Mungkin bagi sebagian pembaca status ini, judul di atas hanya akan dianggap sebagai mencari sensasi semata. Namun saya memang tergelitik untuk menuliskannya setelah berdiskusi dengan banyak sahabat, yang beberapa diantaranya memiliki ‘nasib’ yang sama, yaitu menjanda atau menduda, dengan berbagai alasan. Berikut, adalah pendapat saya tentang tema di atas. Sekali lagi, ini adalah pendapat saya pribadi. Bukan untuk mempengaruhi, pencitraan ataupun melakukan pembenaran. #PERPISAHAN, adalah sebuah episode kecil dalam kehidupan. Hanya salah satu dari banyak takdir Allah lainnya yang bisa terjadi pada SIAPA SAJA, kapan saja dan di mana saja. #PERPISAHAN, bisa terjadi karena satu hal, BERCERAI. karena kematian ataupun karena alasan lain. Lantas, banyak orang (terutama kaum perempuan) yang seringkali tanpa berpikir langsung saja berkomentar, “Idih, amit-amit deh, jangan sampe saya cerai sama suami, Amit-amit!” Lho, lupakah dia kalau takdir Allah itu mutlak meski kita tak tahu kapan akan terjadi? Bukankah kematian merupakan salah satu takdir Allah dan bercerai karena kematian tentunya juga mutlak akan terjadi? —> Jika merasa bahwa bercerai itu adalah amit-amit, lebih baik jangan pernah menikah saja. dijamin, tak akan pernah bercerai karena alasan apapun. #PERPISAHAN, memang tak pernah diinginkan oleh siapapun, terutama ketika mereka memutuskan untuk menikah. INGATLAH, Jargon “Sekali seumur hidup” atau “Satu untuk Selamanya” bukan hanya merupakan impian segelintir orang saja, melainkan SEMUA ORANG. #Jadi, ketika melihat atau bahkan mengalami sendiri sebuah PERPISAHAN, mengapa banyak dari kita yang merasa alergi karenanya? Bukankah tidak ada yang pernah bermimpi untuk berpisah? Mengapa kita tidak mencoba sedikit saja berempati terhadap takdir yang satu itu, dan menganggapnya sama saja seperti takdir2 Allah lainya, tidak perlu dihina, dilecehkan dan dihindari? #PERPISAHAN, juga seperti KEMATIAN,adalah sebagian kecil dari takdir Allah yang bukan ditakuti melainkan untuk dijalani dengan sebaik-baiknya setelah sebelumnya kita telah mempersiapkan diri untuk menghadapi segala macam kemungkinan terburuk dari Takdir kita di dunia. #JANDA, bukan sebuah status yang diimpikan oleh kaum perempuan. tapi kalau status itu terpaksa harus disandangnya, karena berbagai alasan yang hanya mereka sendiri dan Allah yang tahu kebenarannya, mengapa STATUS itu seperti dijadikan bahan olok-olok, dicemooh, dihindari, bahkan seringkali tanpa sengaja dihina dengan kata-kata, “Amit2 deh kalau gue jadi janda kayak dia!” #JANDA, kata tersebut seringkali dikaitkan dengan konotasi NEGATIF, misalnya JANDA (maaf) GATEL, JANDA KESEPIAN, dan lainlain. Bahkan banyak praktek2 pornografi di Indonesia yang mengaitkan kata JANDA ini sebagai daya tariknya. lantas, apakah salah kalau pada akhirnya banyak diantara pemilik status janda ini (saya salah satunya) yang akhirnya merasa gerah dan lebih memilih untuk menyebut statusnya sebagai ‘orangtua tunggal’, Single Mom, dan ‘single parent’? Tapi mengapa di belakang sana masih saja banyak yang (lagi-lagi) menghina dengan kalimat semisal, “Alaah, mau dbilang single mom kek, single parent, kek, orgtua tunggal kek, tetep aja statusnya JANDA. apa bedanya?” —> Ya, memang tidak ada bedanya, cuma kami ingin merasa lebih dihargai di masyarakat, dan salah satu caranya adalah dengan tidak menyebut kami dengan sebutan yang saat ini marak dipakai dalam konotasi yang tidak baik. Salahkah? #DUDA, seharusnya kedudukannya adalah sama dengan JANDA. Sama-sama sebagai salah satu dari dua pihak PELAKU perceraian, tapi mengapa, posisinya dimata masyarakat dianggap jauh lebih terhormat dibanding kata JANDA? Duda sering dikaitkan dengan istilah DUDA KEREN, dan pernahkah status DUDA itu dikonotasikan negatif misalnya dalam praktek2 pornografi di negeri ini? jarang, bahkan nyaris tidak pernah. #DUDA dan #JANDA adalah sebuah status yang kedudukannya sama, hanya tugasnya saja yang berbeda. Tugas JANDA adalah mengurus dan membesarkan anak-anak yang dihasilkan dari perkawinannya, sementara tugas DUDA adalah MEMBIAYAI alias MENAFKAHI anak-anaknya seperti biasa, kecuali atas kasus-kasus luar biasa yang tidak bisa seperti itu. Sepakat? #TAPI mengapa, pada prakteknya, banyak JANDA rela jungkir balik demi mengurus sang buah hati sendirian, sementara DUDAnya malah asyik terbang bebas kemanapun ia suka, tanpa pernah peduli untuk ikut membiayai atau sekadar menafkahi semampunya? “Ayahnya ada kok, tapi dia gak pernah nitip sekadar uang jajan buat anak2nya.” Pernah mendengar kalimat seperti itu? saya pernah, bahkan mengalami sendiri. Tak jarang malah si mantan suami kabur begitu saja tanpa kabar berita. Hellowww, bukankah anak-anak ini terlahir dari kerjasama kalian berdua? Akhir kata, saya, Lygia Nostalina aka Lygia Pecanduhujan hanya sekadar ingin berbagi pendapat saja. Sudahlah, kalau ada seorang perempuan yang (misalnya) berselingkuh, merebut suami orang, atau melakukan hal negatif dan berdosa besar lainnya, tolong soroti HANYA kelakuan negatifnya saja, jangan STATUSnya. Karena yang bisa melakukan perbuatan-perbuatan berdosa besar seperti contoh di atas itu bukan hanya seorang JANDA bukan? Pun, tolong tempatkan Kata JANDA dan DUDA ditempat yang seimbang dan adil. Semisal, kalau ada perselingkuhan, yang kerap terdengar adalah kata-kata, “Dasar Janda lo! Tukang rebut suami orang!” tapi sangat jarang kita dengar, “Dasar Duda lo!, tukang rebut istri orang!” padahal banyak lho duda-duda di luar sana yang mungkin kelakuannya lebih buruk dari yang perempuan. Mungkin lho yaa.. Perpisahan, Janda, dan Duda, adalah sebuah takdir, yang tidak semua orang pernah akan membayangkan berada di dalamnya. Jadi, mengapa kita tidak mau sedikit saja berempati? Coba, saya ingin bertanya, adakah di antara kalian di luar sana yang ingin SATU MENIT SAJA bertukar tempat dengan kami? Semoga saja tidak ada, dan jangan pernah ada. Mohon maaf jika ada yang tidak berkenan membaca tulisan ini. #NgacaprukSabtu