Mohon tunggu...
M. Jundurrahmaan
M. Jundurrahmaan Mohon Tunggu... -

sedarah satu, sebaris sama

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Jokowi "Menggebu Kalbu"

10 Agustus 2015   17:51 Diperbarui: 10 Agustus 2015   17:51 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Awalnya saya sempat menulis dua tulisan sebagai jawaban tak-terlalu-sungkan-sungkan saya terhadap keinginan presiden Jokowi untuk menghidupkan kembali Pasal Penghinaan Presiden sebagai undang-undang resmi negara. Usulan ini sempat disodorkan oleh Menkumham Yasonna Laoly melalui RUU KUHP terbaru tahun ini.

Mungkin Kompasianer dapat menyimpulkan bahwa alhasil dari kedua tulisan tersebut, saya sama sekali tidak mendukung rencana ini. Namun saya tak akan menentang jika pasal ini hanya akan berlaku kepada "mereka" yang nekat memberi masukan kepada Jokowi dengan istilah-istilah kasar seperti "kerbau kembali ke pantatnya sendiri", "Ini Susah, Itu Susah" dan seterusnya.

Namun tentunya bukanlah sebuah Istana Presiden era Reformasi jika mereka tidak dapat membedakan "kritik" dan penghinaan. Sejauh itulah pengamatan saya terhadap jawaban-jawaban mereka terhadap keinginan ini.

"Ketika hukum tidak berbicara, maka senjatalah yang berbicara"

Saya sempat membaca sebuah artikel tentang dukungan A.M. Hendropriyono (yang dituduh telah membunuh Munir, jangan lupa) terhadap keinginan ini. Ia sempat mengutip pepatah seorang filsafat yang mengatakan bahwa "ketika hukum tidak berbicara, maka senjatalah yang berbicara".

Ah, iya!

Mungkin pada era Imperial Jepang dulu, istilah ganryuu sering digunakan bagi para pengembara samurai yang tak mempunyai keluarga, tak mempunyai klan dan tak mempunyai identitas sama sekali. Hendropriyono dahulu kala sangat dekat dengan keluarga Cendana ketika kabinet Orba (atau Dwikora) sedang memimpin negara, dan sekarang keluarga mereka sudah mendekam dibawah radar atau runtuh dari kasta politik Indonesia. Tentunya hal ini dapat membuatnya sebagai sang ganryuu Indonesia yang merantau untuk membangun kembali ajaran-ajaran "bushido"-nya yang terlampau kuno.

Tak sungkan-sungkan pula banyak orang menuduhnya sebagai dalang utama dari pembunuhan aktivis pendiri organisasi KontraS, Munir. (baca: jurnalis Allan Heirn tahun lalu sempat mempunyai bukti yang dapat memidanakan Hendropriyono karena kasus yang sama, namun sampai sekarang belum ada perkembangan sama sekali) 

Karena Bung Yono sangat peka dengan politik era Orba, mungkin bisa dianggap kalau ia tak paham demokrasi era sekarang, yaitu Orde Reformasi. Karena demokrasi tak dapat bernegosiasi dengan kemenangan yang dibopong oleh poporan senjata api ala Brimob atau Dwifungsi ABRI.

Bangunlah panggung yang berhias senjata M16, maka mereka akan membangunkan para "macan dahulu kala" yang sedang tertidur dengan lelap!

Perlukah pasal ini dijadikan UU negara?

Tentunya saya mengira kalau presiden itu bukan artis. Artis sangat rentan mendapat kritik yang seringkali dianggap mereka sebagai "hinaan", dan inipun terjadi karena mereka hanya manusia biasa. Namun berlanjut dari pernyataan saya tadi tentang usulan yang dimaksud, saya sangat (tidak) mendukung keinginan ini, karena saya yakin dengan berlakunya pasal ini (tak) dapat memberikan efek jera bagi mereka yang berani (mengkritik) menghina presiden - wakil presiden Jokowi-JK.

 

Kesimpulannya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun