Mohon tunggu...
Choirul Rosi
Choirul Rosi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Cerita kehidupan yang kita alami sangat menarik untuk dituangkan dalam cerita pendek. 🌐 www.chosi17.com 📧 choirulmale@gmail.com IG : @chosi17

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Teana - Sabra (Part 25)

16 September 2018   09:37 Diperbarui: 16 September 2018   10:12 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pasar Sabra ramai sekali pagi itu. Matahari bersinar cukup hangat. Banyak sekali pedagang mulai menjual barang dagangan mereka tanpa merasa takut akan muncul kerusuhan ataupun penjarahan seperti dulu. Aneka jenis buah -- buahan dan sayuran tersedia. Karpet warna - warni bermotif khas Timur  Tengah tergantung rapi di tembok -- tembok. Mantel dari berbagai macam bulu hewan tersedia. Semua ditawarkan dari harga yang murah hingga paling mahal.

Suasana pasar cukup ramai. Alunan musik buzuq -- alat musik Timur Tengah yang menyerupai gitar -- dimainkan dengan sangat indah oleh seorang lelaki muda di salah satu sudut pasar membuat suasana pagi itu makin meriah. Para wanita yang sedang berbelanja di pasar ikut bergoyang dan menari saat melewati pemain buzuq yang tampan itu. 

Pemain buzuq yang saat itu mengenakan jubah hijau dan sorban hitam berbulu merak terlihat tersenyum ketika wanita -- wanita itu melempar koin emas kedalam cawan kecil yang ada diatas karpet yang ia gelar didepannya.

Beberapa kedai penduduk yang hancur sudah diperbaiki oleh pihak kerajaan. Tua muda pria dan wanita berkumpul disana untuk merayakan kegembiraan ini. Mereka minum sari buah dan arak berbagai rasa untuk memuaskan dahaga mereka.

Di setiap sudut pasar terlihat beberapa prajurit kerajaan. Para prajurit itu memakai baju besi dengan membawa perisai di tangan kiri dan tombak di tangan kanan. Mereka sedang mengawasi para pengunjung Pasar Sabra. Sebagian dari mereka berjalan -- jalan menyusuri lorong -- lorong pasar untuk menjaga keamanan.

"Ramai sekali pasar ini."

"Benar Tuan. Hamba dengar pihak kerajaan mulai memperketat penjagaan di Pasar Sabra ini."

"Benarkah? tanya Teana. "Mengapa disana banyak sekali prajurit Almeera?" sambungnya.

"Setahu saya, penjagaan keamanan disini dilakukan dua kali. Pagi dan malam, mungkin para prajurit itu sedang bertugas Tuan. Sebab kerajaan tidak ingin terjadi kerusuhan lagi seperti du....."

"Almeera....." ucap Teana memotong cerita Almeera.

"Ada apa Tuan?"

"Sepertinya kau harus menarik perkataan yang baru saja kau ucapkan itu." jawab Teana. Kemudian dengan langkah cepat ia pergi meninggalkan Almeera.

"Tuan... Tunggu..." teriak Almeera mengikuti Tuannya.

Teana berlari mendekati sumber kekacauan itu. Dua orang sedang bersitegang satu sama lain. Terdengar teriakan dari kejauhan.

"Berikan koin emas yang kau punya, atau aku akan membakar kedai milikmu ini."

"Aku tidak akan memberikan koin emas ini. Lebih baik kau pergi saja." ucap si penjual dengan lantang. Ia tak takut sedikitpun.

"Beraninya kau melawanku." balas laki -- laki berjubah hitam itu dengan suara yang tidak begitu jelas karena wajahnya tertutup burka.

"Le... Lepaskan aku." teriak si penjual sambil meronta -- ronta. Nyali si penjual mendadak ciut ketika lelaki itu mencengkeram kuat lehernya.

Dua orang prajurit yang sedang berjaga tidak jauh dari tempat itu segera mengendalikan keadaan. Mereka menghunuskan tombak kepada lelaki berjubah hitam agar ia melepaskan cengkeramannya. Namun sebelum mata tombak itu menyentuh kulitnya, ia dengan cepat menangkisnya hingga membuat kedua prajurit itu tersungkur diatas tanah. Teana segera menolong mereka untuk bangun.

"Lepaskan dia..." teriak Teana lantang.

"Siapa kau berani berteriak kepadaku?"

"Kau tidak perlu tahu siapa aku. Lepaskan dia dan lawanlah aku." tantang Teana.

Lelaki berjubah hitam itu melepaskan cengkeraman tangannya. Tubuh si penjual terjerembab diatas keranjang buah miliknya. Ia menarik napas dalam -- dalam setelah hampir tiga menit tidak bisa bernapas karena lehernya tercekik. Semua orang yang ada di sekitar kedai itu menghentikan kesibukan mereka masing -- masing. Suasana pasar seketika berubah menjadi tegang.

Dengan penuh amarah, lelaki berjubah hitam itu berjalan mendekati Teana. Teana menyambutnya dengan tangan mengepal siap untuk menyerang. Ketika ia hampir mendekat, tiba -- tiba Teana merasakan udara yang cukup panas memancar dari lelaki itu. Ia merasakan sebuah kekuatan aneh yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dalam pandangannya yang samar, Teana melihat tubuh lelaki berjubah hitam itu dipenuhi oleh sisik ular. Kepala lelaki berjubah hitam itu berubah menjadi kepala ular dengan lidah mendesis menjulur -- julur keluar dari mulutnya. Teana membelalakkan matanya seolah tak mempercayai penglihatannya. Ia mundur beberapa langkah. Pikirannya tiba -- tiba kacau. Teana tidak bisa memutuskan apa yang harus ia lakukan. Dengan posisi siap menyerang, Teana mengamati keadaan sekitarnya sambil memikirkan langkah yang akan ia ambil.

 "Bereisheet bara elohim Et hashamayim ve'et haaretz

Vayavdel Elohim veyn ha or uveyn hachoshech"

Sebuah suara yang tidak asing bagi Teana tiba -- tiba  menggema didalam telinganya. Suara itu terucap dengan sangat jelas dan berulang -- ulang. Seakan mengerti bahwa ini adalah sebuah pertanda, pelan -- pelan mulut Teana menirukan suara yang ia dengar itu. Mendadak lelaki berjubah hitam didepannya menutup kedua telinganya sambil berteriak kesakitan. Tak lama setelah itu ia menggelepar -- gelepar diatas tanah seperti cacing kepanasan. Lalu ia lenyap bersamaan dengan asap hitam pekat yang mengepul ke udara.

Para pengunjung pasar hanya bisa terdiam ditempat mereka. Rasa takut bercampur bingung terlihat jelas di wajah mereka. Setelah keadaan mulai aman, mereka mengerumuni jubah hitam yang tertinggal ditengah -- tengah pasar itu. mereka takjub dan heran dengan kejadian yang baru saja mereka lihat. Sebagian dari mereka nampak memegang -- megang jubah itu untuk memastikan apakah lelaki itu telah mati. Namun mereka tidak menemukan jasad lelaki itu. Sebagian lainnya bersujud menyebut -- nyebut nama Dewa Dhushara. Berdo'a meminta perlindungannya. Teana mengambil kotak yang tergeletak tidak jauh dari tempatnya. Lalu ia berjalan menuju salah satu kedai.

"Periksa kembali apakah ada yang hilang." ucap Teana setelah menyerahkan kotak itu.

"Terimakasih Tuan, terimakasih banyak." balas si penjual.

      Setelah itu ia pergi untuk melanjutkan perjalanannya menemui Peramal Simkath. Ketika hendak memasuki lorong pasar, Teana melihat sekelebat bayangan terbang diatasnya. Lalu ia mendengar suara.

"Berhati -- hatilah Tuan, musuh sedang mengincarmu."

Teana menatap keatas sambil tersenyum.

"Terimakasih atas pertolonganmu Dalath." gumam Teana dalam hati.

Dalath lenyap dari pandangan Teana.

"Mmm... Tuan tadi hebat sekali. Tanpa menyentuhnya, Tuan telah mengalahkan lelaki itu."ucap Almeera sambil berjalan disamping Teana.

Teana hanya tersenyum mendengar ucapan Almeera. Ia kini mulai menyadari bahwa ia telah benar -- benar memiliki sebagian kekuatan Dalath. Sebuah kekuatan yang ia sendiri belum tahu untuk apa kekuatan itu. Dan mengapa Dalath memberikan kekuatan itu kepadanya.

***

Hari mulai siang. Matahari bersinar sangat panas. Teana dan Almeera berjalan menyusuri lorong pasar sambil mengenakan kerudung untuk menghindari panas menembus kulit mereka. Setelah melewati beberapa tikungan, akhirnya mereka sampai di tempat Peramal Simkath. Tempat itu cukup sepi. Jauh dari keramaian pasar. Beberapa pohon kurma tumbuh subur di dekat sebuah kandang unta. Membuat suasana di tempat itu nampak teduh. Tidak jauh dari kandang unta, terdapat sebuah sumur kecil yang tanah disekitarnya terlihat basah. Seseorang baru saja mengambil air dari sumur itu.

"Sepertinya peramal itu ada didalam Tuan," ucap Almeera pelan.

"Iya kau benar Almeera." jawab Teana.

Mereka berdua mengetuk pintu rumah Peramal Simkath. Tak lama kemudian terdengar suara menyahut dari dalam. Lalu mereka masuk.

                "Ada apa kalian datang kemari?" tanya Simkath.

Ketika mereka bertiga saling berhadapan, Teana merasa kaget melihat wajah Simkath. Seketika itu tubuhnya merasakan aura panas yang sama dengan saat ia berhadapan dengan lelaki berjubah hitam di Pasar Sabra tadi. Namun ia tetap bersikap tenang. Ia menceritakan semua yang ingin ia tanyakan kepada Simkath. Dengan mata menyipit, Simkath mendengarkan seluruh cerita yang disampaikan oleh Teana. Mereka bertiga terlibat dalam sebuah percakapan yang cukup serius hingga tak terasa matahari hampir tergelincir ke arah Barat.

"Baiklah Tuan Simkath, terimakasih atas petunjukmu." ucap Teana.

"Sama -- sama. Jika kalian membutuhkan bantuanku lagi, kalian bisa menemukanku disini." balas Simkath pelan.

"Almeera, berikan koin emas itu." perintah Teana kepada Almeera.

"Baik Tuan." ucap Almeera sambil mengeluarkan bungkusan kecil dari balik jubahnya.

Sekantung koin emas telah diterima oleh Simkath.

"Terimakasih banyak." ucap Simkath setelah menerima kantung itu.

"Baiklah Tuan Simkath, kami pergi dulu."

***

Teana tidak bisa tidur nyenyak. Tubuhnya terasa letih. Diluar udara sangat dingin. Ia meminta Almeera untuk membuatkannya secangkir air hangat dengan beberapa tetes Myrrh serta madu.

Sementara Almeera membuatkan minuman, Teana membolak -- balik gulungan kulit unta yang belum selesai ia baca sejak kemarin. Beberapa batang lilin yang telah habis berjejer diatas meja disebelah ranjang Teana. Ia mempelajari berbagai macam ramuan obat dengan serius. Tak lama kemudian Almeera datang sambil membawa minuman untuk Teana.

"Ini Tuan, minumlah selagi hangat agar Tuan merasa segar kembali. Hamba telah mencampurkan sedikit rempah -- rempah didalamnya."

"Terimakasih Almeera."

Teana meminumnya seteguk demi seteguk.

Almeera merapikan gulungan kulit unta yang tercecer diatas ranjang Teana. Ia menyusunnya diatas meja. Lalu ia mengambil cangkir Teana dan meletakkannya disamping tumpukan gulungan berisi tulisan ramuan obat -- obatan itu.

"Tuan terlihat serius sekali, apakah Tuan hendak membuat ramuan Myrrh yang baru?"

"Tidak Almeera, aku hanya ingin membacanya saja." jawab Teana singkat.

"Ooh..." balas Almeera sambil membuka gulungan kulit unta yang lain.

Teana menegakkan posisi duduknya lalu meletakkan gulungan kulit unta disampingnya.

"Almeera, bisakah kau ambilkan batu yang mirip dengan patung Dewa Dhushara itu?"

"Dimana Tuan?"

"Aku menyimpannya dibawah tempat tidurku. Tolong ambilkan."

"Baik Tuan."

Teana mengamati dengan cermat batu berbentuk persegi di tangannya. Ia meraba -- raba batu itu sambil membandingkan bentuknya dengan pahatan yang ada didalam Kuil Ad Deir yang selama ini ia sembah. Pahatan berbentuk wajah Dewa Dhushara yang juga disembah oleh penduduk Kota Petra selama puluhan tahun.

Dengan kecerdasan yang ia miliki, ia menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan sedikitpun antara kedua pahatan. Semuanya mirip satu sama lain. Sehingga ia tidak bisa membuktikan kebenaran ucapan Peramal Simkath hanya dengan melihat bentuk luar pahatan itu. Ia harus melakukan sesuatu untuk menjawab misteri dibalik ramalan Peramal Simkath.

Ketika mengamati pahatan wajah Dewa Dhushara di tangannya, Mata Teana mendadak tertuju pada lubang kecil berbentuk segitiga yang ada dibagian belakang patung. Ia baru sadar tentang keberadaan lubang itu. "Untuk apa lubang ini?" gumam Teana kemudian. Lalu ia membungkus kembali patung itu dan meletakkan dipangkuannya.  

"Almeera, ada sesuatu yang ingin aku tanyakan kepadamu."

"Iya Tuan, ada apa?"

"Apakah kau percaya dengan semua ucapan peramal tadi?"

"Sedikit banyak hamba percaya Tuan, sebab orang -- orang yang pernah datang kepadanya mengatakan bahwa ramalannya selalu tepat."

"Termasuk ramalannya tadi pagi? Ramalannya tentang patung Dewa Dhushara? Ramalan yang lebih seperti cerita dongeng itu?"

"Soal itu hamba tidak tahu Tuan." balas Almeera singkat.

"Menurutmu, aku harus bagaimana?"

"Sesuai apa yang dikatakan Peramal Simkath, lebih baik Tuan memeriksa patung Dewa Dhushara di Kuil Ad Deir untuk membuktikan kebenaran ucapannya."

"Almeera.... Pelankan suaramu." bisik Teana pelan. Aku tidak ingin ada yang mengetahui ini semua. Kau paham?"

"Iya Tuan. Maaf."

"Baiklah, saranmu cukup bagus. Besok pagi kita akan pergi ke Kuil Ad Deir. Dan aku akan membuktikannya sendiri."

"Baik Tuan. Sebaiknya Tuan segera tidur.  Tuan harus istirahat. Hari sudah larut malam. Biar hamba yang menyuruh Shahed untuk mempersiapkan unta kita besok pagi."

"Iya Almeera, terimakasih. Kau juga harus istirahat. Selamat malam Almeera." balas Teana sambil tersenyum kepada Almeera.

"Selamat malam Tuan."

***

Pagi itu udara cukup dingin dan berkabut. Matahari belum muncul sempurna. Suasana Penginapan Al Anbath masih sepi.

Setelah memeriksa kembali sekeranjang buah -- buahan dan beberapa ikat dupa Myrrh, Teana dan Almeera bersiap berangkat menuju Kuil Ad Deir. Buah -- buahan dan dupa Myrrh itu nantinya akan mereka gunakan sebagai persembahan kepada Dewa Dhushara disana.

Kemal dan Shahed berdiri menunggu di depan pintu penginapan . Mereka telah mempersiapkan dua ekor unta sejak semalam. Lalu Teana dan Almeera berjalan menuju unta yang diikat dibawah pohon kurma tak jauh dari pintu masuk penginapan. Dengan sigap Teana menaiki unta miliknya. Namun tidak halnya dengan Almeera, ia nampak kesulitan, sebab jubah yang ia kenakan membelit kakinya. Melihat hal itu, Shahed bergegas menolong Almeera.

"Peganglah tanganku." ucap Shahed sambil memegang tali kendali unta dan mengulurkan tangannya.

"Terimakasih Shahed." ucap Almeera tersipu malu. Wajahnya memerah.

"Berhati -- hatilah." pesan Shahed kepada Almeera.

"Iya, terimakasih." balas Almeera. Mereka berdua saling bertatapan. Lalu Shahed mencium punggung tangan Almeera.

Teana hanya bisa tersenyum dari atas untanya. Kemudian Teana memanggil pengikutnya itu.

"Almeeraaaa....."

"Iii... iya Tuan." balas Almeera. "Aku pergi dulu Shahed." ucap Almeera lirih.

"Iya Almeera." balas Shahed.

Mereka berdua berangkat ketika Penginapan Al Anbath mulai terlihat ramai. Satu persatu para pedagang yang menginap disana menata barang dagangan mereka untuk mereka jual di Pasar Sabra. Matahari terlihat sedikit bersinar pagi itu. Penginapan Al Anbath nampak hidup kembali.

***

Sementara itu di Kota Hegra, Taw masih menyimpan dendam kepada orang yang telah melukainya. Ia tidak bisa menerima kekalahannya itu. Luka di lengan kanannya memang telah mengering sedikit demi sedikit dan menimbulkan bekas sayatan yang cukup lebar. Namun ia masih tidak bisa menerima kenyataan bahwa seorang pemimpin Bangsa Bawah telah dikalahkan oleh seorang Bangsa Manusia. Taw harus membalaskan dendamnya ini untuk menebus harga dirinya yang telah diinjak -- injak oleh Bangsa Manusia.

"Aku harus membalas kekalahanku ini." Taw bersumpah dalam hatinya.

***

Teana dan Almeera akhirnya tiba di Kuil Ad Deir. mereka memasuki kuil seperti biasa. sebelum melangkah kedalam, mereka menata jubah dan memakai kerudung mereka, membawa keranjang buah -- buahan dan dupa Myrrh yang telah mereka siapkan sebelumnya. Para pria dan wanita berjubah berlalu -- lalang memasuki kuil dengan aneka persembahan untuk Dewa Dhushara di tangan mereka.

"Silakan masuk Tuan." sambut penjaga kuil dengan ramah sambil menundukkan kepala memberi hormat. Teana membalasnya, kemudian ia masuk kedalam kuil bersama Almeera.

"Hari ini ramai sekali Almeera."

"Benar Tuan, sepertinya sedang ada ritual pemujaan untuk Dewa Dhushara Tuan." jawab Almeera sambil memandang sekeliling ruangan didalam kuil.

"Apakah kau siap Almeera?" tanya Teana menatap wajah Almeera. Demikian pula Almeera.

"Iya Tuan, hamba akan membantu Tuan agar bisa mendekat ke patung itu." balas Almeera dengan sepenuh hati. Teana mengangguk tanda mengerti.

Seperti kebiasaan penduduk Kota Petra, sebelum melakukan ritual, mereka meletakkan persembahan mereka terlebih dulu. Persembahan itu diletakkan diatas meja altar tepat dibawah patung Dewa Dhushara yang terletak didalam ceruk dinding kuil. Di sebelah kiri kanan patung, tergantung dua buah kendi berukuran sedang untuk menancapkan dupa.

Teana mulai mencari tempat untuk berdo'a. Ia berdiri tidak jauh dari patung Dewa Dhushara. Dilihatnya ada dua orang pendeta yang berdiri tak jauh dari meja altar sedang mengawasi orang -- orang yang berdo'a didalam kuil. Ia memutar otaknya agar bisa mendekat dan menyentuh patung itu. Hingga akhirnya ia mendapat sebuah cara.

"Almeera, pergilah berbicara kepada kedua pendeta itu. Alihkan perhatian mereka. Sebisa mungkin kau ajak mereka untuk sedikit menjauh dari meja altar agar mereka tidak melihatku." bisik Teana.

"Baiklah Tuan, akan hamba coba." jawab Almeera dengan yakin.

Rencana itupun mulai dijalankan oleh mereka. Almeera dengan membawa sekeranjang buah -- buahan berjalan mendekati dua orang pendeta yang sedang berdiri di dekat meja altar. Teana mengawasi gerak -- gerik Almeera tidak jauh dari meja altar. Ia mempersiapkan dupa miliknya. Dilihatnya Almeera nampak asyik berbicara serius dengan kedua pendeta itu. Terkadang pembicaraan mereka diiringi dengan tawa kecil. Tak berapa lama, Almeera berhasil mengajak kedua pendeta untuk pergi menjauh dari meja altar. 

Mereka bertiga berjalan menuju pintu Kuil Ad Deir. Sambil berjalan keluar dan membetulkan kerudungnya, Almeera memberi tanda dengan mengedipkan matanya kepada Teana. Teana mengangguk. Tak menunggu lama, Teana berdiri mendekati meja altar. Ia mengambil sisa dupa Myrrh yang masih menyala didalam kendi lalu menyulutkan dupa itu ke dupa miliknya. Setelah dupa miliknya menyala, kembali ia mengamati keadaan di sekelilingnya. Semua orang sedang khusyuk berdo'a. Kesempatan ini tidak disia -- siakan oleh Teana. Segera ia menancapkan dupa miliknya kedalam kendi dengan hati -- hati.

Teana menggunakan jubahnya untuk menutupi patung Dewa Dhushara dari pandangan orang -- orang yang sedang berdo'a dibawah meja altar. Lalu Teana membalikkan patung yang kini berada dalam genggamannya dengan gerakan cepat. Betapa terkejutnya ia ketika melihat patung itu. Dalam keremangan cahaya didalam kuil, ia masih bisa melihat dengan jelas bahwa bagian belakang pahatan patung Dewa Dhushara berbeda dengan pahatan patung yang ia miliki. Patung Dewa Dhushara di Kuil Ad Deir tidak memiliki lubang berbentuk segitiga. Namun Teana berusaha untuk tetap tenang walau hatinya sedikit berdebar -- debar. Ia mengembalikan patung itu ke posisinya. Lalu kembali ke tempatnya semula dan berdo'a bersama yang lain. Seolah -- olah tidak pernah terjadi apa -- apa.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun