Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Malang Cerdas Sediakan Bus “Halokes”, Gratis Lagi!

23 Mei 2015   17:52 Diperbarui: 12 Agustus 2015   05:57 742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Organsisasi filantropi juga tumbuh subur di kota ini, baik yang berbasis Ormas, pesantren, kampus, atau masjid. Misalnya ada Rumah Zakat Indonesia cabang Malang, Baitul-Mal al-Hidayah Malang, Baznas Kota Malang, dan masih banyak lagi. Komunitas keagamaan seperti pesantren dan kelompok-kelompok pengajian pun berkembang. Hampir setiap tahun, ada eventMalang Tempoe Dulu” di sepanjang Jalan Raya Ijen, Jalan elit yang menjadi simbol wajah Kota Malang. Pendek kata, secara ekonomi dan sosial budaya, kota ini berpotensi menjadi kota cerdas di masa depan.

[caption caption="Festival Malang Tempoe Dulu/Ilustrasi/malangonline.com"]

[/caption]

Sayangnya, kota ini masih dihadapkan pada tantangan kemacetan. Salah satu tantangan pokok pembangunan Kota Malang adalah masalah infrastruktur jalan, termasuk di dalamnya masalah “tatakelola transportasi publik”. Namun jangan keburu berprasangka buruk terhadap kemacetan ini, karena ada pertanda kota yang macet itu berarti pertumbuhan ekonominya semakin berkembang. Coba bandingkan dengan kota lain yang sepi, bukankah pertubumbuhan ekonomi daerah itu relatif lambat? Namun harus disadari, kemacetan kota merupakan sinyal,  bahwa tata kelola pembangunan kota di daerah itu perlu dibenahi. Demikial halnya dengan kemacetan di kota Malang.

[caption caption="Potensi Titik Kemacetan di Jl. Soekarno Hatta Kota Malang/Ilustrasi/sipil.umm.ac.id"]

[/caption]

Harapan dan Solusi Mewujudkan Malang Kota Cerdas

Sebagai salah satu perwujudan kecintaan warga akan kotanya, ada beberapa harapan dan solusi yang dapat penulis ajukan menuju Malang Kota Cerdas di Masa Depan:

Pertama, penyediaan jalan lintas bebas hambatan.

Sebagai warga yang sudah 15 tahun lebih tinggal di Kota Malang, berharap kota ini memiliki jalan lingkar, yaitu jalan pinggir kota bebas hambatan yang menghubungkannya dengan wilayah luar kota, seperti jalur Malang-Batu-Surabaya dan Malang-Pandaan-Surabaya. Pemkot Malang selaku regulator, diharapkan memiliki good will untuk membangunan infrastruktur strategis yang mampu menopang ekonomi kota. Beayanya memang tinggi dan manfaatnya baru bisa dirasakan dalam jangka panjang. Namun kalau tidak, kapan lagi?

Meski bertahap, bersifat multi years, tetapi pasti. Itu lebih baik. Jika asumsi bahwa kemacetan disebabkan oleh tidak seimbangnya antara jumlah kendaraan dengan luas jalan, maka satu-satunya jalan keluar adalah menambah luas jalan, bukan mengotak-atik arah lalu lintas. Pembangunan infrastruktur perkotaan adalah sebuah kebutuhan mendesak. Mungkin para investor masih ragu, karena tidak ada kepastian birokrasi. Maka pemerintah daerah yang berwenang harus “memastikan” bahwa pembangunan tata kelola perkotaan akan dibangun sesuai dengan peruntukannya. Misalnya, pemerintah kota yang membebaskan tanahnya, sementara investor yang membangun. Namun harus dipastikan, bahwa rakyat tidak dieksploitasi. Jika demikian, hemat saya tidak aka ada yang dirugikan, rakyat tentu sulit untuk menolaknya. Partisipasi rakyat, adalah salah kata kunci keberhasilan pembangunan, dengan pemerintah sebagai regulator dan fasiliatornya.

Kedua, penertiban retribusi parkir.

Tukang parkir menarik uang parkir di lahan yang bukan miliknya, sementara pemilik toko dan pelanggan tidak berani mengusiknya. Unik. Di sepanjang jalan seputar kampus UB, UIN, UM, UNISMA, dan UMM misalnya, banyak sekali ruko-ruko yang dikuasai oleh tukang parkir “tidak resmi”. Demikian halnya yang terjadi di pusat kota Malang. Berapa uang retribusi parkir yang masuk ke Pemkot? Saya yakin tidak sebanding dengan yang semestinya. Kiranya mereka perlu ditertibkan, dengan cara mengurai jaringan penguasa lahan parkir. Solusinya, tawarkan ke masyarakat untuk membeli semacam “token parkir” atau “kartu parkir” bulanan. Sementara tukang parkir menjadi pegawai Pemkot.

Ketiga, pelayanan anak-anak jalanan (Anjal), Gelandangan dan Pengemis (Gepeng).

Malang belum bebas dari anak-anak jalanan (anjal), gelandangan dan pengemis (gepeng). Pemkot memang sudah memberikan peringatan dengan cara memasang papan seruan agar masyarakat tidak memberi sesuatu secara langsung kepada “anjal” dan “gepeng”. Tetapi tampaknya tidak efektif. Buktinya, anjal dan gepeng masih beroperasi di sekitar jalan Sigura-gura, Dinoyo, dan lainnya. Operasi setiap saat penting dilakukan, seiring dengan itu disediakan tempat penampungan dan layanan sosial. Jika mereka kembali lagi ke jalanan, dilakukan operasi lagi, demikian seterusnya hingga Malang dinyatakan bebas dari anjal dan gepeng.

Solusinya, UU No. 23/2011 dan PP No. 14/2014 tentang pelayanan Zakat, Infaq dan Sedekah (ZIS) dioptimalkan lagi. Selain untuk pengentasan kemiskinan, dapat dipergunakan pula untuk pembebasan “anjal” dan “gepeng”. Para pekerja sosial, panti-anti asuhan di bawah naungan Kemensos, lembaga filantropi dan dana CSR dari perusahaan dapat dijadikan mitra strategis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun