Mohon tunggu...
Maarif SN
Maarif SN Mohon Tunggu... Guru - Setia Mendidik Generasi Bangsa

Membaca untuk menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hadiah Bagi Guru, Bukan Budaya Baru

4 Juli 2022   09:05 Diperbarui: 4 Juli 2022   19:27 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pemberian bingkisan saat kenaikan kelas untuk wali kelas sebenarnya bukan hal yang tabu jika dikaitkan dengan watak asli masyarakat Indonesia yang  kental dengan jiwa sosial dan religius. Sikap yang dilandasi oleh perasaan welas asih pada sesama dan taat pada anjuran agama.

Memberikan sesuatu pada orang lain yang telah berjasa pada si pemberi sebagai bentuk ucapan terima kasih merupakan salah satu sikap yang diyakini sebagai manifestasi dari keluhuran budi. Terima kasih yang tak hanya dalam ucapan, tetapi juga dilaksanakan dengan perbuatan nyata.

Tidak hanya pada guru, di masa lalu saat ada tetangga yang punya hajat, baik hajatan dalam skala besar maupun kecil, tetangga kiri kanan, khususnya ibu-ibu, selalu memberikan sumbangan dalam bentuk sembako, meskipun tidak dikabari oleh si empunya hajat, hanya dari getok tular antar tetangga. Saya sangat lekat mengingat kebiasaan ini, ibu-ibu bertandang dengan membawa baskom ditutup secarik kain, bisa taplak, serbet atau koran bekas. Biasanya lewat pintu belakang atau dapur. Tak berhenti hanya di situ, ibu-ibu juga akan datang saat acara inti sekalipun tidak diberi undangan resmi. Tentunya juga dengan memberikan sumbangan sebagai bentuk ungkapan rasa turut berbahagia pada tuan rumah. 

Jaman telah bergeser, tuntutan kehidupan makin besar dan kompleks, sehingga kesibukan wargapun makin bertambah, sementara lamanya waktu dalam sehari masih saja tidak berubah, tetap 24 jam sehari. Alhasil, kebiasaan yang "kurang efisien" itu lambat laun hilang dengan sendirinya, tergerus oleh aktivitas mencari nafkah yang semakin lama durasinya.  

Adat dan kebiasaan dalam masyarakat biasanya berkembang melalui pendidikan secara langsung, anak-anak terlibat dalam suatu kegiatan kemasyarakatan tanpa diberikan arahan dan pemahaman sebelumnya  tentang maksud dan tujuannya. Pada saatnya, otomatis akan paham setelah berulang kali mengikuti dan mendapat masukan dari para tetua sepanjang pergaulannya. 

Bisa jadi, inilah yang tersisa dari perubahan jaman, yaitu sikap dan rasa welas asih, simpati, empati dan guyub rukun  yang juga dilandasi oleh sikap religius dalam jiwa masyarakat Indonesia, yang tidak diajarkan secara formal namun meresap dan berakar jauh ke dalam .

Sikap dan perasaan inilah yang kemudian muncul secara spontanitas menyertai agenda kegiatan tahunan keluarganya, yakni saat terlampauinya satu fase dalam pendidikan anaknya, yang tak lepas dari peran orang lain sepanjang prosesnya. 

Sebagai bentuk rasa syukur dan terima kasih pada guru yang telah mendidik anaknya, khususnya wali kelas yang telah mewakili orang tua dengan mengurusi segala hal terkait kebutuhan anaknya di sekolah, mereka merasa perlu memberikan sesuatu tanpa pretensi dan tendensi, tulus ikhlas.

Namun, seiring dengan merasuknya "budaya kota" yang kental dengan semangat persaingan dan aspek kehidupan yang dilandasi oleh aturan tertulis kenegaraan yang diinduksikan dalam berbagai segi kehidupan sebagai bentuk baru sikap yang dianggap benar, maka jadilah sekarang, pemberian kepada guru sebagai bentuk pelanggaran. Korupsi, gratifikasi, kolusi dan sebagainya.

Dampak dari perkembangan budaya selalu ada, baik positif maupun negatif. Komplikasi ekses negatif bisa saja datang sekaligus dari budaya lama dan budaya baru. Sebagai akibat kegagalan memenuhi tuntutan idealisme yang ada di tengah masyarakat.

Seperti yang tercermin dari tendensi pemberian bingkisan oleh sekelompok kecil warga yang melenceng dari kaidah sesungguhnya. Mereka memberi bukan atas dasar rasa tulus ikhlas, tetapi dilandasi oleh pertimbangan perniagaan, untung rugi dari proses jual beli. Guru dianggap telah menjual jasanya, dan orang tua  membayarnya dengan harga yang sepantasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun