Mohon tunggu...
Choirul Rosi
Choirul Rosi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Cerita kehidupan yang kita alami sangat menarik untuk dituangkan dalam cerita pendek. 🌐 www.chosi17.com 📧 choirulmale@gmail.com IG : @chosi17

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Teana - Kuil Singa Bersayap (Part 21)

1 Agustus 2018   14:31 Diperbarui: 1 Agustus 2018   15:09 949
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sore itu Kuil Al Khazneh mendadak gempar. Patung Dewi Uzza tergeletak di lantai kuil. Terjatuh dari tempatnya semula. Persembahan para penduduk berserakan dibawah meja altar. 

Buah, sayuran, daging kambing serta beberapa minuman anggur dalam cawan kecil tumpah.  Tidak jauh dari meja altar, sebuah guci keramik kebiru -- biruan pecah berhamburan. Abu dupa bertebaran di udara.

Nampak pintu barat mengalami kerusakan. Rantai untuk mengikat pintu terputus. Nampaknya akibat tebasan pedang. Sedangkan pintu selatan dan pintu utara masih dalam keadaan utuh.

"Apa yang telah terjadi?" tanya Pendeta Samad begitu tiba di pelataran kuil Al Khazneh.

"Maaf Tuan, sebaiknya Tuanku lihat sendiri di dalam."

Sore itu Pendeta Samad mendatangi kuil setelah menerima laporan dari penjaga kuil karena telah terjadi kekacauan disana.

Bagai terkena ribuan panah menembus kepalanya, Pendeta Samad berdiri ketakutan di depan pintu kuil. Keringat dingin menetes di dahinya.

"Rahasiakan kejadian malam ini. Jangan kau ceritakan kepada siapapun. Kau paham?" ucapnya malam itu kepada seorang prajurit. Malam ketika patung Dewa Dhushara lenyap dari Kuil Ad Deir.

Pikirannya seakan terbawa ke masa puluhan tahun silam. Suatu malam ketika patung Dewa Dhushara lenyap dari Kuil Ad Deir. Satu malam yang menyimpan sebuah rahasia yang hingga kini belum diketahui oleh penduduk Kota Petra.

Namun tiba - tiba seseorang menepuk bahunya, sehingga membuat Pendeta Samad kembali tersadar.

"Ah... I... Iya maaf. Ada apa?" tanya Pendeta Samad.

"Tuan sakit? Mengapa Tuan menjadi pucat begitu?"

"Tidak, aku baik -- baik saja. Mungkin karena cuaca sore ini yang begitu dingin. Sehingga membuat wajahku nampak pucat kedinginan." jawab Pendeta Samad terbata -- bata sambil menyapu keringat di dahinya dengan jubahnya.

"Benar Tuan, akhir -- akhir ini di Kota Petra cuacanya tidak seperti biasa. Siang hari bisa menjadi dingin, malam hari bisa menjadi berangin dan panas. Pertanda apakah ini? Semoga saja bukan pertanda buruk. Mari... Silakan masuk Pendeta."

Pendeta Samad diam membisu. Ia hanya bisa menelan ludah. Tak mampu membalas ucapan lelaki itu.

Dengan diantar penjaga Kuil Al Khazneh, Pendeta Samad melangkah masuk ke ruangan di dalam kuil. Ia menyuruh beberapa orang untuk membersihkan pecahan guci keramik. Dan ia sendiri segera mengembalikan patung Dewi Uzza ke tempatnya semula.

"Penjaga, segera siapkan keperluan ritual pemujaan untuk Dewi Uzza. Jangan lupa siapkan tiga ikat dupa Myrrh. Nyalakan semuanya. Letakkan di meja altar. Malam ini ritual harus segera dilaksanakan atau kita semua akan terkena kutukannya." ucap Pendeta Samad.

"Baik Tuan."

Dalam beberapa jam, ritual untuk Dewi Uzza -- sang Dewi Fajar -- mulai digelar.

***

Keesokan paginya, Kuil Singa Bersayap mendadak ricuh. Beberapa penduduk yang hendak melakukan ritual disana berteriak -- teriak ketakutan. Dari dalam kuil muncul puluhan ular hitam. Meliuk -- liuk diatas lantai kuil sambil mendesis.

Bahkan sebagian ular ada yang melilit leher patung singa bersayap yang terbuat dari logam berlapiskan emas. Penduduk merasa takut untuk memasuki kuil. Sehingga mereka memanggil beberapa orang prajurit untuk mengusir ular -- ular itu keluar dari kuil.

"Almeera, aku ingin segera kembali ke penginapan. Hari ini aku ingin mempersiapkan keperluan kita untuk berangkat ke Pulau Lycia. Kemana itu...." tanya Teana.

"Ke Kota Myra Tuan."

"Oh ya, Myra. Nama yang cantik. Semoga saja kita bisa mendapatkan banyak keuntungan disana."

"Semoga demikian Tuan." jawab Almeera singkat.

Mereka berjalan menyusuri jalan utama kota yang dipenuhi pilar -- pilar beton di samping kiri kanan jalan. Udara pagi itu tidak terlalu panas. Sehingga Teana membuka kerudungnya. Ia membiarkan rambutnya yang hitam panjang tertiup angin. Matanya yang biru sibuk mengamati orang -- orang disekitarnya.

Ketika mereka berjalan sampai di depan Kuil Singa Bersayap. Beberapa penduduk nampak berhamburan keluar. Membuat Teana dan Almeera menjadi heran.

"Ada apa ini? Mengapa banyak ular yang keluar dari kuil itu?"

"Tuan, sebaiknya kita pergi dari sini. Hamba tidak ingin kita terlibat masalah."

"Tapi Almeera, sebaiknya kita cari tahu didalam. Tidak ada salahnya kita kesana. Mungkin mereka membutuhkan bantuan kita."

"Taaa tapiii Tuan...."

Teana tidak mempedulikan ucapan Almeera. Ia berjalan berjingkat -- jingkat menaiki tangga dari batu pualam putih setinggi hampir tiga meter. Ia berusaha menaiki tangga kuil sambil menghindari ular agar tidak terinjak olehnya. 

Sedangkan Almeera mengikuti Teana dari belakang dengan perasaan takut bercampur jijik. Sesekali ia menyingkap jubahnya agar ia bisa menghindari ular -- ular itu.

"Tuaaaan... Tunggu aku!" teriak Almeera.

Teana dibuat terkejut setelah memasuki Kuil. Puluhan hewan melata itu saling bertindihan diatas meja altar, sebagian mendesis -- desis diatas lantai dan menuruni tangga masuk kuil.

Beberapa penduduk wanita yang sedang berdo'a terjebak di salah satu sudut ruangan. Mereka diam tak berkutik. Bergerak sedikit saja, nyawa taruhannya. Sebab ular -- ular itu sangat berbisa.

"Toloooong.... Tolong kami," teriak salah satu dari mereka."

"Kalian diamlah disitu. Tenanglah jangan bergerak. Aku akan segera menolong kalian."balas Teana.

Teana melihat sebuah tongkat kayu tidak jauh dari tempat Almeera berdiri.

"Almeera... lemparkan tongkat itu padaku!"

Dengan cepat Almeera melempar tongkat itu ke arah Teana. Kemudian Teana membuat jalan dengan cara menyingkirkan satu persatu ular dihadapannya.

"Cepat keluar, aku sudah membuatkan jalan untuk kalian." teriak Teana. Tanpa berpikir panjang, para wanita itu segera melangkah keluar.

"Almeera.... Segera perintahkan orang -- orang untuk membuat api unggun. Buatlah api unggun itu tepat dibawah anak tangga. Agar aku mudah melempar mereka keluar dan membakar seluruh ular ini." perintah Teana sambil terus mengumpulkan ular -- ular itu ke satu titik tepat dibawah anak tangga.

"Baik Tuan!" ucap Almeera yang segera berlari keluar untuk mencari bantuan penduduk.

Teana terlihat sibuk mengusir ular -- ular itu. Seekor ular terkena sabetan tongkat Teana. Ia terluka dan berlari menghilang dibalik pilar. Teana membiarkannya lolos. 

Dalam waktu yang tidak terlalu lama, akhirnya ular -- ular itupun berhasil dikumpulkan dan dibakar seluruhnya. Asap pekat membumbung ke udara.

Ketika Teana hendak meninggalkan kuil, ia merasa seseorang sedang mengintainya dari balik pilar kuil dibawah patung singa bersayap. Ia berhenti sejenak untuk memeriksa keadaan kuil. Namun ia tidak melihat seorangpun disana. Kemudian ia berjalan menuruni tangga kuil. Dibawah tangga, para penduduk berkumpul dan mengucapkan banyak terimakasih kepada Teana atas bantuannya. Teana tersenyum.

Sementara itu rombongan Ghalib dan Rashad mulai memasuki Kota Petra setelah setengah hari perjalanan dari Kota Hegra. Rombongan mereka disambut oleh kepulan asap hitam dari kejauhan.

"Apa yang terjadi disini? Sekacau itukah keadaan kota ini?" tanya Ghalib keheranan.

"Mungkin saja itu ulah para perampok Tuan, mereka mungkin sedang melakukan penjarahan kepada para penduduk." ucap prajurit pengawal.

"Ucapanmu mungkin benar. Sebaiknya kita segera kesana untuk memastikan apa yang sedang terjadi." sahut Rashad.

"Baik Tuan." ucap prajurit itu.

"Rashad ada benarnya juga. Segera suruh anak buahmu untuk bergerak lebih dulu." perintah Ghalib kepada prajurit pengawal.

"Baik Tuan. Perintah dilaksanakan."

Begitu mendekati sumber asap hitam berasal, prajurit itu bergegas melaporkan keadaan yang sedang terjadi kepada Ghalib.

Sementara itu Rashad mengamati keadaan di sekelilingnya. Memastikan semuanya aman. Setelah beberapa saat, tiba -- tiba Rashad mendengar seseorang memanggilnya dari kejauhan...

"Ayah.... Ayaaaahhh!"

Rashad berusaha menangkap sumber suara itu berasal.

"Ayaaaaahhh... Aku disini!" teriak Teana sambil melambaikan tangannya.

"Teanaaaa..." balas Rashad dari atas untanya. Senyum mengembang di wajah Rashad. Ia melompat turun.

Mereka berdua nampak bahagia. Sudah cukup lama mereka tidak bertemu. Meskipun jarak Kota Hegra dan Kota Petra hanya membutuhkan waktu setengah hari perjalanan unta, Rashad sengaja tidak menemui putrinya itu. Ia ingin Teana bisa menjalani hidupnya sendiri. Menentukan nasibnya sendiri. Sehingga, pertemuan mereka saat itu adalah sebuah pertemuan yang sangat membahagiakan. Bagi Teana maupun Rashad.

"Bagaimana kabar Ayah? Ada apa Ayah datang kemari?"

"Ayah baik -- baik saja. Ayah kemari ada urusan kerajaan. Kabarmu bagaimana Teana?"

"Ceritanya panjang Ayah, ikutlah bersamaku ke penginapanku. Kita akan bercerita disana."

"Baiklah. Ayah akan ikut denganmu. Tapi sebelum itu Ayah harus memberitahu Tuan Rashad."

"Baik Ayah." jawab Teana sambil memeluk Ayahnya.

Setelah berbincang -- bincang cukup lama, akhirnya disepakati jika rombongan unta milik Ghalib menginap di Penginapan Al Anbath. Tempat yang sama dengan rombongan dagang Teana menginap.

Setiba di penginapan, Teana, Rashad dan Ghalib saling berbagi cerita hingga larut malam.

"Aku kira sudah waktunya kita istirahat." ucap Ghalib.

"Tuan benar. Tapi saat ini aku masih ingin berbicara dengan anakku Teana."

Teana tersenyum memandangi wajah Ayahnya.

"Baiklah kalau begitu. Aku permisi dulu. Silakan kalian lanjutkan obrolan kalian."

"Terimakasih Tuan, semoga istirahat Tuan nyenyak."

Ghalib mengangguk. Lalu ia pergi meninggalkan mereka berdua.

"Tuan Ghalib sepertinya orang yang sangat baik." gumam Teana.

"Ya, memang dia sangat baik. Istri beliau juga begitu."

"Ibu Daleela?" tanya Teana.

"Benar sekali. Kau mengingatnya?"

"Iya Ayah. Dulu waktu ibu kerumahnya, aku ikut kesana. Saat ibu berbincang -- bincang dengannya, aku selalu ditemani oleh Galata. Kami bermain hingga sore."

"Kau memang cerdas. Ingatanmu sangat tajam." puji Rashad. Teana tersenyum.

"Ayah, bisakah kita keluar sebentar?" tanya Teana.

"Hari sudah larut anakku. Tidakkah kau lelah?"

"Tidak Ayah, ada yang ingin aku bicarakan dengan Ayah. Tapi tidak disini."

"Baiklah."

Setelah mereka mengambil jubah bulu meerkat dan memakainya, mereka berdua berjalan keluar penginapan Al Anbath. Mendaki sebuah bukit batu kecil yang terletak tidak jauh dari penginapan.

"Kita duduk disebelah sana saja Ayah." ucap Teana sambil menunjuk sebuah batu besar yang datar permukaannya.

Malam itu udara cukup dingin, kepulan uap keluar setiap kali mereka menghembuskan nafas.

"Ayah, perlu Ayah tahu. Akhir -- akhir ini penjualan Myrrh milikku tidak begitu laku. Sebab Ayah tahu sendiri banyak terjadi penjarahan di kota. Apa yang harus aku lakukan Ayah?"

"Sudahkah kau mencoba mencari wilayah baru untuk berdagang?"

"Belum Ayah. Aku belum memutuskan hendak kemana. Namun Almeera memberiku saran untuk pergi ke Pulau Lycia. Aku bingung. Aku belum pernah pergi kesana sebelumnya. Aku takut mengalami kegagalan Ayah."

"Anakku, kau tidak perlu bingung. Kau tahu pelangi?"

"Iya Ayah. Kenapa dengan pelangi?"

"Pelangi itu indah bukan? Banyak orang yang memuji -- muji keindahannya. Namun apa kau sadar bahwa sebelum pelangi itu muncul, ia harus berhadapan dulu dengan hujan. Apakah kau pernah memikirkan itu?"

"Maksud Ayah apa?" Teana menegakkan badannya. Memandang mata Rashad penuh tanda tanya.

"Makna dibalik itu semua adalah jika kau ingin mengharapkan keberhasilan, maka kau harus berani menghadapi tantangan dan pantang menyerah."

Teana terdiam. Matanya menerawang jauh ke langit Petra yang dipenuhi gemerlap cahaya bintang.

"Aku mulai paham maksud Ayah. Jadi aku harus bangkit dari keterpurukan ini dan memulai lagi dari awal." ucap Teana penuh keyakinan.

"Benar anakku. Belajarlah dari kegagalan."

"Terimakasih Ayah. Kau sangat mengerti aku." ucap Teana.

  Mereka terdiam...

"Oh iya, jadi Ayah kemari karena mendapat tugas dari kerajaan?" tanya Teana kemudian.

"Benar anakku, sejak kejadian minggu lalu, ketika para pendatang dari Kota Petra memasuki Kota Hegra, Raja mendapat laporan tentang keadaan Kota Petra yang mulai tidak aman."

"Lalu?"

"Lalu kami mengadakan pertemuan dengan Tuan Ghalib untuk membahas masalah ini."

"Apakah masalah sudah teratasi Ayah?"

"Belum, malah muncul masalah yang baru."

"Maksud Ayah?"

"Sejak masuknya para pendatang ke Kota Hegra, kejadian aneh muncul. Hewan ternak di Kota Hegra mati dengan kondisi daging mengering. Kejadian terakhir adalah meninggalnya seorang prajurit Petra. Ia meninggal dengan kondisi yang sama persis dengan hewan -- hewan ternak kami.

"Apakah pelakunya berhasil ditangkap?"

"Belum. Namun berdasarkan cerita prajurit yang ikut berjaga malam itu. Prajurit yang masih hidup itu berkata bahwa temannya telah dibunuh oleh seorang manusia ular."

"Aku bisa membayangkan bagaimana keadaan di Kota Hegra saat ini." ucap Teana.

"Sudah pasti mencekam anakku. Oleh sebab itu Ayah datang kemari untuk menyelesaikan masalah ini bersama Tuan Ghalib. Tidak menutup kemungkinan pelakunya berasal dari Kota Petra. Mereka ikut menyusup bersama rombongan pendatang itu."

"Semoga masalah Ayah lekas selesai." ucap Teana.

"Terimakasih anakku."

Lalu mereka berdua berpelukan sambil menikmati indahnya bintang di atas langit Kota Petra.

***

Keesokan paginya, Rashad bersama Ghalib berkeliling kota untuk memantau keadaan. Mereka kembali mendatangi Kuil Singa Bersayap untuk menyelidiki penyebab kerusuhan kemarin. Karena tidak ada sesuatu yang dikerjakan, Teana ikut bersama mereka.

Setelah sampai disana, Ghalib dibuat takjub dengan megahnya kuil. Bagian dalam kuil berlantaikan marmer putih dengan puluhan pilar penyangga bangunan di sekelilingnya. Kedatangan mereka disambut dua patung singa bersayap di pintu masuk kuil.

"Indah sekali kuil ini. Dua puluh tahun lalu ketika aku kemari, kuil ini belum ada."

"Benar Tuan, Kuil ini baru dibangun beberapa tahun yang lalu. Untuk menghormati Dewi Uzza."

"Bukankah di Kuil Al Khazneh sudah ada patung Dewi Uzza? Mengapa ada dua kuil untuk Dewi Uzza?"

"Itu atas usul beberapa pendeta di Kota Petra Tuan. Para pendeta menginginkan keselamatan dan kesejahteraan bagi penduduk disini. Sehingga mereka membangun kuil untuk Dewi Uzza."

Tiba -- tiba...

"Cepat jalan...!" perintah seorang prajurit dari dalam kuil sambil membawa seseorang yang diborgol tangannya. "Cepat menunduk!" prajurit itu mendorong tawanan yang dibawanya agar menunduk dihadapan Ghalib.

"Lapor Tuan, ini adalah salah seorang pelaku kerusuhan kemarin yang berhasil kami tangkap." ucap penjaga kuil. Kemudian prajurit itu membuka kain penutup kepala si tawanan.

"Demi Dewa. Kami memohon perlindunganmu..." ucap semua yang hadir kaget. Wajah si pelaku terlihat jelas. Seluruh wajahnya tertutup oleh sisik ular, lidahnya menjulur keluar mengeluarkan suara mendesis.

"Makhluk apa ini?" ucap Rashad.

"Entahlah Tuan, semalam kami berhasil menangkapnya didalam kuil dalam keadaan tak berdaya."

Sesaat kemudian Teana ingat bahwa kemarin ia sempat melukai seekor ular yang berhasil kabur. Tepat di bagian leher ular itu. Bekas luka itu nampak juga di leher manusia ular yang kini berdiri dihadapannya. Teana hanya diam.

Penyelidikan berlanjut, Rashad dan Ghalib berusaha mendapatkan informasi dari manusia ular itu. Namun usaha mereka sia -- sia. Sebab manusia ular itu hanya bisa mendesis tanpa bisa bersuara layaknya manusia. Mereka hampir putus asa karena tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan.

"Tuan, sebaiknya kita bunuh saja manusia ular ini sebelum diketahui oleh penduduk. Hamba khawatir penduduk akan bertambah ketakutan jika mengetahui adanya manusia ular ini." usul penjaga kuil.

"Jangan. Tunggu dulu. Kita belum mendapatkan informasi apapun darinya. Lebih baik kau penjarakan saja dia. Besok bisa kita lanjutkan penyelidikan ini." ucap Ghalib.

"Tuan Ghalib benar penjaga, lebih baik kau penjarakan dulu manusia ular ini." sahut Rashad.

"Baiklah kalau demikian yang Tuan minta."

Penjaga kuil itupun segera memerintahkan prajurit untuk membawanya kembali kedalam penjara. Namun tiba -- tiba, manusia ular itu ambruk saat hendak berdiri. tubuhnya mengejang. 

Dari dalam mulutnya keluar gumpalan asap hijau. Manusia ular itu tewas. Bersamaan dengan itu, Teana melihat seorang laki - laki berjubah gelap berlari cepat meninggalkan kuil. Ia tidak sempat melihat wajahnya karena laki -- laki itu memakai burka. Saat hendak mengejarnya, Rashad menahannya.

Setelah kejadian itu, Ghalib memerintahkan beberapa prajurit Petra untuk meningkatkan penjagaan di kuil -- kuil di kota. Termasuk di pasar kota yang menjadi pusat kegiatan penduduk. Beberapa hari setelah perintah itu dilaksanakan, Kota Petra kembali tenang seperti semula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun