlalu, dan lukisan telah siap. Jika saya amati lukisan tersebut, saya merasa lukisan tersebut adalah cerminan dari dirinya. 

Meskipun tingkat kedetailannya tidak begitu spesifik (Untungnya kita satu frekuensi, aliran jenis abstrak tidak begitu mendetailkan apa yang dia buat), tapi kurang lebih saya menangkap gambaran tersebut sebagai sebuah keceriaan. Lukisan tesebut sangat abstrak, hingga orang yang melihat menanyakan gambar apa yang sedang di gambar. Mungkin sebagian orang juga melihatnya lukisan tersebut tidak bagus.

Namun, untuk mencegah rasa percaya diri anak down, saya memberikan sebuah wejangan, bahwa tidak ada seni yang tidak indah. Semua seni memiliki sisi estetika tersendiri, setiap seni memiliki karakteristik tersendiri. Jadi, jika ada yang mengatakan lukisan dia jelek, biarkan saja. Seni adalah seni. 

Saya juga menyampaikan kutipan yang saya lihat sewaktu saya melakukan editing pamphlet suatu acara, terpaparkan disana quote yang sabi banget. Tertara nama Andy Warholyang berkata, "Semua memiliki keindahan, tetapi tidak semua orang melihatnya". Entah siapa itu beliau, namun saya ingin mengucapkan terimakasih kepada beliau atas kata-kata yang dapat meng-healing insecure saya.

Oke, projek kita berhasil, saya sebagai kurator yang hanya bertugas mencari tema dan pelukis turut bangga, hehehe. Asik juga ya main kotor-kotoran dengan anak kecil. Saya serasa mengalami reaply 2005 (Ketika saya TK) yang hobi mencoret-coret dinding rumah (Orangtua saya membiarkan saya melakukan itu, entah atas dasar apa) dan mengajak saya cat rumah bersama ketika hendak lebaran. Duh, jadi melo.

Di hari itu saya sempat mengambil sebuah kesimpulan, bahwa anak kecil adalah anak kecil. Perlakukan dia sebagaimana kita ingin diperlakukan sewaktu kecil. Biarkan dia bermain sepuasnya, bimbing dia, ajak berkolaborasi, dan tanamkan nilai-nilai kepada mereka dengan cara yang dapat diterima oleh anak.

Dunia anak itu simple, kta saja yang mengeruhkan dengan pikiran rumit kita yang kian bertambah umur kian banyak hal yang menjadi bahan untuk dipikirkan. Pada akhirnya, bermula dari kejadian dia mencoret-coret dinding rumah membawa kita melakukan sesuatu yang tentu saja bernilai kebermaknaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun