Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Malang Cerdas Sediakan Bus “Halokes”, Gratis Lagi!

23 Mei 2015   17:52 Diperbarui: 12 Agustus 2015   05:57 742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_419615" align="aligncenter" width="700" caption="Di Kaca Depan Tertulis Bus Halokes (Sumber Foto: Suara Pembaharuan, 20/1/2015)"][/caption]

Gratis. Naik ‘BUS HALOKES” di Kota Malang tidak berbayar alias gratis. Jika “BUS HALOKES” dibaca terbalik, terbaca BUS SEKOLAH. Begitulah bahasa “walikan” yang sering digunakan Arek Malang (Arema) atau Ngalamers. Bus Halokes, Mungkin satu-satunya bus gratis dan bebas hambatan di Indonesia. Bus ini dioperasikan pada pukul 05.30-07.00 WIB untuk keberangkatan dan pukul 13.00-14.30 WIB saat kepulangan anak sekolah, dan gratis. Mengapa gratis? Pasalnya, anak-anak sekolah di bawah umur 17 tahun dilarang mengendarai sepeda motor. Namun akibat kenaikan harga BBM 2014 lalu, banyak anak-anak sekolah pergi ke sekolah naik motor. Ongkos naik angkutan kota (angkot) dianggap lebih mahal dari pada beaya berkendara roda dua. Apalagi mereka harus beberapa kali pindah angkot untuk bisa sampai ke sekolah, belum lagi untuk uang saku tiap harinya. Bagi komunitas tertentu, masalah ini dilematis. Naik angkot ongkosnya mahal, naik sepeda motor ditilang polisi. Harus bagaimana nih?

[caption caption="Jl. Ijen Kota Malang, Boulevardnya Warga Malangers/Dok. Pribadi"]

[/caption]

Dalam kondisi seperti itu, hukum ekonomi bekerja. Jika harga suatu produk naik sementara pendapatan tetap, maka konsumen akan mencari barang substitusi. Menggunakan sepeda motor adalah salah satu pilihannya. Ini manusiawi banget, manusia adalah homo economicus. Namun akibatnya, banyak peristiwa kecelakaan di jalan yang melibatkan anak-anak sekolah. Hal ini berbahaya. Maka, Pemkot Malang menyediakan alternatif BUS HALOKES bebas hambatan. Sangat membantu memang, terutama untuk anak-anak SMP yang kesulitan mengakses transportasi. Para Ngalamers tentu senang. Sayang, jumlahnya masih terbatas, demikian pula dengan halte-nya. Penyediaan Bus Halokes hanya salah satu layanan publik agar “keramahan kota” dapat dirasakan oleh semua warga, termasuk warga yang paling miskin sekalipun.

Ternyata, salah satu ciri kota cerdas (smart city) adalah sebuah kota yang mampu memberikan kenyamanan bagi penduduknya. Kota cerdas tidak selalu berarti kota serba digital, tetapi juga kota yang nyaman. Ada transportasi publik bebas hambatan, drainasenya lancar, penduduknya ramah, mudah berinteraksi baik antar sesama maupun dengan pemerintah kotanya. Demikian halnya para penghuninya tinggal di rumah layak huni, sehat, dan hemat dalam mengkonsumsi energi. Tak terkecuali, perekonomian kota terus berkembang. Kotanya ditopang dengan teknologi informasi dan komunikasi yang memungkinkan warganya mudah bertranskasi. Pendek kata, baik sosial, lingkungan, dan pondasi ekonominya memungkinkan warga kota hidup aman, nyaman dan makmur. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, karakteristik ini cocok dengan gambaran Malang sebagai Kota “Tribina Cita”, yaitu kota pendidikan, destinasi wisata, dan industri jasa yang sudah 15 lebih saya huni.

Kondisi dan Potensi Kota Malang

[caption id="attachment_419653" align="aligncenter" width="640" caption="Suasana Pagi Car Free Day di Jl. Ijen (Ilustrasi, rudiprastyo.blogspot.com)"]

14324083031579177270
14324083031579177270
[/caption]

Saya layak bersyukur, ketika diterima bekerja di kota Malang di akhir tahun 1996. Malang adalah kota impianku. Wow waktu itu hawanya dingin, udaranya segar, makanannya enak dan murah, serta masih ada sisa-sisa “bemo” berkeliaran di jalan-jalan. Hal yang relatif sama juga dialami seorang dokter muda. Sekitar tahun 2012, saya bertemu seorang dokter muda yang ditugaskan di Malang. Saya bertanya kepadaya, apa alasan pak dokter milih Malang? Sambil tersenyum dia mengatakan, selain karena saya diterima bekerja di sini, saya ingin kualitas hidup yang lebih baik. Usut punya usut, ternyata hidup berkualitas yang ia maksud adalah hidup di daerah yang sejuk, udaranya segar, dan nyaman. Sebelumnya ia tinggal di daerah industri yang panas, sering banjir, dan acapkali terjebak macet di jalan raya. Ini hanya sekedar gambaran, bahwa Kota cerdas adalah kota yang ramah secara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Malang ternyata punya daya tarik. Maka tak heran, jika banyak pendatang baru di kota ini, baik untuk alasan lanjut studi, bekerja, atau sekedar berwisata.

Namun kini situasinya berbeda. Terminal Dinoyo sudah berubah jadi pusat-pusat perbelanjaan. Toko swalayan “Persada”, tempo dulu adalah terminal Dinoyo. Bemo-bemo yang berkeliaran ramah, kini diganti “mikrolet”. Namun ketika harga-harga BBM naik, si biru itu tidak selaku seperti sebelumnya. Maka ketika ada kebijakan lalu lintas satu jalur, mereka menolak. Akhirnya dibuatkan jalur mikrolet sendiri. Si Biru dibuatkan jalur dengan tanda garis kuning di sepanjang jalan yang sama. Uniknya, ada lalu lintas satu jalur, namun mikrolet boleh melintas melawan arus. Ini keunikan kedua lalu lintas di kota Malang, selain ada BUS HALOKES.

[caption caption="Malang Town Square (MATOS)/Ilustrasi/Dok. justgola.com"]

[/caption]

Keruwetan jalan masih tetap belum terurai, masyarakat yang tinggal di sepanjang Jalan MT. Haryono dan Jalan Panjaitan mengajukan protes, minta dikembalikan lagi ke jalan dengan sistem dua jalur. Jadilah seperti sekarang ini. Setelah dikembalikan, masyarakat yang sebelumnya protes mengucapkan terima kasih. Mereka memasang spanduk bertuliskan: “Terima kasih Pemkot, engkau telah mengembalikan jalan kami”.

Namun apa yang terjadi? Keadaan memang berubah, tapi belum seperti yang diharapkan. Mikrolet tetap melintas di jalur kuningnya. Kemacetan belum bisa terurai secara maksimal. Masalah utamanya hemat saya karena jumlah kendaraan dan luas jalan tidak sebanding. Akibatnya, ke manapun arus lalu lintas dialihkan, tetap saja keruwetan relatif tidak terurai secara maksimal. Maka jangan heran, di setiap persimpangan jalan yang macet, muncul “polisi cepek”. Contohnya di persimpangan Jl. Gajayana (pojok Swalayan Sardo), ada polisi cepek setiap hari. Mereka adalah relawan yang membantu  tugas polisi dalam mengatur lalu lintas. Ini salah satu bentuk keramaham warga. Coba aja lewat jalan alternatif dari Dinoyo-Karangploso, meski jalannya sempit, namun lalu lalang kendaraan roda empat dan roda dua tiada henti-hentinya. Karena jalan ini satu-satunya alternatif, jalur penghubung antara Dinoyo Karangploso melalui daerah Tunggulwulung. Di situ hadir “polisi cepek”, mereka tidak minta uang, tetapi diberi secepekpun sudah senang. Mereka hadir membantu polisi mengatur lalu lintas.

Sungguh pun begitu, kita patut bersyukur. Jalan-jalan raya di luar jalur utama sudah diaspal. Titik-titik bajir terparah ketika musim hujan tiba di sekitar wilayah Jalan Galunggung, kawasan Gadingkasri, Bareng, dan Dinoyo (terutama di Jalan Sigura-gura) kini sudah teratasi. Pemkot berhasil membangun sistem terowongan air dengan cara membuat drainase melalui pengeboran di dalam tanah sebelum dipasang "box tunnel" di sepanjang titik banjir.

Dengan segala keterbatasannya, Malang layak disebut-sebut sebagai kota maju kedua di Jawa Timur, setelah Surabaya. Sebagai kota “Tribina Cita”, kota Malang ditopang oleh potensi pendidikan, destinasi wisata, dan industri jasa. Kota ini dihuni oleh sekitar 800-an ribu penduduk, terdapat 98 perguruan tinggi, belasan hotel dan puluhan villa, guest house, home stay, atau apapun namanya yang berarti tempat penginapan dengan harga menarik. Ada pusat-pusat perbelanjaan seperti Malang Town Square (MATOS), Malang Olympic Garden (MOG), dan @MX-Mall dilengkapi dengan alat transaksi non tunai. Toko-toko swalayan yang lebih kecil bertebaran. Mereka ikut ambil bagian dalam mengambil peluang bisnis dari pertumbuhan kota.

[caption caption="Logo Arema Fire, Club Sepak Bola Arek Malang/Ilustrasi/ongisnade.co.id"]

[/caption]

Ada Aremania, klub supporter sepak bola paling popular di kota ini. Kehadirannya berpotensi mendorong pertumbuhan sosial, budaya, dan ekonomi perkotaan. Tumbuh di kota ini budaya Topengan khas Malangan. Banyak kuliner yang menawarkan aneka sajian yang menggiurkan. Berkembang pula kelompok-kelompok berbasis komunitas yang memiliki hobi yang sama seperti seperti komunitas pecinta burung, bunga, atau Vespa (roda dua). Di sekitar Taman Krida Budaya Kota Malang, Jalan Soekarno Hatta setiap sore-malam ramai dikunjungi orang, baik sekedar untuk jalan-jalan atau cari makanan ringan sambil lesehan. Apalagi malam minggu, suasananya cukup ramai. Taman ini merupakan tempat penyelenggaraan aktivitas Seni Budaya dan Pariwisata Jatim dan Malang. Fungsinya selain sebagai wahana aktualisasi diri bagi para seniman daerah, taman juga berfungsi untuk menggelar acara besar seperti pameran produk kerajinan, pameran pendidikan, pagelaran seni, hingga hajatan pernikahan.

Organsisasi filantropi juga tumbuh subur di kota ini, baik yang berbasis Ormas, pesantren, kampus, atau masjid. Misalnya ada Rumah Zakat Indonesia cabang Malang, Baitul-Mal al-Hidayah Malang, Baznas Kota Malang, dan masih banyak lagi. Komunitas keagamaan seperti pesantren dan kelompok-kelompok pengajian pun berkembang. Hampir setiap tahun, ada eventMalang Tempoe Dulu” di sepanjang Jalan Raya Ijen, Jalan elit yang menjadi simbol wajah Kota Malang. Pendek kata, secara ekonomi dan sosial budaya, kota ini berpotensi menjadi kota cerdas di masa depan.

[caption caption="Festival Malang Tempoe Dulu/Ilustrasi/malangonline.com"]

[/caption]

Sayangnya, kota ini masih dihadapkan pada tantangan kemacetan. Salah satu tantangan pokok pembangunan Kota Malang adalah masalah infrastruktur jalan, termasuk di dalamnya masalah “tatakelola transportasi publik”. Namun jangan keburu berprasangka buruk terhadap kemacetan ini, karena ada pertanda kota yang macet itu berarti pertumbuhan ekonominya semakin berkembang. Coba bandingkan dengan kota lain yang sepi, bukankah pertubumbuhan ekonomi daerah itu relatif lambat? Namun harus disadari, kemacetan kota merupakan sinyal,  bahwa tata kelola pembangunan kota di daerah itu perlu dibenahi. Demikial halnya dengan kemacetan di kota Malang.

[caption caption="Potensi Titik Kemacetan di Jl. Soekarno Hatta Kota Malang/Ilustrasi/sipil.umm.ac.id"]

[/caption]

Harapan dan Solusi Mewujudkan Malang Kota Cerdas

Sebagai salah satu perwujudan kecintaan warga akan kotanya, ada beberapa harapan dan solusi yang dapat penulis ajukan menuju Malang Kota Cerdas di Masa Depan:

Pertama, penyediaan jalan lintas bebas hambatan.

Sebagai warga yang sudah 15 tahun lebih tinggal di Kota Malang, berharap kota ini memiliki jalan lingkar, yaitu jalan pinggir kota bebas hambatan yang menghubungkannya dengan wilayah luar kota, seperti jalur Malang-Batu-Surabaya dan Malang-Pandaan-Surabaya. Pemkot Malang selaku regulator, diharapkan memiliki good will untuk membangunan infrastruktur strategis yang mampu menopang ekonomi kota. Beayanya memang tinggi dan manfaatnya baru bisa dirasakan dalam jangka panjang. Namun kalau tidak, kapan lagi?

Meski bertahap, bersifat multi years, tetapi pasti. Itu lebih baik. Jika asumsi bahwa kemacetan disebabkan oleh tidak seimbangnya antara jumlah kendaraan dengan luas jalan, maka satu-satunya jalan keluar adalah menambah luas jalan, bukan mengotak-atik arah lalu lintas. Pembangunan infrastruktur perkotaan adalah sebuah kebutuhan mendesak. Mungkin para investor masih ragu, karena tidak ada kepastian birokrasi. Maka pemerintah daerah yang berwenang harus “memastikan” bahwa pembangunan tata kelola perkotaan akan dibangun sesuai dengan peruntukannya. Misalnya, pemerintah kota yang membebaskan tanahnya, sementara investor yang membangun. Namun harus dipastikan, bahwa rakyat tidak dieksploitasi. Jika demikian, hemat saya tidak aka ada yang dirugikan, rakyat tentu sulit untuk menolaknya. Partisipasi rakyat, adalah salah kata kunci keberhasilan pembangunan, dengan pemerintah sebagai regulator dan fasiliatornya.

Kedua, penertiban retribusi parkir.

Tukang parkir menarik uang parkir di lahan yang bukan miliknya, sementara pemilik toko dan pelanggan tidak berani mengusiknya. Unik. Di sepanjang jalan seputar kampus UB, UIN, UM, UNISMA, dan UMM misalnya, banyak sekali ruko-ruko yang dikuasai oleh tukang parkir “tidak resmi”. Demikian halnya yang terjadi di pusat kota Malang. Berapa uang retribusi parkir yang masuk ke Pemkot? Saya yakin tidak sebanding dengan yang semestinya. Kiranya mereka perlu ditertibkan, dengan cara mengurai jaringan penguasa lahan parkir. Solusinya, tawarkan ke masyarakat untuk membeli semacam “token parkir” atau “kartu parkir” bulanan. Sementara tukang parkir menjadi pegawai Pemkot.

Ketiga, pelayanan anak-anak jalanan (Anjal), Gelandangan dan Pengemis (Gepeng).

Malang belum bebas dari anak-anak jalanan (anjal), gelandangan dan pengemis (gepeng). Pemkot memang sudah memberikan peringatan dengan cara memasang papan seruan agar masyarakat tidak memberi sesuatu secara langsung kepada “anjal” dan “gepeng”. Tetapi tampaknya tidak efektif. Buktinya, anjal dan gepeng masih beroperasi di sekitar jalan Sigura-gura, Dinoyo, dan lainnya. Operasi setiap saat penting dilakukan, seiring dengan itu disediakan tempat penampungan dan layanan sosial. Jika mereka kembali lagi ke jalanan, dilakukan operasi lagi, demikian seterusnya hingga Malang dinyatakan bebas dari anjal dan gepeng.

Solusinya, UU No. 23/2011 dan PP No. 14/2014 tentang pelayanan Zakat, Infaq dan Sedekah (ZIS) dioptimalkan lagi. Selain untuk pengentasan kemiskinan, dapat dipergunakan pula untuk pembebasan “anjal” dan “gepeng”. Para pekerja sosial, panti-anti asuhan di bawah naungan Kemensos, lembaga filantropi dan dana CSR dari perusahaan dapat dijadikan mitra strategis.

Keempat, peningkatan layanan “Bus Halokes” atau Pengadaan Angkutan Massal

[caption id="attachment_419659" align="aligncenter" width="660" caption="Ilustrasi (Radang Malang, 08/12/2013)"]

14324117891885730392
14324117891885730392
[/caption]

Jika dipandang efektif untuk mencegah kejadian anak-anak sekolah berkendara sepeda motor di jalan raya, maka Bus Halokes perlu diperbanyak jumlahnya, demikian pula halte-haltenya. Selama ini masalahnya terletak pada keterbatasan tempat berangkat dan pemberhentiannya, sehingga tidak semua anak sekolah yang membutuhkannya dapat mengakses layanan “Bus Halokes”. Layanan ini dapat dihentikan, jika ada kebijakan yang mengharuskan sekolah wajib menerima siswa yang rumahnya berdekatan dengan sekolahnya, tanpa memperhatikan hasil Ujian Nasional (UN) sebagaimana berlaku selama ini. Hasil seleksi masuk sekolahlah yang membuat anak-anak harus mencari sekolah sampai jauh. Sekedar contoh, ada anak rumahnya di Merjosari, ingin masuk SMKN, karena tidak diterima di kota, maka mereka masuk di SMKN Lawang. Jauh sekali, tetapi terpaksa dilakukan.

Alternatif lain adalah mengganti semua angkot yang sudah ada dengan angkutan massal sebagaimana pernah diwacanakan pada tahun 2013. Pakar transportasi Nusa Sebayang pernah menyuarakan saatnya Malang memiliki TransMalangCity (Radar Malang, 8/12/203), semacam bus massal dengan ukuran yang sesuai dengan kondisi jalan di Malang.  Apapun namanya, yang penting mampu mengangkut penumpang secara massal, nyaman, dan masyarakat bisa sampai di tujuan tepat waktu. Karena itu, jalan-jalan penting yang menjadi akses publik harus dilewati, seperti  kantor Balai Kota, alun-alun, kampus, sekolah, pasar, dan lain sebagainya. Di sisi lain, harus didukung dengan aturan yang memungkin tidak semua kendaraan boleh masuk. Mahasiswa dan pelajar misalnya, dilarang bawa motor masuk ke dalam lingkungan kampus dan sekolah. Konsekwensinya, kampus harus menyediakan sepeda-sepeda onthel siap pakai.

Kelima, Menyiapkan Malang sebagai Kota MICE.

Di masa depan saya berharap Malang menjadi Kota MICE (Meeting, Incentive, Convention, dan Exhibition). Untuk menjadi kota industri jasa meeting, maka Malang mesti didukung dengan banyak penginapan atau hotel yang representatif. Jika tidak, event-event internasional sulit diselenggarakan di kota ini. Seiring dengan itu, perlu diperhatikan tingkat okupansi hotel, SDM dan infrastruktur jaringan telekomunikasi dan komunikasi. Transaksi uang non tunai akan berjalan dengan efektif jika didukung dengan sarana ini. Tak kalah pentingnya, pajak online layak segera diberlakukan, agar setiap hotel atau rumah penginapan apapun namanya dapat membayar pajak secara tertib dan akuntabel.

[caption caption="Hotel Spendid Inn Kota Malang/Ilustrasi/aragani.com"]

[/caption]

[caption caption="Ruang Meeting Hotel, Pendukung Kota MICE/Ilustrasi/aragani.com"]

[/caption]

Mungkin terlalu banyak harapanku melebihi kemampuan kotaku. Tetapi inilah salah satu perwujudan kepedulian warga terhadap kotanya. Saya yakin, tidak lama lagi Malang akan menjadi kota cerdas dalam arti yang sesungguhnya. Kerjasama sinergis antara pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat atas dasar saling “percaya” merupakan kunci keberhasilan. Tulisan ini adalah bagian kecil dari upaya menumbuhkan saling “percaya” itu. Semoga bermanfaat. Terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun