Sore itu bukan sore seperti biasanya. Dari balik tirai kamar, Rudi melihat seseorang menaiki tangga darurat yang terhubung dengan sebuah jendela kamar. Selang beberapa menit kemudian, Rudi melihat lelaki itu menusuk penghuni apartemen yang sedang tertidur. Siluet bayangan lampu kamar apartemen di seberang kamar Rudi bagaikan layar bioskop yang sedang menceritakan sebuah adegan. Pembunuhan.
***
Pandemi virus korona memaksa Jakarta untuk menerapkan lockdown. Hal itu cukup berpengaruh bagi Rudi. Meski masih lajang, ia butuh uang untuk bertahan hidup.
Sistem lockdown yang sudah berjalan dua minggu membuat Rudi tidak bisa keluar apartemen sembarangan. Beberapa kliennya memutuskan kontrak kerja karena alasan work from home. Banyak perjanjian yang dibatalkan secara sepihak.
Apa boleh buat, kini Rudi harus mencari pekerjaan lain. Satu dua surat lamaran kerja ia kirim melalui bursa kerja online. Berharap salah satu perusahaan memanggilnya untuk wawancara kerja. Sambil menunggu panggilan, ia lebih sering menghabiskan waktu di balkon apartemen untuk melukis. Menyalurkan hobi yang sudah lama ia tinggalkan karena kesibukan kerja sebagai seorang freelancer.
***
Wayan sangat sedih mendengar kabar kematian adiknya yang terlalu cepat. Siang itu ia mendapat pesan singkat dari pihak Rumah Sakit Sanglah bahwa Anak Agung Ayu Maharani akan segera diberangkatkan ke rumah duka menggunakan ambulans. Mereka memerintahkan Wayan untuk segera mempersiapkan pemakaman adiknya. Sesuai dengan standar WHO, hanya dua anggota keluarga saja yang diperbolehkan mengantar jenazah. Wayan menyanggupinya.
"Terimakasih atas semuanya."
"Sama-sama. Ini sebagian barang milik almarhum. Sisanya bisa Bapak ambil di rumah sakit. Silakan menghubungi bagian humas."
Wayan mengangguk.
Seminggu kemudian Wayan mendatangi Rumah Sakit Sanglah. Masker kain berwarna hijau menutup separuh wajahnya. Dengan diantar petugas keamanan rumah sakit, ia berjalan menuju tempat kerja adiknya.