Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan kebudayaan baru mengawali masa kerjanya dengan sesi yang disebut proses mendengarkan (hearing). Selama proses ini, Nadiem berusaha untuk mempelajari berbagai pikiran dari pihak-pihak terkait dalam upaya memajukan sektor pendidikan.
Salah satu pihak yang diundang Nadiem adalah Ikatan Guru Indonesia (IGI) dalam pertemuan pada 4 November awal bulan ini. Satu dari sepuluh butir gagasan IGI yang disampaikan kepada Mendikbud melalui ketuanya, Muhammad Ramli Rahim adalah penghapusan mata pelajaran Bahasa Inggris di jenjang SMP dan SMA.
"Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris dan Pendidikan Karakter berbasis agama dan pancasila menjadi mata pelajaran utama di SD, dan karena itu pembelajaran Bahasa Inggris di SMP dan SMA dihapuskan karena seharusnya sudah dituntaskan di SD. Pembelajaran Bahasa Inggris fokus ke percakapan dan bukan tata bahasa" demikian rumusan usulan IGI seperti dirilis jpnn.com 4/11/2019.
Tulisan ini merupakan sanggahan atas pokok usulan tersebut, sekaligus sebagai pesan untuk para penggagas dengan sejumlah sudut pandang berikut. Pertama, usulan IGI di atas tidak berbasis hasil riset ilmiah.
Persepsi IGI bahwa Bahasa Inggris cukup dipelajari di SD dan dianggap tuntas adalah bentuk kenaifan, pengabaian terhadap budaya berpikir dan berperilaku secara ilmiah. Sebagai guru dan warga sekolah, budaya ilmiah mestinya tercermin dalam sikap, perilaku dan tutur kata.Â
Apalagi ketika menyampaikan gagasan yang berkaitan dengan kepentingan publik, maka pendasaran utamanya sekali lagi harusnya pada hasil atau bukti riset ilmiah, dan bukan asumsi atau pendapat pribadi. Untuk memperkuat gagasannya, IGI harusnya membeberkan data dan fakta hasil riset yang relevan.
Tanpa data, usulan itu terasa hambar dan menunjukan ketidakberpihakan IGI pada nasib guru. Di balik gagasan ini, apakah IGI pernah memikirkan dampak lanjutan jika ide itu benar-benar dieksekusi? Bagaimana nasib ribuan guru Bahasa Inggris di SMP dan SMA se-Indonesia?Â
Bukankah harusnya IGI juga menguraikan model tawaran solusi terhadap para guru Bahasa Inggris SMP-SMA yang mungkin tak lagi mengajar akibat usulan tersebut?Â
Jika tidak, ini seperti mengatasi masalah dengan memunculkan masalah baru. Sungguh bukan pilihan bijak, di tengah upaya membangun tradisi riset sebagai basis pengambilan kebijakan publik.
Kedua, mempelajari Bahasa Inggris tidak sesederhana belajar percakapan. Manfaat mempelajari Bahasa Inggris tidak boleh dipersempit untuk tujuan sebagai alat komunikasi semata (tool of communication).