Mohon tunggu...
M. Miftah Wahyudi
M. Miftah Wahyudi Mohon Tunggu... Penulis - Alumni Pon. Pes. Ihyaul Ulum

Menjadi anggota aktif komunitas baca di OGB Community Dukun Gresik. Dan pendiri TMB Dunia Aksara.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nalar Keagamaan dan Prinsip Perjuangan Ulama

19 Desember 2012   05:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:23 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sesaat setelah hasil pemilihan umum legislatif DPRD propinsi, kota dan daerah diumumkan (30/4), partai-partai bernuansa agamis turun drastis di kancah perolehan suara. Dari data perolehan suara, seperti PKB di tingkat propinsi Jawa Timur misalnya, di tahun 2004 memperoleh suara sebanyak 6,198,314 dan berhasil menempatkan 30 jatah kursi, kini merosot pada kisaran 13 kursi (Kompas, 01 Mei 2009). Beberapa pengamat menilai hal ini sebagai perubahan minat masyarakat atas peran ulama.

Kharisma dan keunggulan keilmuan agama dalam jangka beberapa bulan terenggut. Pijakan lama yang mengedepankan sisi keagamaan sebagai bagian pendulang suara kini disangsikan. Klaim kebenaran bahwa pendampingan moralitas di masyarakat dapat menguatkan simpatisme masyarakat hari ini mulai dipertaruhkan. Jikapendampingan moralitas di masyarakat berbanding lurus dengan simpatisme atau kepatuhan masyarakat, mengapa perolehan suara partai-partai agamis tidak tercapai? Apakah karena ulama overlaping dari trahnya sebagai pendidik masyarakat? Maka, perlu penjelas tentang iklim demokratis dari fersi ulama itu sendiri, di mana hal ini sebagai mediasi di antaranya.

Suasana kekeluargaan masih kental dibenak para ulama, ketika banyak dari wakil legislatif pusing kepala dengan kekalahan, ulama makin dekat dengan rasa kepercayaan diri, bahwa semua ini adalah pelajaran tentang kehidupan, lebih-lebih demi tercapainya pendidikan demokrasi di negara ini. Mengamati pendidikan demokratis ala ulama, sebenarnya tidak ada kata kalah demi misi pengabdian pada masyarakat. Semua adalah ”sarwa ibadah”, sebuah ranah teologis yang tetap dipegang ulama guna menjebatani kebutuhan dunia dan akhirat kelak.

Dalam konteks perjalanan sejarah, kehadiran ulama selalu ada di pentas politik, baik politik kebangsaan maupun kerakyatan. Di pentas kebangsaan seperti keterwakilannya menyetujui azas pancasila sebagai ideologi berbangsa dan bertanah air, yang diputuskan dari hasil Munas Alim Ulama diujung tahun 1983 di Situbondo. Dan di politik kerakyatan, seperti pendampingan kemasyarakatan dalam bentuk pendidikan agama dan praktek keagamaan itu sendiri. Perjuangan ini tidak cukup satu, dua tahun, sepanjang detik-detik bangsa ini merdeka, kiai tidak pernah lepas tanggungjawab untuk membesarkan bangsa.

Sebagai individu yang berpolitik, kiai ikut menunaikan kewajiban membebaskan dari ketertindasan. Masih ingat di buku sejarah, resolusi jihad yang didegung-degungkan KH. Hasyim Asy’ari melawan pembodohan Jepang lewat ”Saikere”, yaitu menundukkan diri hampir 90 derajad menyamai kondisi ruku’ dalam shalat. Ini adalah satu bukti politis perjuangan ulama, bahwa kita berhak untuk berharkat dan bermartabat. Kemerdekaan untuk melakukan kebudayaan tidak harus dipaksa-paksakan. Nilai sosial-budaya harus sesuai dengan amanat rakyat, lebih-lebih pada nuansa yang bersifat agamis tidak harus tunduk pada kekuasaan tertentu.

Maka, dengan kondisi sekarang di mana banyak ulama yang tidak memenuhi kuota pencapain suara di pemilihan legislatif, jangan lantas dijadikan atribut maupun streotipe negatif, bahwa ulama tidak lagi memiliki sensibilitas sosial dan berpengaruh di masyarakat. Pandangan ini bisa salah sama sekali. Dengan menerima segala keputusan, dikiblatkan pada kemerdekaan masyarakat pemilih, malah menjadi angin segar tumbuhnya pendidikan demokratis yang mulai dirasa di masyarakat.

Mungkin harus ada jawaban atas pertanyaan tentang seberapa besar pengaruh pendidikan moralitas yang mestinya menjadi pendulang suara dan menjadi faktor fital pemenangan pemilu? Perlu difahami, kepentingan pendidikan moral, khususnya agama, adalah nilai ketauladanan diri untuk selalu menghambakan diri pada sang pencipta yang tercermin pada rasa keimanan seseorang. Sedang rasa keimanan tidak bisa dinilai dari seberapa besar ketundukan pada sesama manusia. Tetapi, ketundukan ini sebatas penghormatan yang tidak melampaui nilai teologis, yakni penghormatan atas transmisi keilmuan yang senyatanya hanya sebagai pelantara tumbuhnya rasa keimanan, tidak lebih.

Selain itu, perlu dipertimbangkan juga dua hal; nalar keagamaan dengan praktek keagamaan itu sendiri. Jika nalar keagamaan menjadi akar di mana seseorang dapat menentukan pilihan-pilihan politisnya, tidak lain karena ada setting sejarah yang melatar belakangi bagaimana seseorang tersebut memahami realitas agamanya. Misalnya, pada zaman Nabi Muhammad, nalar masyarakat Islam (baca, Arab) pada waktu itu, agama yang negara, negara yang agama. Dari situ kemudian timbul konflik paska wafatnya beliau. Dan bermunculanlah pemikir-pemikir Islam awal, di mana hal ini lebih banyak dilahirkan dari faktor-faktor persinggungan politik. Akibatnya, perkembangan Islam sampai sekarang tidak bisa terbedakan antara shiyasah, daulah, dan agama, walaupun ada jedah di antara faktor–faktor tersebut.

Itulah sebabnya mengapa disebut sebagai nalar keagamaan. Artinya, bahwa agama sampai kapanpun, kalau tidak bisa melakukan kritik terhadap tradisi keagamaannya, maka agama akan tetap menjadi sesuatu yang manjur, yang rentan untuk dipergunakan dalam perselingkuhan politik bahkan perselingkuhan intelektual. Dengan maksud, nalar keagamaan adalah peran ulama, dalam konteks Indonesia termasuk kiai, dan sebenarnya menurut geneologinya dapat ditarik pada realitas peran ditradisi keagamaan dunia Islam itu sendiri, dalam hal ini Islam ala perjuangan pesantren.

Jadi, jika dahulu (munculnya khittah) ulama berjuang diwilayah nonstruktural, menjaga jarak dengan pemerintahan dan berbasis di masyarakat bawah, semisal menjadi petani-agamis di pedesaan, adalah praktek keagamaan yang didorong kepercayaan bahwa nalar keagamaan yang dibangun saat itu adalah menjauhi dari ”kesesatan politik”, di mana hal ini lebih memungkinkan untuk melakukan pemurnian misi dakwah itu sendiri daripada legalitas kekuasaan yang semu. Sehingga, istilah Abdul Munir Mulkhan, kaum santri adalah bentuk lain dari tradisi ”oposan” yang melakukan tindakan politis dengan menjadi oposisi pemerintahan di luar struktural.

Mengambil pemikiran Al-Jabiri dalam kritik nalar Arab, nalar keagamaan pada tradisi masyarakat Islam terbagi atas dua struktur; terdalam dan struktur terluar, yang secara pola-pola sosiologi masyarakat Islam terbagi tiga faktor, ada kabilah (suku atau kelompok), ghonimah (harta rampasan perang atau secara kontektual dimaknai akset ekonomi), dan yang terakhir aqidah yakni kesamaan teologi. Hal inilah yang dalam sejarah perhelatan agama dan politik dunia Islam menjadi titik dominan.

Untuk itu, dalam rangka merintis kembali simpatisme ulama dalam kehidupan politik praktis, patut kiranya diselami dahulu pergerakan ulama sesuai analisi Al-Jabiri di atas. Pertama, kekhususan kelompok ”kabilah” dikubu kiai diperoleh dari perjalanan keintelektualan mereka, yang jika ditinjauh dari analisis Azzumardi Azra, dirintis dari jaringan ulama Timur Tengah, khususnya di wilayah sentral, Makkah. Namun, perubahan intelektualitas kiai ini terputus seiring perubahan faham teologis di tanah suci. Pada akhirnya, penguatan kekelompokan kiai berkutat pada jaringan pesantren di Nusantara dengan mengedepankan keorganisasian masyarakat seperti NU. Pendelegasian santri dari satu pesantren ke pesantren merupakan indikasi perputaran atau transformasi informasi dan kontrol keilmuan dari satu ke yang lain.

Kedua, ghonimah atau penguatekonomi. Dalam perjalanan pergulatan kiai, cikal-bakal berdirinya pesantren banyak didukung oleh keuletan kiai dalam pembubakan atau pembukaan lahan sebagai tempat berdiam diri. Kesempatan ini juga dipergunakan kiai untuk membuka lahan pekerjaan bagi masyarakat yang mengiringi keberadaannya. Sering kita dengar bahwa tanah perdikan pesantren berawal dari hibah keluarga, atau tanah-tanah mati, tak produktif yang kemudian disulap menjadi tanah perkampungan agama. Hal ini yang menyebabkan tanah-tanah milik kiai adalah tanah-tanah persawahan atau sejenisnya, yang menjadikan mereka sebagai tuan-tuan tanah.

Pada perkembangan masyarakat selanjutnya, keniscayaan perubahan menyebabkan ladang pertanian sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan. Ditambah diinternal kehidupan rumah tangga kiai terjadi transformasi keilmuan pada generasi-generasi selanjutnya. Generasi-generasi pesantren yang mulai memasuki kehidupan serba modern, baik keintelektualan maupun gaya hidup personal. Begitu pula keterbukaan pesantren menerima masukan pendidikan modern dengan memasukkan muatan pendidikan formal sebagai adopsi dari tuntutan masyarakat. Walhasil, perubahan ini, khususnya yang terjadi pada masyarakat, pesantren yang dinanungi kiai harus mencari lahan tandingan sebagai penganti support pendanaan dari masyarakat. Pencarian lahan yang ”mudah” untuk menganti faktor tersebut adalah terjun ke medan politik salah satunya, karena di lahan ini ada nilai positif untuk terus menggandeng masyarakat mendengarkan kebutuhan-kebutuhan mereka.

Terakhir, kesamaan aqidah. Sebagaimana dijelaskan pada poin pertama, keterputusan dengan jaringan ulama Timur Tengah mengubah wajah teologi di Indanesia. Banyak bermunculan gaya islam transnasional yang memiliki keterkaitan kepentingan gerakan islam internasional (baca, kepentingan berdirinya negara Islam dibawah jargon khilafah). Ini merupakan inti perjuangan ulama, karena indikasi perubahan stabilitas nasional yang disisipkan dalam muatan aqidah islam transnasional merongrong praktek keberagamaan Islam ala pesantren yang dikenal lokalitas. Keberhasilan jaringan islam transnasional di beberapa negara di antaranya Indonesia dengan 45 kursi dari 550 kursi (8 persen) pada pemilu 2004, dan sekarang berada urutan lima besar. Makin menunjukkan kebutuhan kiai dalam percaturan politis tersebut.

Maka di akhir tulisan ini, amat salah jika keputusan kiai dalam terjun politis dimaknai sebagai kesalahan perjuangan sebagaimana difahami bahwa perjuangan kiai hanya teruntuk pada pendidikan masyarakat. Kekalahan suara di beberapa partai yang dinanungi personal-personal kiai hanyalah kelumrahan dari sistem demokrasi yang menuntut kerja multitaktik dan strategi dalam misi pemenangan pemilu. Oleh sebab itu, turunnya kiai ke poltik hendaknya dinilai sebagai kewajiban personal sebagai insan politis di mana pun berada.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun