Mohon tunggu...
Maarif SN
Maarif SN Mohon Tunggu... Guru - Setia Mendidik Generasi Bangsa

Membaca untuk menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Setelah Pendidikan Karakter, Revolusi Mental, Lalu Apa Lagi ?

14 Februari 2016   16:27 Diperbarui: 14 Februari 2016   16:31 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sejak dihapuskannya penataran P4 dengan berbagai pola yang dilaksanakan pemerintah masa orde baru, oleh karena dianggap tidak sejalan atau apapun alasannya oleh pemerintah era reformasi, sejak saat itulah dengan amat sangat cepat terjadi dekadensi moral, istilah ini pun identik dengan orde baru sehingga diganti dengan istilah lain meski masih semakna. Seiring dengan itu, pelajaran di sekolah yang selama lebih dari 30 tahun mengajarkan moral (Pendidikan Moral Pancasila), pun turut diganti dengan pelajaran yang namanya beda meski intinya hampir sama (Pendidikan Pancasila). Mungkin waktu itu mendikbud berfikiran bahwa Pancasila itu bukan salah satu ukuran moral ?

5, 10, 15 tahun berlalu..

Tujuan perbaikan moral anak bangsa tak menunjukkan hasil nyata, bahkan sebaliknya, kerusakan moral merata di seluruh wilayah dan di setiap strata. Tak hanya moral kaum yang kurang terdidik, namun juga melanda kaum berpendidikan, justru kaum yang amat sangat terdidik ini memberi kontribusi besar pada angka statistik indeks kerusakan moral (emang ada ?).

Menyadari akan fakta tersebut, segera pemerintah merumuskan pola pendidikan yang baru, mungkin malu untuk kembali memberlakukan Penataran P4 yang notabene menunjukkan efektifitas lebih tinggi dalam mengurangi dekadensi moral di Indonesia. Program Pendidikan dimodifikasi dan setiap mata pelajaran di sekolah ditambah muatan baru dengan model terintegrasi, tak peduli bahwa kemudian guru harus pontang-panting mengatur waktu dan administrasi pembelajarannya yang bertambah menjadi seabreg-abreg, yang penting pemerintah sudah berusaha dan bekerja menyusun kurikulum dan mengembangkannya, tugas gurulah untuk menjalankannya. 

Dengan pola pendidikan tersebut sekaligus pemerintah menghadapkan guru pada dua masalah, masalah pendidikan dan profesionalitas. Indikator profesionalitas dibuat agar sesuai dengan model pendidikan yang dilaksanakan, sehingga muncul rumusan bahwa "jika profesionalitas tidak dijalankan maka tujuan pendidikan tidak akan tercapai". Sebuah formula yang pas dan jitu.

Kini dekadensi moral yang sudah bermetamorfosis menjadi degradasi bahkan suda ber-Revolusi. Orang baik-baik untuk berubah menjadi jelek tak perlu waktu lama seperti jaman dulu, kini bisa dalam hitungan jam, secepat perubahan teknologi Informasi. Dengan adanya kegagalan pendidikan, telunjuk masyarakatpun serta merta terarah pada dunia pendidikan di mana guru sebagai ujung tombaknya. Pemerintah sudah membayar banyak pada guru, jika kehancuran moral masih saja terjadi, berarti ada rumus yang tidak terpenuhi konstantanya, pemerintah tidak salah, jadi yang salah adalah yang sudah dibayar mahal, yaitu guru. BINGO !!!

Era berganti, pendidikan karakter tak cukup kuat menanggulangi terus merosotnya moral anak negeri, masyarakat masih belum menyadari, pemerintah masih saja berdiri sendiri menunjuk sana sini. Meski sebelum laga telah memiliki prediksi hingga berani bersuara lantang menyerukan revolusi mental sebagai gerakan seluruh komponen bangsa, pada kenyataannya tak jauh panggang dari api dengan era sebelumnya. Dalam uraian pencanangan program, disebutkan bahwa ujung tombak paling depan dan paling tepat implementasi gerakan revolusi mental adalah dunia pendidikan, alias sekolah, alias guru, ya, semua guru, meskipun berstatus honorer bergaji 300ribu dan tak layak diangkat pns, harus mensukseskan gerakan revolusi mental. 

Mereka yang duduk di gedung kura-kura, mereka yang kesana kemari dengan uang pajak, mereka yang menyiarkan konten penuh hegemoni, hedonisme, konsumerisme di televisi, bukan bagian dari pihak yang bertanggungjawab atas keberhasilan revolusi mental. 

Jadi, jika ada anak bangsa berbuat mesum di jalanan sepulang sekolah, itu salah guru yang kurang pengawasan. Jika ada anak bangsa hamil di luar nikah, itu adalah kurangnya kontrol sekolah karena tak memberi tugas rumah. Jika nilai rata-rata sekolah rendah, itu karena guru hanya mengajar demi mengejar tunjangan. Jika guru tidak dapat tunjangan karena sibuk mengajar, itu salah sendiri karena tak tertib menyusun administrasi.

Jika sekolah butuh tenaga pengajar, negara bilang belum membuka seleksi penerimaan entah sampai kapan. Jika kasek mengangkat tenaga honorer karena kebutuhan, itu namanya melanggar aturan. Ketika honorer menuntut penghargaan, negara bilang sedang tak punya anggaran dan tenaga kalian tak dibutuhkan. 

JIKA KUBILANG ADA YANG SALAH DALAM PEMERINTAHAN, KAMU BILANG AKU KAUM SALAWI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun