Mohon tunggu...
Muhammad Abdunnaim Alghiffari
Muhammad Abdunnaim Alghiffari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S-1 Ilmu Komunikasi UNISSULA

Sedang sibuk nongkrong dan kuliah LDR

Selanjutnya

Tutup

Gadget

Memecah Gelembung Algoritma Pandemi Covid-19

20 Mei 2021   09:23 Diperbarui: 20 Mei 2021   22:31 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Transformasi secara radikal gencar dilaksanakan di berbagai sektor negara, tidak lain karena invasi virus Covid-19 ke berbagai kawasan termasuk Indonesia. Total kasus di Indonesia sendiri telah mencapai angka 1,75 juta kasus pada Mei 2021. Pandemi 2 tahun ini benar-benar memaksa semua orang untuk selalu mendekam di tempat masing-masing sembari tetap melanjutkan hidup. Demikian, satu-satunya pilihan terbaik adalah bergelut dengan dunia digital agar segala aktivitas bisa terus berlangsung. Dari sini seruan revolusi industri 4.0 yang acap kali digembar-gemborkan semakin terasa nyata.

Salah satu senjata vital dalam menghadapi dunia digital tersebut adalah Smartphone. Penggunaan gawai pintar ini meningkat tajam semenjak pergerakan masyarakat mulai terbatas. Orang-orang mengoperasikan teknologi canggih ini sedari membuka mata di pagi hari sampai dengan tidur di malam hari. Entah dalam rangka work from home, melakukan pembelajaran jarak jauh, menjadi sedikit hiburan di tengah penatnya projek yang digarap, atau bahkan menjadi teman ketika merasa bosan berada di toilet, Smartphone seolah menjadi ruh dari segala lini kegiatan masyarakat di kala pandemi.

Dalam praktiknya, pengoperasian Smartphone membutuhkan beragam aplikasi dan koneksi internet. Perkawinan antara media gawai dan internet ini kemudian melahirkan sebuah terminologi bernama New Media. McQuail, seorang profesor Ilmu Komunikasi di Universitas Amsterdam, mendefinisikan new media sebagai wadah dimana semua pesan komunikasi bisa terpusat dan mudah untuk disalurkan menggunakan teknologi internet dan melibatkan audiens untuk meningkatkan proses interaksi dan komunikasi.

Youtube, Instagram, TikTok, Twitter, dan sederet nama-nama lain penghuni Silicon Valley ini merupakan beberapa contoh wujud konkret new media berbentuk media sosial yang kerap digunakan masyarakat. Para pengguna atau pemilik akun media sosial tersebut dijejali oleh beragam informasi yang tumpah ruah. Pergerakan informasi berupa unggahan tulisan, gambar, serta video ini mampu muncul setiap sekon bahkan mili sekon. Rentang substansi yang hadir juga sangat luas, bisa berupa  informasi yang bersifat trivia, tayangan-tayangan hiburan, tulisan asal, ekspresi diri, opini, termasuk juga kabar dan berita ihwal Pandemi Covid-19.

Konten dan Informasi tersebut biasanya menyembur dari akun atau kanal yang seseorang follow atau subscribe. Selain muncul pada linimasa, akun dan kanal serupa juga akan muncul pada halaman "jelajah". Dalam YouTube dan Instagram, halaman jelajah tersebut bernama "Explore",  "Trending Topic" pada Twitter, dan "For You Page" pada TikTok. Seluruh sirkulasi konten dan informasi pada halaman jelajah tersebut digerakkan oleh sebuah mesin super pintar bernama Algoritma.

Algoritma media sosial disusun berdasarkan preferensi dan kesukaan pemilik akun yang dihimpun berdasarkan klik, fitur like, durasi tayangan yang tertonton, dan berbagai aktivitas lain pada aplikasi. Dengan adanya konsistensi preferensi konten yang dituju pada sebuah akun, mesin pintar ini akan mampu membaca pribadi seseorang lebih dalam lagi dan menciptakan sebuah gelembung algoritma. Dalam gelembung ini, konten dan informasi yang disuguhkan sudah dipersonalisasi sehingga pengguna bisa lebih menghabiskan waktu mengusap layar smartphone-nya lebih lama. Di sini akun-akun dan pengguna lain yang memiliki frekuensi sama turut ditautkan sehingga bisa terhubung.

Mekanisme ini berpengaruh besar terhadap bagaimana orang-orang yang gemar berselancar di media sosial akan mempresepsikan sebuah isu, termasuk masalah pandemi covid-19. Penyebabnya bisa dijelaskan oleh sebuah teori yang mengungkap sesuatu di dalam gelembung algoritma tersebut. Teori  ini disebut dengan Ruang Gema (Echo Chamber).

Dalam ruang gema, seseorang hanya akan mendengarkan sesuatu yang sama dengan pemikirannya saja, sehingga mampu memperteguh sikap atau pandangan yang telah mereka miliki sebelumnya. Pikiran satu frekuensi lain yang berulang-ulang ini mampu memperkuat pandangan yang mereka miliki secara ekstrim. Bila ada hal yang dirasa berbeda, maka dia akan cari pembenaran menurut versinya sendiri. Kendati demikian, dampak yang timbul tidak selalu berbentuk polarisasi, bisa juga ada lebih dari 2 pihak yang terbentuk.

Selama Pandemi Covid-19  Indonesia, algoritma memiliki andil dalam bagaimana masyarakat bersikap saat negara sedang menghadapi serangan virus. Algoritma beraksi dengan menciptakan ruang-ruang yang memiliki gema berbeda. Gema ini berupa persepsi dan pola pikir masyarakat yang dipengaruhi oleh perputaran informasi, kabar, berita, opini, dan diskusi antar pengguna akun media sosial. Di setiap ruang berisikan orang-orang dengan satu pemikiran kolektif yang berseberangan dengan ruang-ruang lain. Dari sini, masyarakat yang sudah memiliki sikap hasil dari ruang-ruang itu akan bertindak dan berperilaku sesuai keyakinan yang telah mereka bawa dari ruang gema tersebut.

Ada orang-orang yang berada di lingkungan digital dimana informasi dan konten berita seputar pandemi covid-19 terus disajikan. Setiap waktu mereka dicekoki dengan informasi yang memuat dahsyatnya penyebaran virus, naiknya angka-angka positif covid-19, nasib malang tenaga kesehatan, krisis ekonomi dan sosial akibat PSBB, inkonsistensi pemerintah dalam menangani perkara pandemi, serta sederet permasalahan pandemi covid-19 lain. Ditambah lagi adanya interaksi diantara sesama pengguna di ruang yang sama. Orang-orang ini membangun sebuah keyakinan yang kuat.

Alhasil setelah membaca dan melihat deretan informasi yang mengesankan kondisi genting tersebut secara berulang-ulang, orang-orang akan memunculkan sebuah anggapan bahwa Covid-19 sangat berbahaya. Anggapan ini selanjutnya diikuti dengan rasa skeptis dan ketakutan sehingga bisa jadi menghasilkan orang-orang yang cenderung lebih patuh menerapkan protokol kesehatan, menaati peraturan PSBB, melakukan WFH dan PJJ dengan baik, dan lain sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun