Mohon tunggu...
Trimanto B. Ngaderi
Trimanto B. Ngaderi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Penulis, Pendamping Sosial Kementerian Sosial RI, Pegiat Urban Farming, Direktur PT LABA Indoagro Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Kesan Menonton Film "Nyai Ahmad Dahlan"

18 September 2017   15:47 Diperbarui: 18 September 2017   15:56 1730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://www.id.wikipedia.org

Kesan Menonton Film "Nyai Ahmad Dahlan"

Oleh: Trimanto B. Ngaderi

Film baru bernuansa religi-historis "Nyi Ahmad Dahlan" menarik minat sebagian masyarakat Indonesia, terlebih bagi kalangan warga Muhammadiyah. Film yang sepertinya merupakan kelanjutan dari film sebelumnya, yaitu "Sang Pencerah" yang merupakan kisah K.H. Ahmad Dahlan, pendiri ormas Muhammadiyah.

Sebagai bagian dari warga Muhammadiyah, tak lantas membuatku terpesona atau memuji film tersebut. Dibanding Sang Pencerah, film ini jauh lebih rendah kualitasnya, baik dari segi alur cerita, karakter tokoh, konflik, maupun isi pesan. Secara umum, aku merasa kurang puas menonton film ini, jika tidak dikatakan kecewa.Beberapa hal yang menjadi catatanku terkait kekurangan atau kelemahan dari film Nyi Ahmad Dahlan, di antaranya:

  • Judulnya aja Nyi Ahmad Dahlan, tapi di keseluruhan cerita justeru yang menonjol peran atau ketokohannya malah Ki Ahmad Dahlan.
  • Alur ceritanya juga kurang terstruktur dan tidak runut, jadi agak susah diikuti atau disimak jalan ceritanya.
  • Konflik antartokoh juga lemah. Mestinya ada peran antagonis yang begitu keras dan gigih menentang peran utama. Misal terkait pemikiran Nyi Ahmad Dahlan, ide atau gagasan, program atau kegiatannya, sudut pandang, prinsip keagamaan yang dianut. Ada kontra yang amat tajam dengan yang selama ini keyakinan dan tradisi masyarakat setempat.
  • Muatan pesan juga kurang membekas dan berkesan di hati penonton. Dialognya masih cenderung dogmatis dan "menggurui". Walau tetap kuakui ada pesan-pesan moral, semangat perjuangan, dan nilai cinta tanah air (patriotisme) yang disertakan dalam cerita.
  • Beberapa segmen cerita terkesan hanya tempelan semata, kurang digarap secara pas dan mencukupi yang membangun sebuah cerita secara utuh. Seperti segmen dokter Belanda yang memeriksa Ki Ahmad Dahlan ketika sakit, segmen penyerangan Ki Ahmad Dahlan di Banyuwangi, segmen tentara Jepang menyerang penduduk, segmen perjuangan Jenderal Sudirman, dll.
  • Setting tempat dan nuansanya belum menggambarkan situasi dan kondisi Yogyakarta era pra-kemerdekaan. Bahasa Jawa yang digunakan pun sebagian terkesan aneh dan belum berasa khas Yogyakarta zaman dulu. Walau di sisi lain juga ada selingan humor khas ala Jawa.

Berbeda dengan Sang Pencerah, karakter tokoh utamanya (Ki Ahmad Dahlan) begitu kuat dan benar-benar mewakili sosok pendiri ormas Muhammadiyah itu. Konflik juga tajam, terutama dengan masyarakat awam yang masih berbeda pandangan dengan beliau, hingga mencapai kimaks dan antiklimaks. Nuansa zaman kolonial dan zaman Kraton Mataram juga cukup terasa dan mewakili, termasuk nuansa Jawa tempo dulu. Tidak terkesan menggurui, sehingga film ini layak ditonton oleh berbagai aliran dan kalangan, pun oleh orang non-Muslim sekalipun.

Ya wajar jika film-film bernuansa Islami masih kurang peminat, bukan karena film Islami itu jelek atau pesan-pesan keagamaan itu tak menarik. Hanya saja penggarapan filmnya saja yang masih perlu ditingkatkan, agar bisa bersaing dengan film-film populer pada umumnya.

Jika digarap dengan baik, film bernuansa Islam tidak hanya akan menjadi film alternatif, tapi malah bisa menjadi pilihan utama, terutama bagi penonton Muslim.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun