Mohon tunggu...
Gabriela Moekoe
Gabriela Moekoe Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Sastra

Mahasiswa. Surabaya. Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Polemik Humanitas: Politik Identitas, SARA dalam Politik?

23 Mei 2019   08:17 Diperbarui: 13 April 2022   22:02 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suatu istilah yang marak didengar sekarang ini, politik identitas atau identity politics merupakan konsep yang dikelilingi sentimen kuat serta konotasi yang cenderung negatif. Tetapi, apakah sebenarnya arti politik identitas? Benarkah sifatnya sepenuhnya negatif, ataukah ada aspek-aspek lain dari paham ini yang patut dicermati lebih dalam?

Secara luas, politik identitas adalah sebuah istilah yang merujuk pada suatu ideologi politik, di mana ideologi tersebut didasari oleh kepentingan suatu kelompok yang memiliki kesamaan identitas tertentu, dan bukan sekelompok ide atau pemahaman khusus yang banyak mendasari sistem partai politik. 

Secara sederhana, politik identitas tidak menjunjung tinggi sistem ataupun filosofi tertentu; ia menjunjung tinggi kepentingan suatu kelompok.

'Kelompok' ini bisa dibentuk berdasarkan identitas apapun: ras, suku, agama, usia, disabilitas, bahkan kelas sosial. Contoh pertama digunakannya politik identitas yaitu di Amerika Serikat pada tahun 1974, dengan didirikannya organisasi masyarakat atas nama Combahee River Collective; suatu kelompok wanita berkulit hitam di Boston yang merasakan adanya perlakuan tidak adil, di mana bahkan gerakan feminisme di zaman itu tidaklah cukup untuk memberikan mereka keadilan tersebut. 

Jadi, ideologi politik mereka tidak hanya didasari paham keadilan sosial dalam bentuk kesetaraan gender, yang merupakan fondasi ideologi feminisme.

 Bukan pula ideologi politik mereka didasari konsep seperti Marxisme yang mengindahkan sistem ekonomi khusus, yang menjadi dasar partai komunis. Melainkan, ideologi politik mereka didasari kepentingan bersama setiap orang dengan identitas sebagai wanita etnis Afrika-Amerika.

Lantas, di manakah 'sosok busuk' politik identitas?

Jonathan Haidt, psikolog sosial yang menjadi guru besar di Stern School of Business dalam New York University, berupaya menjelaskan hal ini dalam bukunya, The Coddling of the American Mind: How Good Intentions and Bad Ideas Are Setting Up a Generation for Failure, yang beliau simpulkan dalam video berikut oleh Big Think:


Menurut Haidt, politik identitas bisa dibagi menjadi dua bentuk, berdasarkan kerangka pemikiran utamanya atau motivasi di balik gerakannya. Yang disimpulkan beliau sebagai politik identitas yang 'baik', yaitu ketika didasari perhatian atas kesamaan antar-manusia, dan diwujudkan dalam gerakan-gerakan untuk mencapai kesamaan hak serta perlakuan adil untuk kelompok dengan identitas tertentu tersebut (biasanya kaum minoritas yang tertelantarkan). 

Akan tetapi, yang dilihat beliau sebagai politik identitas yang akhirnya 'destruktif', yaitu ketika didasari ide common enemy atau musuh bersama. 

Dalam bentuk politik identitas yang kedua ini, kelompok dengan identitas tertentu akan bergabung, dan menunjuk pada kelompok lain, hanya karena kelompok tersebut berbeda dari mereka. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun