Mohon tunggu...
Choirul Rosi
Choirul Rosi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Cerita kehidupan yang kita alami sangat menarik untuk dituangkan dalam cerita pendek. 🌐 www.chosi17.com 📧 choirulmale@gmail.com IG : @chosi17

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bernafas dalam lumpur

7 Maret 2016   08:44 Diperbarui: 7 Maret 2016   08:48 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Hujan lagi Pak…”

“Iya bu, sepertinya akan lama”

“Bagaimana nasib kita nanti Pak, anak – anak belum makan seharian”

“Sabar bu, sebentar lagi pasti akan reda. Dan saat itu kita bisa mencari makan di hulu sungai”

 

Bertahun – tahun hidup di kota besar, tak membuat keluarga kecil itu putus asa, putus harapan dan bahkan tak mempunyai pikiran sedikitpun untuk mengingkari nikmat yang telah Tuhan berikan kepada mereka. Cobaan, penderitaan dan kesulitan hidup mampu mereka lewati semua.

Sama seperti hari itu, hari dimana musim hujan telah tiba, saat semuanya serba sibuk dengan banjir, saat semuanya sedang berteriak – teriak mengumpat banjir, saat semuanya sedang sibuk menyelamatkan harta mereka dari banjir. Saat semua orang berteriak – teriak menyalahkan pemerintah atas ketidakbecusan mereka memperbaiki drainase kota. Namun keluarga itu tetap sabar, diam tak berkomentar. Seakan – akan pasrah menerima semuanya.

Tahun lalu di kala ramai berdiri pabrik – pabrik di sekitar rumah mereka, banyak limbah yang dibuang ke sungai. Pabrik – pabrik itu sibuk mengepulkan asapnya, mencucurkan limbahnya ke sungai serta menderu – derukan suara mesin yang memekakkan telinga. Di saat itu air sungai benar – benar keruh, kotor dan bau.

“Rumah kita makin gerah saja Pak, anak – anak pun mulai kesulitan bernafas. Karena air sudah mulai dipenuhi lumpur yang keruh” keluh sang ibu kepada suaminya.

“Mau bagaimana lagi bu, kita sudah ditakdirkan hidup disini. Makan disini. Bernafas disini. Bernafas dalam lumpur” ucap Bapak pasrah.

“Iya Pak, saya tahu. Tapi apakah selamanya hidup kita akan terus seperti ini. Dengan pasrah tak berdaya menerima keadaan ini?” ucap ibu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun