Mohon tunggu...
Choirul Rosi
Choirul Rosi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Cerita kehidupan yang kita alami sangat menarik untuk dituangkan dalam cerita pendek. 🌐 www.chosi17.com 📧 choirulmale@gmail.com IG : @chosi17

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Teana - Ad Dar Al Hamra (Part 22)

20 Agustus 2018   07:36 Diperbarui: 21 Agustus 2018   05:13 877
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penginapan Al Anbath terlihat ramai. Para pedagang bersiap -- siap untuk memulai aktivitas mereka. Setelah sarapan, rombongan Tuan Ghalib segera berkemas -- kemas. Pagi ini juga mereka harus berangkat menuju Kota Hegra untuk melaporkan keadaan Kota Petra.

"Rashad, apakah semuanya sudah siap?" tanya Tuan Ghalib.

"Sudah Tuan, semua rombongan siap menunggu perintah Tuan."

"Baiklah, segera kau siapkan untaku."

"Baik Tuan, tapi sebelumnya, hamba ingin berbicara kepada Teana Tuan. Ada sesuatu yang ingin hamba sampaikan padanya."

"Baik. Silakan. Aku tunggu kau diluar."

Setelah berbicara kepada Tuan Ghalib, Rashad segera menemui Teana.

"Jadi Ayah akan berangkat sekarang?"

"Benar anakku, masih banyak urusan yang harus Ayah selesaikan disana."

"Apakah aku boleh ikut?"

Rashad menatap kedua mata anaknya itu.

"Apa Ayah tidak salah dengar? Kau ingin ikut bersama rombongan Ayah? Bagaimana dengan  urusanmu disini? Bukankah kemarin kau bilang sedang ada masalah? tanya Rashad.

"Ayah benar. Tapi itu sudah aku selesaikan. Aku telah menyerahkan urusan penjualan Myrrh kepada Almeera. Ia bisa mengatasinya."

"Lalu....?"

"Ya aku akan ikut Ayah pulang."

"Bukan itu maksud Ayah, maksud Ayah adalah jika kau sudah berada di Kota Hegra, apa yang hendak kau lakukan disana anakku?"

"Aku akan membantu Ayah untuk mengatasi kerusuhan di Kota Hegra." ucap Teana meyakinkah Ayahnya.

Melihat keseriusan Teana, Rashad merasa tidak tega untuk menolak permohonan anaknya itu. Dan akhirnya mereka berdua memutuskan untuk pulang ke Kota Hegra bersama -- sama.

"Terimakasih atas bantuanmu anakku."

"Iya Ayah, aku senang melakukannya. Bukankah Ayah pernah bilang bahwa hidup itu harus bermanfaat? Bermanfaat bagi orang lain dan orang -- orang di sekitar kita." ucap Teana sambil tersenyum kepada Ayahnya.

"Ayah sangat bangga kepadamu anakku." balas Rashad sambil memeluk dan mencium kening anaknya itu.

Setelah itu, Teana meminta izin Ayahnya untuk berpamitan kepada Almeera.

***

Pagi itu udara cukup dingin. Kota Petra diselimuti kabut. Aktivitas penduduk belumlah nampak. Matahari belum terlihat muncul di langit.

Dalam keheningan suasana Kota Petra, Penginapan Al Anbath terlihat sibuk. Beberapa pedagang yang masih berbalut jubah tebal dan selendang melingkari leher, sedang sibuk merapikan barang dagangan mereka. Tak ketinggalan juga rombongan Tuan Ghalib yang  telah bersiap untuk meninggalkan penginapan.

"Almeera, jangan lupa pesanku semalam. Kau harus bisa melayani semua pelanggan kita dengan baik. Apapun yang terjadi, mereka adalah raja bagi kita. Jangan pernah mengecewakan pelanggan kita Almeera."

"Iya Tuan, hamba paham pesan Tuan. Lekaslah kembali Tuan." ucap Almeera. Lalu ia menyerahkan bungkusan kain berisi keperluan majikannya itu.

"Tentu Almeera." jawab Teana.

Tak lama kemudian, prajurit kerajaan melapor kepada Tuan Ghalib bahwa semua barang telah mereka kemasi. Tuan Ghalib segera memerintahkan anak buahnya untuk berangkat  menuju Kota Hegra.

***

Dalam perjalanan menuju Kota Hegra, Teana tidak pernah jauh dari Ayahnya. Ia selalu berada disamping unta milik Ayahnya. Sepanjang perjalanan itu terasa menyenangkan bagi Teana. Sebab banyak hal yang diceritakan oleh Ayahnya yang selama ini belum pernah ia dengar. Termasuk kekacauan yang sedang terjadi di Kota Hegra.

"Jadi dalam beberapa bulan terakhir ini keadaan Kota Hegra kacau?"

"Benar, lebih tepatnya mencekam. Keadaan Kota Hegra mulai tidak aman bagi para penduduk. Hampir di penjuru kota selalu ada kejadian aneh setiap hari."

"Kejadian apa itu?" tanya Teana penasaran.

Rashad terdiam, sambil memegang tali kendali untanya, ia menatap mata anaknya itu.

"Sebaiknya kau lihat sendiri nanti." ucap Rashad singkat. Teana mengangguk.

Matahari mulai naik. Saat rombongan Tuan Ghalib memasuki Kota Ma'an, mereka sepakat berhenti sejenak untuk mengisi kantung -- kantung air mereka. 

Sebagian rombongan mulai nampak kehausan juga. Sehingga mereka mencari air di kota yang tidak terlalu banyak penduduknya itu. Setelah cukup beristirahat dan memberi minum unta mereka, rombongan itu kembali melanjutkan perjalanan menuju Kota Tabuk sebelum akhirnya sampai di Kota Hegra.

"Ayo... Kita berangkat lagi!" seru Tuan Ghalib.

"Baik Tuan."

Unta -- unta mulai nampak segar kembali. Mereka berjalan pelan meninggalkan Kota Ma'an. Sebagian orang mulai mengenakan cadar masing -- masing. Sebab udara padang pasir mulai tidak bersahabat. Angin berhembus cukup kencang. Keadaan itu berlangsung terus menerus hingga akhirnya mereka sampai di pemukiman Ad Dar Al Hamra.

Kedatangan mereka di Ad Dar Al Hamra disambut oleh segerombolan lelaki berjubah gelap dan memakai burka. Gerombolan itu berjumlah lima orang dengan tubuh yang tinggi besar. Saat itu hari mulai sore.

"Berhenti, siapa pemimpin rombongan ini?" tanya salah seorang dari mereka dengan suara cukup keras.

"Maaf Tuan, kami dari Kota Petra, kami akan melanjutkan perjalanan kami ke Kota Hegra. Mohon Tuan -- tuan memberi kami jalan." ucap Tuan Ghalib.

"Tentu, kami akan membiarkan kalian lewat setelah kalian membayar beberapa koin emas kepada kami. Aku lihat kalian bukan pedagang biasa. pasti koin emas kalian sangat banyak."

Melihat gelagat yang kurang enak, Tuan Ghalib dan Rashad saling beradu pandang. Lalu Tuan Ghalib turun dari untanya. Pikiran mereka sama. Mereka harus waspada. Sehingga tanpa diperintah, anak buah Tuan Ghalib sudah menyiapkan jambia milik mereka. Sebuah  pisau belati kecil yang melengkung pendek.  Jambia itu selalu mereka selipkan dibalik jubah mereka.

"Maaf Tuan, kami tidak banyak memiliki koin emas, hanya ini yang kami punya." ucap Tuan Ghalib setelah menyerahkan tiga keping koin emas miliknya.

"Ini sangat sedikit. Berikan semua koin emas yang kalian punya!" bentak salah seorang gerombolan itu.

"Maaf Tuan,kami tidak bisa." ucap Tuan Ghalib.

Penolakan Tuan Ghalib telah membuat lelaki itu kesal. Tanpa diperintah, keempat lelaki itu menyerang Tuan Ghalib. Rashad dan beberapa anak buahnya turun dari unta untuk memberikan bantuan. Pertarungan pun terjadi. Bunyi pedang dan jambia terdengar riuh. Debu -- debu beterbangan. 

Mereka saling menyerang satu sama lain di sebuah lembah di padang pasir yang mulai gelap. Teana hanya diam tidak memberikan bantuan, sebab ia tahu bahwa Ayahnya dan Tuan Ghalib bisa mengatasi kelima lelaki berjubah itu. Ia hanya diam mengamati dari atas unta miliknya.

"Apakah Ayah dan Tuan Ghalib baik -- baik saja?" tanya Teana sesaat setelah gerombolan itu kabur melarikan diri.

"Ayah dan Tuan Ghalib baik -- baik saja."

"Benar Teana, aku baik -- baik saja." sahut Tuan Ghalib.

Teana mengangguk. Namun tiba -- tiba ia berubah menjadi cemas setelah melihat lengan Ayahnya.

"Ini apa Ayah? Ia menarik lengan Ayahnya. Lengan Ayah terluka?"

"Oh ini?, Ayah tidak terluka. Ini hanyalah darah.  Tadi Ayah sempat melukai salah seorang diantara mereka.

"Tapi Ayah, mengapa warnanya berbeda? Tidak berwarna merah seperti darah. Dan baunya..."

"Kau ada -- ada saja, ini darah mereka anakku, bisa jadi warnanya berubah kecoklatan karena jubah Ayah yang berwarna gelap. Sudahlah, jangan kau berpikir macam -- macam. Yang terpenting kita semua selamat. Ayo kita lanjutkan perjalanan kita. Hari sudah mulai gelap."

"Baik Ayah." ucap Teana pelan. Namun perasaannya berkata bahwa sesuatu yang ganjil telah terjadi.

***

Kedatangan rombongan Tuan Ghalib disambut hangat oleh para pembesar Kerajaan di gerbang Barat Kota Hegra. Tepat saat malam tiba, mereka telah memasuki kota. Sehingga Tuan Ghalib membubarkan rombongan.

"Kalau begitu aku pamit dulu Rashad, selamat beristirahat." ucap Tuan Ghalib.

"Baik Tuan, terimakasih atas semuanya."

"Sama -- sama."

Setelah kepergian Tuan Ghalib, Teana dan Rashad berjalan sambil menuntun unta mereka. Mereka menyusuri jalanan Qasr Al Binth yang nampak lengang. Sepanjang perjalanan, obor -- obor menyala terang menghiasi jalanan.

"Kita sudah sampai, kau masuklah duluan. Biar Ayah menyuruh Kishwar untuk memasukkan unta kita ke kandang."

"Baik Ayah."

Di dalam rumah, Aairah menunggu dikamarnya. Bersama Hamra, ia membuat ramuan minuman berbahan rempah kesukaan Rashad.

Sementara itu, dengan langkah pelan Teana memasuki rumah yang cukup lama ia tinggalkan. Ia mencari keberadaan ibunya. Hingga akhirnya...

"Ibuuuu...." ucap Teana lembut sambil memeluk Aairah dari belakang.

"Oh Dewa.... Akhirnya kau pulang juga anakku." ucap ibunya penuh haru. Kedua wanita itu berpelukan satu sama lain.

 Suasana malam itu begitu membahagiakan. Sebuah keluarga kini telah lengkap berkumpul. Setelah hampir setahun kepergian Teana ke Kota Petra, kini ia kembali ke rumahnya. Aairah nampak bahagia bisa berjumpa kembali dengan Teana. Tak berselang lama, Rashad datang. Ia bergabung dengan mereka. Saling menumpahkan kerinduan masing -- masing. Hingga tak terasa hari mulai larut malam.

"Istirahatlah anakku. Kau pasti lelah."

"Iya bu nanti dulu. Aku masih ingin berbicara dengan ibu. Oh iya, dimana Galata? Mengapa aku tidak melihatnya? Apakah ia sudah tidur?"

"Sepertinya begitu. Ia pasti kelelahan karena tadi siang ibu menyuruhnya membeli barang -- barang kebutuhan kita di Qasr Al Farid. Jika kau ingin berbicara dengannya, lebih baik besok saja. Sekarang kau tidurlah." ucap Aairah sambil mengelus rambut Teana.

"Iya bu, tapi malam ini aku ingin tidur bersama ibu. Biar Ayah tidur di kamar yang lainnya. Boleh kan?"

"Tentu saja boleh. Tapi sebelum itu kau bersihkan dulu badanmu." sahut Rashad.

"Baik Ayah."

Mereka bertiga saling tersenyum.

***

Malam mulai larut. Teana telah tertidur nyenyak bersama ibunya. Rashadpun demikian. Perjalana yang cukup panjang telah membuat mereka lelah. Namun tiba -- tiba terdengar beberapa suara gaduh dilura. Nampak tiga orang prajurit membunyikan lonceng peringatan sambil berkeliling Qasr Al Binth.

"Bahaya... Bahaya... telah terjadi pembunuhan. Lelaki itu berteriak sekencang -- kencangnya agar penduduk terbangun.

"Waspadalah, malam ini telah terjadi pembunuhan di Al Khuraimat. Seorang pendeta telah terbunuh."

Mendengar berita itu, seketika itu juga Rashad terbangun. Ia bergegas keluar rumah untuk memastikan kebenaran berita itu. Setelah ia yakin, ia kemudian menyiapkan untanya. Malam itu juga ia berangkat menuju Al Khuraimat.

"Ayah.... Aku ikut."

"Aku juga Tuan."

Teana kaget mendengar suara Galata dari belakangnya. Ia menoleh. Galata tersenyum kepadanya.

"Baiklah, segera kalian ambil unta kalian." perintah Rashad.

Perjalanan menuju Al Khuraimat tidaklah lama. Sebab malam itu cukup sepi. Rashad berangkat bersama lima orang prajurit. Dengan penerangan tiga obor, mereka menyusuri padang pasir yang sangat sepi itu. Setelah sampai disana, Rashad segera melihat jasad sang pendeta. Teana dan Galata menyusulnya di belakang. Mereka bertiga mulai memasuki halaman kuil. 

Sebuah jasad tergeletak didepan pintu masuk kuil. Terbujur kaku dengan mulut menganga lebar. Tak ada yang berani menyentuhnya. Di sekujur tubuhnya terdapat ceceran darah segar yang membasahi jubah pendeta itu. Keadaan kuil terlihat gelap. Hanya sebuah obor menyala didepan pintu masuk kuil. Sehingga jasad sang pendeta tidak nampak jelas. Setelah turun dari untanya, Rashad berjalan mendekati jasad itu.

"Oh Dewa, ampunilah dosa pendeta ini." gumam Rashad.

"Apa yang Ayah lihat?" bisik Teana penasaran.

"Lebih baik kau lihat sendiri." jawab Rashad.

Rashad berjalan menemui penjaga kuil. Ia berbicara dengan penjaga itu panjang lebar. Setelah itu, ia menyuruh dua orang prajuritnya untuk segera mengurusi pemakaman sang pendeta. Malam ini juga ia harus dimakamkan. Penjaga kuil itupun mengangguk. Ia mengerti apa yang harus ia lakukan. Ia segera memasuki kuil. Setelah itu Rashad menemui Teana yang masih berdiri disamping jasad sang pendeta Al Khuraimat. Rashad memegang pundak anaknya itu.

"Ayah...." ucap Teana lirih sambil memegang tangan Rashad yang di pundaknya.

"Ada apa anakku? Seperti ada yang kau risaukan?" tanya Rashad.

"Ayah, warna darah jasad sang pendeta sama persis dengan warna darah di lengan Ayah. Aku merasa ada sesuatu yang aneh disini. Kematian sang pendeta menurutku tidak wajar."

"Kau masih memikirkan hal itu? Kau masih teringat -- ingat bau darah di lengan Ayah?"

"Ayah benar. Dan itu sangat menggangguku."

"Semua warna darah itu sama, semuanya berwarna merah. Ayah rasa tidak ada yang aneh."

"Baunya...." jawab Teana singkat.

"Kenapa dengan baunya?"

"Bau darah di tubuh jasad sang pendeta persis sekali dengan bau darah di lengan Ayah kemarin. Aku tidak salah mengenali bau itu."

"Memangnya kenapa dengan bau darah?"

"Darah yang ini bukanlah darah manusia Ayah."

"Maksudmu?"

"Ayah tunggu sebentar."

Kemudian Teana berjalan menjauhi kuil. Ia menaiki bukit yang tidak terlalu curam. Sambil membawa ranting pohon kering, ia memasukkan ujung ranting itu kedalam sebuah lubang sebesar kepalan tangan manusia. Tapi sebelumnya, ia mengiris sedikit ujung jarinya dengan jambia, mengoleskan darahnya di ujung ranting itu. 

Tak menunggu lama, ranting itu seperti ada yang menariknya kedalam lubang. Dengan cekatan Teana menarik rantingnya. Seketika itu juga muncullah seekor ular padang pasir berwarna kecoklatan menggigit ujung ranting. Teana segera memegang kepala ular itu. Lalu ia membawanya kepada Ayahnya.

"Ayah, lihat apa yang aku peroleh."

"Untuk apa kau bawa ular itu? Hati -- hati gigitannya berbisa anakku." ucap Rashad cemas.

"Ayah tenang saja. Aku sudah terbiasa menghadapi ular seperti ini." jawab Teana singkat.

Teana segera memotong kepala ular itu dengan jambia miliknya. Darah mengucur ke atas pasir. sebelum darah itu habis, Teana menampung sedikit darah ular itu di telapak tangan kirinya. Lalu ia menyodorkan tangannya kepada Rashad agar Ayahnya bisa mencium bau darah ular itu. Dengan ekspresi heran, Rashad melakukan perintah Teana. Ia mencium bau darah di telapak tangan Teana. Ia mengernyitkan hidungnya. Bau tak sedap memenuhi lubang hidungnya.

"Cukup anakku... Cukup. Ayah tidak tahan baunya." ucap Rashad sambil menutupi hidungnya menggunakan burka miliknya.

"Apakah Ayah paham maksudku?"

"Iya, Ayah paham. Kau ingin membandingkan bau darah ular dengan bau darah jasad. Dan itu sama hasilnya. Sangat anyir."

"Bukan itu maksudku Ayah." ucap Teana sambil membersihkan darah di telapak tangannya menggunakan pasir.

"Lalu apa?"

"Aku menduga bahwa sang pendeta mati dibunuh. Dan pembunuhnya bukan manusia."

"Apa? Kau jangan membuatku panik anakku. Jangan membuat kesimpulan yang tidak beralasan."

"Tidak Ayah, aku tidak salah lagi. Ayah ingat waktu kita diserang di pemukiman Ad Dar Al Hamra kemarin?"

"Ya, Ayah ingat."

"Saat aku memegang lengan Ayah yang aku kira terluka itu, aku sempat mencium bau darah di lengan Ayah. Dan itu persis dengan bau darah di jasad sang pendeta dan juga ular ini."

Rashad terdiam. Sebagai seorang pegawai pencatat pajak Kerajaan Nabataea, Rashad selalu menggunakan pikiran logisnya. Ia tidak mau mengambil keputusan yang salah. Cukup lama ia memikirkan maksud ucapan anaknya itu. dan kini ia mulai paham.

"Jadi maksudmu adalah si pembunuh sang pendeta adalah seekor ular?"

"Tepat sekali ayah. Tapi aku tidak tahu ular jenis apa itu. sebab banyak sekali ular yang ada di padang pasir ini.

"Baiklah, simpan rahasia ini. cukup kau dan Ayah saja yang tahu. Jangan sampai para penduduk mengetahuinya. Ayah tidak mau menambah ketakutan mereka lebih banyak lagi."

"Baik Ayah."

Sebelum kembali, Rashad menemui penjaga Kuil Al Khuraimat. Memastikan bahwa upacara pemakaman sang pendeta telah siap.

"Iya Tuan, besok pagi kami akan membaringkan jasad sang pendeta diatas altar Al Djinn. agar Dewa Dhushara menerima jasadnya."

"Bagus Penjaga, kalau begitu kami pulang dulu."

"Hati -- hati Tuan."

"Terimakasih."

Dalam perjalanan mereka pulang, saat mereka berdua mulai meninggalkan halaman kuil, empat pasang mata mengawasi mereka berdua dari atas bangunan Al Khuraimat. Tatapan penuh kemarahan.

"Kita harus segera melapor kepada Yang Mulia Taw."

"Kau benar, Ayooo..."

Dua bayangan hitam nampak melesat menuruni tebing bukit.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun