Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Money

Kebangkitan Ekonomi Indonesia yang Tak Terlihat

25 Juni 2015   16:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:12 2576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi/Percepatan Peredaran Uang. Sumber: mercadoetico.com.br  

Tidak bisa dipungkiri, kondisi perekonomian Indonesia pada catur wulan I-2015 hingga kini masih lesu. Rupiah sempat terpuruk, harga-harga komoditi pun jeblok, kecuali kinerja sektor kelautan dan pariwisata sedikit lebih baik. Dibalik kabar buruk perekonomian kita, ada tanda-tanda kebangkitan yang tak terlihat. Sebagaimana dikutip Blomberg, Economist Intelligence Unit (EIU) memprediksi Indonesia bakal menguasai perekonomian global pada tahun 2050 dengan urutan China, Amerika Serikat, India, Meksiko dan Indonesia (Kompas.com, 24/6/2015). Tampak Amerika Serikat akan tergeser oleh China dan negara-negara Eropa berada di bawahnya, sementara India, Meksiko dan Indonesia akan semakin berkibar. 

 

 

Pebandingan Nominal GDP 10 Negara tahun 2014 dan kecenderungannya Th 2050. Sumber Grafik: Bloomberg (Jun 23, 2015) 

Uniknya, laporan itu memprediksi Jepang justru turun dari urutan ke-3 menjadi urutan ke-5 (economy remove down), sementara Brazil tetap di urutan ke-7. Ekonomi Brazil rupanya terjebak ke dalam apa yang disebut middle income trap, yaitu jebakan kelompok masyarakat berpendapatan menengah, alias puluhan tahun kelas menengah Brazil  tetap tidak beranjak meningkat atau stagnan. Menurut prediksi EIU, Meksiko akan menggeser posisi Rusia, sementara Indonesia akan menggeser posisi Italia dalam kurun waktu 10-35 tahun mendatang. China, menurut laporan yang sama akan menggeser posisi AS pada awal 2026 dalam hal Produk Domestik Bruto (PDB) nominal.

Ada tiga preposisi yang dijadikan alasan, mengapa sejumlah negara berpenduduk besar mengalami pertumbuhan lebih cepat dibanding negara yang lain dalam jangka panjang, yaitu sharing GDP nominal, income percapita, dan proporsi tenaga kerja usia produktif. Tiga negara yang dominan dari aspek big share nominal GDP pada tahun 2050 menurut IEU adalah China (100 trillion US$), USA (70 trillion US$), dan India kurang dari 70 trillion US$. Dilihat dari aspek ini, artinya China dan India memiliki skala kekayaan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara lainnya dalam kelompok 10 negara itu.  Dari pendapatan per kapita misalnya, daya beli India meningkat sekitar 24 %, lebih tinggi dibanding AS yang hanya meningkat 3 %. PDB Asia pada tahun 2050 akan mencapai 53% terhadap PDB dunia, sementara pangsa Eropa menurun, demikian prediksi EIU. Dalam jangka panjang, trend peningkatan populasi tenaga kerja usia produktif banyak terjadi di Afrika dan Timur Tengah, sementara trend penurunan terjadi di Asia Timur (terutama Jepang hingga mengalami penurunan 25%). Itulah beberapa alasan ringkas, mengapa China dan India mengalami pertumbuhan lebih cepat, termasuk Meksiko dan Indonesia menurut versi IEU.

Sumber: Dikutip dari Blombeerg (Jun 23, 2015)

Prediksi itu mengarah pada negara-negara tertentu dengan penduduk besar di dunia yang unik. China akan mengambil alih posisi AS. India dan China masing-masing akan menjadi lebih kaya dari lima negara berikutnya, Indonesia, Jerman, Jepang, Brasil, dan Inggris. Sebagai negara berpenduduk relatif besar, Indonesia disebut-sebut masuk dalam keunikan itu. Kalimat ini yang hendak saya garis bawahi, bahwa negara dengan penduduk besar punya potensi berkembang dengan unik, karena besarnya pasar domestik yang dimiliknya. Untuk analisis cyclical terhadap perkembangan perekonomian Indonesia dari faktor internal dan eksternal, dapat dilihat artikel Arnold Mamesah yang cukup komprehensif "Asa dalam Siklus Perekonomian" (Kompasiana, 23 Juni 2015). Sementara artikel ringkas ini, hendak melihat satu faktor kunci sebagai tambahan, yaitu faktor  mutu penduduk. Alasannya, kualitas penduduklah yang menentukan tinggi rendahnya income percapita yang diwakili oleh mereka yang berusia produktif. 

Karena itulah, terlepas dari penilaian EIU di luar tiga indikator tersebut, hemat saya ada satu hal dari beberapa hal strategis yang perlu mendapat perhatian pemerintah, jika Indonesia hendak diantarkan ke pintu gerbang kemakmuran di masa depan, yaitu mengelola mutu penduduk Indonesia. Variabel ini di luar tiga variabel di atas. Asumsinya, jumlah penduduk yang besar bukanlah faktor penghambat pembangunan, sebaliknya menjadi pendorong pembangunan, sepanjang dikelola dengan baik.

Tak terbantahkan, bahwa Sumber Daya Manusia (SDM) adalah faktor kunci pembangunan. Penduduk suatu negara merupakan faktor determinan bagi kemajuan bagi bangsa. Singapura berpenduduk sedikit, sumber daya alamnya (SDA) juga sangat terbatas. Bahkan untuk memperluas daratannya, Singapura harus “mengeruk” (membeli) pasir dari Riau, Indonesia. Meski SDA Singapura sangat terbatas, namun karena punya SDM berkualitas, income percapita negeri berlambang “Singa Laut” itu sangat tinggi di wilayah ASEAN. Pertumbuhan ekonominya juga mengesankan, Singapura tumbuh menjadi negara makmur. Sungguh pun begitu, kontribusi Singapura terhadap perekonomian global tidak begitu signifikan. Bandingkan dengan Indonesia, meski boleh dibilang masih menyisakan 10% penduduk miskin (dari 250 juta jiwa), namun kontribusinya dalam pasar global cukup terasa.

Sekedar contoh, apa yang akan terjadi jika saja Indonesia tiba-tiba berhenti mengimpor daging sapi dari Australia?. Masih segar dalam ingatan kita, pernah kelompok aktivis lingkungan dari Australia mengecam keras Tempat Penyembelihan Hewan (TPH) di negeri ini yang dinilainya “tidak hewani”. Puncaknya Australia menghentikan ekspor daging sapi ke Indonesia. Namun apa yang terjadi? Perekonomian di kawasan ini sudah terlanjur tercipta saling ketergantungan. Para peternak Australia justru protes terhadap pemerintahnya sendiri, karena pendapatan peternak terganggu, akibat pengiriman daging sapi ke Indonesia dihentikan. Selang tak seberapa lama, keran ekpsor itu dibuka kembali. Unik kan?.

Ilustrasi/Jagal Sapi Semacam ini yang Dinilai Brutal oleh Sebagian Pihak/www.tempo.co

Itulah sekedar contoh ekonomi saling ketergantungan. Terlepas dari soal layak tidak layaknya TPH kita, namun dalam perekonomian terbuka semacam itu, efeknya saling kait mengait. Bagi negara yang sebagian besar produknya diserap ke negara lain atau sebaliknya, maka kontribusi negara itu terhadap perekonomian global cukup signifikan. Bayangkan, Amerika Serikat sekitar 15% perekonomiannya terintegrasi dengan pasar global. Maka wajar, ketika The Fed (Bank Sentral Amerika Serikat) mengotak atik suku bunganya, maka perekonomian global akan terkena imbasnya, ikut goncang.

Kalau pingin aman dari pengaruh global, ya jadilah seperti Robinson Crusoe yang tinggal di pulau sendirian… hehe… menanam sendiri, cari ikan sendiri, dan hasilnya dimakan sendiri, aman. Nggak perlu ekspor, juga nggak perlu impor, nggak perlu ada distribusi. Itulah kehidupan ekonomi tertutup, kondisinya aman tapi sulit berkembang, seperti Korea Utara. Gambaran seperti itu layaknya kehidupan “katak dalam tempurung”.

Jadi, dilihat dari aspek kependudukan menjadi jelas. Bahwa negara-negara berpenduduk besar seperti USA, China, India, Rusia dan Indonesia berpengaruh terhadap perekonomian global. Anggap saja sebesar 40% pangsa pasar ASEAN berada di Indonesia, maka sudah bisa dibayangkan bagaimana pengaruhnya terhadap ASEAN. Jika kita optimis dengan pangsa pasar dan dukungan SDM kita sendiri, sesungguhnya kita tidak perlu khawatir terhadap apa yang digembor-gemborkan selama ini, yaitu persaingan “Masyarakat Ekonomi ASEAN” (MEA). Karena hakekatnya, MEA itu ya ada di sini, ada di negeri kita.

Jika menyadari hal itu, mestinya Indonesia yang mengendalikan perputaran barang, jasa dan orang (tenaga kerja) di pasar ASEAN. Lihatlah, saat USA sedang dilanda krisis finansial, negara adi daya itu menarik dollar yang tersebar di berbagai negara dengan cara menaikkan suku bunga bank sentralnya, akibatnya negara lain “klepek-klepek”. Hal yang sama, tidakkah dapat dilakukan oleh Indonesia di ASEAN?

Hemat saya mungkin saja, tinggal butuh keberanian dan konsistensi pemimpin kita. Buktinya, Presiden Soekarno dulu mampu mengendalikan ASEAN dan Konferensi Asia Afrika, padahal kondisi bangsa saat itu lagi menderita secara ekonomi. Gus Dur juga pernah menggertak Singapura, agar negeri itu memahami keberadaan banga kita dengan mewacanakan isu penyetopan supply air ke Singapura. Saat Jusuf Kalla mengkonversi minyak gas ke tabung elpiji, toh hasilnya lebih baik bagi kita, meski ada negara tetangga yang sedikit meradang waktu itu. Artinya, kita berpotensi bisa mengendalikannya untuk pemulihan ekonomi nasional dengan tetap menjunjung tinggi prinsip keadilan pasar dan kesejahteraan sosial. Dalam konteks ini, Indonesia perlu meningkatkan mutu SDM, tenaga kerja terampil, pemberdayaan TKI, dan peningkatan kualitas lembaga pendidikan.

Sungguh pun demikian kita harus hati-hati, jangan sampai seperti Brazil yang dalam masa puluhan tahun tetap saja perekonomiannya tak meningkat secara signifikan, padahal pendapatan Brazil waktu itu sudah naik kelas, sejajar dengan negara-negara berkembang lainnya. Itulah yang dikenal dengan konsep midle income trap, kelas menengah Brazil terjebak selama puluhan tahun dalam rentang pendapatan yang itu itu saja, sulit naik kelas lagi, seolah sudah “mentok”.

Jika ini yang terjadi, maka Brazil akan ditinggal oleh negara lain, semisal Indonesia. Sebagaimana EIU-Bloomberg prediksi, bahwa pada tahun 2050, perekonomian Indonesia bakal menguasai perekonomian global. Jika kita bekerja keras dan mau bersabar selama 35 tahun, maka bukan hal yang mustahil Indonesia akan menguasai perekonomian global seperti prediksi EIU. Ibarat seorang sedang kehausan di tengah padang pasir, kabar gembira ini seolah sebagai “kendi” berisi air minum yang melegakan kerongkongan. Mungkinkah Indonesia menguasai perekonomian global?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun