Sekitar dua minggu lalu, saya diajak kawan-kawan untuk menikmati Kepiting Hambur di Kota Malang. Tepatnya di Djoeragan Dapur Malang, Jl. Sulfat No. 95, Pandanwangi, Kec. Blimbing, Kota Malang, Jawa Timur.
Menu kepiting sering saya kenal, tapi kata hambur itu baru saya ketahui maknanya. Menurut penjelasan sang pemilik usaha, Mas Ovin, bahwa kata "hambur" itu berasal dari bahasa khas masyarakat Balikpapan, juga masyarakat Sulawesi. Di Malang, kata hambur itu mungkin padanan dari kata "bancakan" (21/10/2019).
Jadi, makna "Kepiting Hambur" adalah kepiting yang dihamburkan di atas meja dan dimakan secara beramai-ramai atau seru-seruan. Hemmm.... inikah sebagian ciri generasi millenneal, suka dengan hal-hal baru yang menantang, termasuk dalam kuliner?
Kreativitas ala Ovin
Kreativitas itu perlu. Ini salah satu ciri generasi era millenneal. Kreatif dalam hal ini adalah berusaha menghadirkan cita rasa baru yang semula "Kepiting Hambur" di tempat asalnya (Balikpapan-Makasar) begitu "asin", di Malang dikurangi level asinnya.
Masalahnya, bagaimana cara mendatangkan "kepiting merah" hidup dari daerah asalnya? Ternyata, menurut Alvin Yulianda yang sehari-hari dipanggil Mas Ovin itu, akhirnya menemukan jalannya. Ternyata bisa. Inilah satu diantara keunggulan "Kepiting Hambur" Djoeragan Dapur Malang.
"Kepiting Hambur" awalnya merupakan jenis masakan khas Makassar. Produk ini merupakan franchise yang sudah berkembang di Makassar. Di daerah asalnya, rasa "Kepiting Hambur" menonjolkan rasa asin.
"Oh... kok asin". Begitu Ovin menirukan respon pelanggannya terhadap masakan yang ia sajikan pada awal-awal membuka usaha di Malang. Berbekal masukan dari pelanggannya itulah, Ovin kemudian berusaha menyesuaikan diri.
Setahap demi setahap, usaha "Kepiting Hambur" yang ia kembangkan mulai berkembang. Kini Ovin punya 5 karyawan, terdiri atas dua waiters, dua koki, dan seorang kasir. Ia mematok target daerah Sulfat menjadi area Djoeragan Dapur. Orang ingat Sulfat, ya ingat Djoeragan Dapur.