Wayan menatap meja kerja Ayu. Ada sebuah pigura kecil di samping tumpukan buku. Matanya berkaca-kaca menatap pigura itu.
"Ayu..." ucap Wayan sambil meneteskan airmata.
Tidak banyak yang ia bawa. Ia tidak ingin terlalu larut dalam kenangan bersama sang adik. Hanya beberapa alat tulis dan dokumen penting milik Ayu, sebuah pigura kecil serta sebuah botol tupperware. Setelah memasukkan barang-barang itu kedalam kantung plastik, Wayan mencuci tangannya dengan cairan desinfektan yang tersedia di dalam ruangan itu.
***
Sejak kematian Anak Agung Ayu Maharani, cemoohan demi cemoohan makin menjadi. Ni Luh dituduh sebagai penyebabnya. Rekan kerja Ayu menuduh Ni Luh balas dendam kepada Ayu. Suasana makin runyam. Hampir semua pegawai di rumah sakit itu percaya akan kabar burung itu. Ni Luh tertekan. Ia ingin segera mencari pekerjaan lain. Info loker dong, butuh nih. Ni Luh memasang status whatsappnya. Gayung bersambut. Ponsel Ni Luh bergetar sore itu. Berteriak-teriak ingin segera diangkat.
"Kau butuh kerja?"
"Iya mas."
Tiga minggu kemudian Ni Luh sudah berada di Jakarta. Pesawat yang ditumpanginya mendarat mulus di bandara. Suasana bandara tidak semulus perjalanannya. Banyak protokol kesehatan yang harus ia lalui saat memasuki pintu utama bandara. Pemeriksaan suhu tubuh, rapid test corona hingga pemeriksaan surat keterangan sehat dari rumah sakit.
"Kamu dimana mas? Aku sudah tiba di Jakarta." tanya Ni Luh.
"Aku masih di kantor. Kamu dimana? Biar sopirku yang menjemputmu."
"Baiklah kalau begitu. Nanti aku kabari lagi."