Mohon tunggu...
MN Aba Nuen
MN Aba Nuen Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Pengajar pelosok yang jatuh cinta pada quotation "menulisalah, agar engkau dicatat peradaban," Surel:noyatokan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Cak Doko, Grandprix dan Pendidikan di NTT

12 Januari 2019   20:21 Diperbarui: 4 Maret 2019   19:17 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kedua, peran DPRD juga vital. Fungsi bujeting dilegislatif belum mencerminkan komitmen dan dukungan para legislator untuk pendidikan daerah. Peran pengawasan untuk mengoreksi program-program dinas pendidikan yang kurang berdampak pada peningkatan kualitas pendidikan juga minim.

Ambil contoh, berapa banyak pemda di NTT yang mengintervensi bantuan ke sekolah untuk mendukung pelaksanaan UN berbasis komputer? Hampir semuanya berharap dari bantuan Kementrian Pendidikan. Jarang ada upaya komisi terkait di DPRD yang mengadvokasi ini.

Pelajaran terkini dari Kota Kupang pada awal 2019 misalnya, di tengah upaya memperbaiki kualitas pendidikan di kota Kupang yang kini berada di urutan ke-18 di antara pemde se NTT, pemkot justru mengalokasikan anggaran Rp. 6M untuk membeli seragam bagi peserta didik. Tidak berarti program ini buruk, tetapi jika substansi penganggaran untuk peningkatan kualitas pendidikan daerah, maka bahasa program mestinya bukan pengadaan seragam sekolah.

Ketiga, keberhasilan pendidikan secara umum salah satunya ditentukan oleh kualitas guru. Di NTT, ini persoalan pelik. Pendidikan di NTT menghadapi tantangan besar tentang guru, dengan isu-isu seperti minimnya kualifikasi pendidikan, distribusi yang tidak merata, kurangnya kegiatan pelatihan bagi guru-guru, dan buruknya sistem pengupahan untuk guru-guru non PNS.

Pada tahun 2010, menurut data di Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP), NTT memiliki guru sebanyak 75.352 dari jenjang SD sampai dengan SMA/SMK. Separuh dari jumlah ini merupakan guru non PNS dengan berbagai katagori. Jumlah mereka mencapai 32.642 orang, dengan rincian guru honor propinsi 1.009 orang, honor kabupaten/kota 105, guru bantu 447, guru yayasan 3.775 dan guru tidak tetap sebanyak 23.502 orang.

Pada 2017, jumlah guru di NTT lebih dari 90 ribu orang, tercatat sesuai Data Pokok Pendidikan (Dapodik) pada Bidang Guru dan Tenaga Pendidikan Dinas Pendidikan Provinsi NTT. Separuh dari jumlah ini adalah guru non PNS dengan berbagai status. Ada guru kontrak daerah, kontrak provinsi dan honor komite. Guru-guru honor komite inilah yang paling menderita atas sistem pengupahan yang tidak manusiawi.

Mereka dibayar 300-500ribu per bulan, itupun tidak rutin dibayar setiap bulan, tetapi kinerja mereka diukur dengan standar nasional pengelolaan pendidikan di Indonseia. Bagi saya, tata kelola guru merupakan salah satu masalah paling buruk dalam sistem pendidikan di Indonesia saat ini.

Di sisi lain, harus diakui, guru juga turut berkontribusi pada buruknya kualitas pendidikan di NTT. Kreatifitas mengajar berpengaruh besar pada kemampuan anak-anak. Di kabupaten Kupang pada 2016, ada temuan di Fatuleu Barat, di mana anak SD kelas IV-VI belum bisa membaca. Ini pukulan telak, di tengah upaya besar pemerintah mensejahtrakan guru dengan tunjangan profesi dan lainnya.

Keempat, orang tua/keluarga juga tidak boleh tutup mata pada pendidikan anak. Sebagai pendidik di pelosok, saya menemui cara pandang orang tua yang menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab mendidik anak pada guru di sekolah.

Di rumah, orang tua sangat jarang mengontrol dan memperhatikan waktu belajar anak. Dampaknya, pembelajaran selama 8 jam di sekolah sama sekali tidak ada penguatan dengan belajar di rumah. Bagaimanapun, orang tua wajib menempatkan pendidikan sebagai kebutuhan prioritas anak, termasuk waktu belajar di rumah.

Jangan lupa, angka putus sekolah di NTT tinggi, juga dipicu oleh minimnya perhatian dan kesadaran orang tua pada pendidikan anak. Pada 2015 misalnya, ada 4.000 lulusan SMP, tetapi data dinas Pendidikan provinsi mencatat lulusan dalam jumlah besar tidak melanjutkan ke jenjang SMA atau sederajat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun