Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

TKW Dijual ke Abu Dhabi: Suara DPD Patut Didengar

19 Juni 2015   08:27 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:41 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi/Gedung Dewan Perwakilan Rakyat/SindoNews.com

Suara Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI patut didengar. Pasalnya, saya agak terkejut saat Komite III DPD RI menemukan TKW informal dijual Rp 280 juta per orang di Abu Dhabi (sumber). Hemat saya, itu bukanlah tugas utama DPD. Ternyata, Komite III DPD RI juga melakukan fungsi pengawasan terhadap nasib TKI di luar negeri. Korban TKW informal itu dijual oleh PJKTI melalui agen yang menyalurkannya ke majikan yang ada di Abu Dhabi. Bahkan temuan itu mengindikasikan adanya praktik perdagangan orang (human trafficking). Padahal pemerintah secara resmi sudah menghentikan pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) informal ke-21 negara Timur Tengah, tetapi mengapa pengiriman TKW illegal masih saja terjadi. Teridentifikasi pula KBRI Abu Dhabi setiap bulannya masih menemukan sekitar 200 orang TKW bermasalah. Temuan itu diketahui saat Komite III melakukan kunjungan kerja ke Abu Dhabi pada awal Juni 2015 lalu.

Sebelumnya saya tidak mengira, masalah itu berkaitan dengan tugas pokok Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Ternyata, DPD tidak sekedar mengurusi masalah pengelolaan daerah atau pemekaran daerah. DPD RI terutama memiliki fungsi legislasi dalam merumuskan UU terkait aturan otonomi daerah, pengelolaan SDA, pendidikan, agama, dan lainnya. Kasus penjualan TKW itu, hanyalah sebagian dari tugas yang harus diperjuangkan oleh DPD. Melihat temuan semacam itu, haruskah DPD sevokal Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam melahirkan produk-produk perundangan yang memihak kepentingan rakyat, seperti kasus ketenagakerjaan, kasus perempuan dan perlindungan anak, dan kasus penjualan TKW informal seperti temuan di atas?

Setidaknya masyarakat sering mendengar, kalau DPR RI suaranya sangat vokal, terutama ketika “mengkritik” kebijakan pemerintah, atau tepatnya memperjuangkan kepentingan publik. Padanya, melekat tiga fungsi pokok DPR, yaitu fungsi legislasi, anggaran (budgeting) dan pengawasan. Namun pada saat DPR melaksanakan fungsi legislasi, peran DPD tidak bisa diabaikan begitu saja. DPR harus melibatkan DPD, terutama pada saat membahas Rancangan Undang Undang (RUU) terkait dengan Otonomi Daerah (Otoda), seperti hubungan pusat dan daerah, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan SDA, SDE dan lainnya serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Posisi DPD cukup strategis, meskipun pada saat penetapan UU, peran itu dilakukan oleh DPR RI bersama dengan presiden. Demikian pula hak menyetujui atau tidak menyetujui PP Pengganti UU yang diajukan Presiden untuk ditetapkan menjadi UU, masih berada di tangan DPR, bukan di tangan DPD.

Sungguh pun demikian, pada saat DPR melaksanakan fungsi budgeting, DPR wajib memperhatikan pertimbangan DPD atas RUU tentang APBN dan RUU terkait pajak, pendidikan dan agama. Demikian pula saat DPR melaksanakan fungsi pengawasan, DPR berwenang menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh DPD meliputi pelaksanaan UU Otoda, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan SDA dan SDE lainnya; dan tak kalah pentingnya, terkait dengan pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan dan agama. Dalam konteks inilah, kasus temuan penjualan TKW ke Abu Dhabi wajib ditindak lanjuti oleh lembaga berwenang, yang dalam pelaksanaannya dieksekusi oleh pemerintah, dalam hal ini adalah pihak Kementerian Tenaga Kerja dan Kepolisian RI. Tak terkecuali, ada badan khusus yang bernama BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) yang mengurusi penempatan dan perlindungan TKI secara terkoordinasi.

Terhadap kasus penjualan TKW informal di atas, DPD telah menunjukkan fungsi pengawasannya. Fungsi ini dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Komite III sebagai salah satu alat kelengkapan DPD RI yang bersifat tetap. Sekedar untuk diketahui, DPD RI memiliki 11 alat kelengkapan, terdiri atas 4 Komite, Panitia Perancang UU, Panitia Urusan Rumah Tangga, dan 4 Badan (Kehormatan, Kerjasama Antar Parlemen, Pengembangan Kapasitas Kelembagaan, dan Akuntabilitas Publik), serta Panitia Musyawarah. Dalam konteks ini, Komite III mempunyai lingkup tugas pada bidang pendidikan dan agama. Tugas ini dilaksanakan dengan memperhatikan urusan daerah dan masyarakat, meliputi 13 aspek sebagai berikut: (1) pendidikan, (2) agama, (3) kebudayaan, (4) kesehatan, (5) pariwisata, (6) pemuda dan olahraga, (7) kesejahteraan sosial, (8) pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, (9) tenaga kerja dan transmigrasi, (10) ekonomi kreatif, (11) administrasi kependudukan/pencatatan sipil, (12) pengendalian kependudukan/keluarga berencana; dan (13) perpustakaan.

Paparan di atas menunjukkan, betapa tugas DPD pada dasarnya tidak ringan, mulai menyusun RUU, melaksanakan fungsi budgeting hingga fungsi pengawasan dalam bidang yang menjadi tugas utamanya. Ironisnya, selama ini DPD masih menggunakan gedung milik MPR, baik untuk ruang anggota maupun rapat. Bisa dibayangkan bagaimana menyusun RUU dengan efektif, gedung untuk rapat saja bukan milik sendiri. Dari segi teknis saja, betapa repotnya ketika hendak rapat, harus mendapatkan izin terlebih dahulu kepada MPR. Dari segi ini, antara DPD, DPR dan MPR sebenarnya adalah mitra kerja, namun seolah mereka mesti “bersaing” ketat karena keadaan?. Entahlah… itulah faktanya, produk hukum kita juga yang melahirkan DPD.

Dalam konstelasi sedemikian rupa, DPD seolah menjadi pelaku yang paling terpinggirkan. Lalu, bagaimana mampu melahirkan rancangan peraturan perundangan yang baik?. Belum lagi harus melahirkan sejumlah regulasi terkait pendidikan dan agama yang cukup strategis dan sensitif. DPD bukan sekedar pelengkap penderita dalam struktur ketatanegaraan RI. Sasaran yang hendak dicapai oleh DPD berkaitan erat dengan ranah publik dan kesejahteraan sosial. Gambaran rumah tangga DPD di atas dan temuan kasus penjualan TKW informal di Abu Dhabi, sudah cukup sebagai alasan awal mengapa suara DPD RI layak didengar dan diperdengarkan!.

Bila melihat sebentar ke belakang, saat saya sebagai warga negara terlibat dalam pemilihan umum waktu itu, DPD dipilih secara langsung oleh rakyat, termasuk DPR. Jujur saja, waktu itu saya tidak mengenal nama-nama calon DPD dengan baik, apalagi mengenal jejak rekamnya. Melihat puluhan nama yang terpajang bersama nama-nama dari utusan yang lain sudah cukup pening untuk menghafalnya, apalagi menelusuri jejak rekam kehidupan mereka satu per satu. Saya menyadari, sebagai pemilih yang baik mestinya kita harus tahu pasti terhadap para calon wakil rakyat itu satu persatu. Namun waktu itu, saya percayakan pada KPU sebagai Panitia Pemilu, karena setidaknya KPU sudah melakukan verifikasi terhadap setiap calon. Inilah yang saya rasakan, setelah Pemilu pun sebagai pemilih tidak begitu faham terhadap tugas pokok, fungsi, program, dan anggaran DPD. Sampai tibalah saat Kompasiana memberi kesempatan kepada penulis untuk berpartisipasi mengikuti blog competition dalam kegiatan “Tokoh Bicara” seputar tugas DPD RI.

Walhasil, mengingat begitu berat tugas DPD dan sedemikian berbeda dengan tugas Pemerintah Daerah (PEMDA) maupun DPR-MPR RI; maka suara DPD layak didengar. Kepada calon pemilih DPD dan DPR di masa depan, patut dilakukan edukasi, sehingga tersaring anggota DPR dan DPD yang paling mendekati harapan publik. Karena SDM yang berkualitas, akan selalu termotivasi untuk bekerja menghasilkan produk terbaik guna melindungi warga dan kesejahetaraan rakyatnya. Kini, UU No. 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri (UU PPTKILN) sedang dalam proses direvisi. Padahal pengiriman TKI ke Timur Tengah sudah dihentikan, lalu bagaimana dengan peran BN2TKI? Merespon masalah mandesak itu, DPD RI patut menyuarakan pentingnya perlindungan terhadap TKI dan TKW sebelum DPR RI mengetok palun dalam sidang paripurna. Suara DPD RI layak didengarkan.

Malang, 19/6/2015

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun