Mohon tunggu...
Luvita Rahma Dianty
Luvita Rahma Dianty Mohon Tunggu... Jurnalis - Pelajar

Saya adalah seorang pelajar yang sedang berusaha mencari alasan untuk melanjutkan apa yang telah saya mulai

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Buku

21 Maret 2017   06:16 Diperbarui: 21 Maret 2017   16:00 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

            Seperti bulu yang terbang mengikuti arah angin membawanya, diam, pasrah mengikuti apa yang membawanya. Seperti itu pula hidup Mei Fang. Seorang gadis yang dianugerahi wajah yang cantik, kulit putih, rambut hitam panjang, dan senyum yang selalu mengembang di bibir mungilnya. Juga dengan mata bulat yang selalu terlihat bercahaya, menambah kecantikan gadis itu.

            Namun perjalanan hidup Mei Fang tak seindah wajahnya. Ia tinggal di daerah terpencil yang minim akan fasilitas. Sekolah yang ada di daerahnya jaraknya sangat jauh, ia harus menyebrang sungai untuk dapat sampai di sana. Kondisi sekolahnya pun bisa dibilang sangat tidak layak, dengan bangunan yang hampir rubuh dan terancam ditutup. Hal ini juga yang membuat kebanyakan orang tua di daerahnya memilih untuk tidak menyekolahkan anknya dan mengirim mereka untuk bekerja. Hal ini juga yang dilakukan oleh orang tua Mei Fang, mereka memilih menempatkanya untuk menjaga toko kelontong milik mereka, dari pada harus mengirimnya ke sekolah yang selain jauh juga sangat mahal. Mereka merasa hanya dengan mengejari Mei Fang membaca dan menulis sudah cukup untuknya.

            Toko kelotong yang ada di sudut pasar ikan ini menjadi awal mula dari perubahan yang dialami oleh Mei Fang. Pertemuannya dengan seorang pemuda dari kota yang sedang melakukan observasi ke desanya. Pemuda itu bernama Gideon, seorang guru muda yang mengajar bahasa. Pertemuan  itu bermula ketika Gideon datang untuk membeli minuman, mereka pun berbincang. Gideon sangat kaget mengetahui jika Mei Fang dan banyak anak dari daerahnya yang tidak pernah menyentuh bangku sekolah. Gideon pun meminjamkan buku tentang puisinya kepada Mei Fang. Pertemuannya dengan Gideon membuatnya menyukai buku. Buku yang membuka membuka matanya tentang luasnya dunia ini. Buku yang paling Ia sukai adalah buku tentang puisi yang juga adalah buku pertama yang dipinjamkan oleh Gideon kepadanya.  

            Kecintaan Mei Fang pada buku dan puisi semakin lama makin bertambah, terlebih lagi Gideon berencana untuk tinggal lebih lama dan berjanji untuk mengajarinya tentang sastra dan cara membuat puisi. Gideon juga makin sering mengunjungi dan meminjamkan buku-bukunya pada Mei Fang. Perasaan bahagia yang tengah dirasakan Mei Fang karena telah menemukan apa yang membuatnya bahagia, tidak dirasakan oleh kedua orang tuanya. Ternyata tidak menyukai kedekatannya dengan guru muda dari kota itu. Hingga pada puncaknya malam itu mereka bicara pada Mei Fang yang tengah asyik membaca buku yang dipinjakan Gideon “ Tidak usah lagi kau bergaul dengan orang dari kota itu, membuatmu makin malas menjaga toko, lagi pula apa hebatnya membaca buku itu ??? Memang dengan membaca buku uang bisa langsung di dapat ??? Lebih baik kamu fokus menjaga toko, tidak usah lagi kau bertemu pemuda yang tidak jelas asal usulnya itu, bagaimana jika tetangga membicarakanmu nanti ???” Mei Fang hanya bisa terdiam tanpa mengucap satu katapun dan pergi menuju kamarnya.

            Sore itu Gideon datang lagi ke toko kelontong milik keluarganya, dengan senyum Mei Fang menyambutnya dengan hangat. Ia tidak menghiraukan apa yang dikatakan oleh orang tuanya yang ia tau bahwa ia sangat suka membaca dan membuat puisi. Meski ia tau orang tuanya sangat tidak menyetujui hal ini, ia tetap melakukan apa yang ia suka jika tidak sekarang kapan lagi aku punya kesempatan untuk berguru pada orang kota yang mengerti tentang sastra katanya dalam hati. Mereka semakin dekat dan ini membuat orang tua Mei Fang semakin tidak suka karena Mei Fang tidak mendengarkan apa yang mereka katakan dan tetap dekat dengan pemuda dari kota itu. Berkali-kali orang tua Mei Fang memperingatkannya untuk tidak lagi bertemu dengan Gideon, tapi, rasa penasarannya pada sastra lebih besar daripada yang lain, hingga ia tidak peduli dengan apapun selain sastra.

            Sekarang Mei Fang sudah mulai membbuat puisinya sendiri, puisi yang ia buat dengan sepenuh hati. Puisi pertamanya ini sengaja ia buat untuk ibunya yang akan berulang tahun seminggu lagi. Mei Fang berusaha keras agar puisinya ini terlihat mengagumkan dan akan membuat ibunya bangga padanya, dan mengijinkannya untuk tetap membaca dan belajar sastra. Mei Fang sangat bersemangat menulis puisinya ia sampai berkali-kali bertanya pada Gideon karena takut membuat kesalahan. Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba, yaitu hari ulang tahun ibunya. Ya, hari ini ibu Mei Fang berulang tahun, dengan sepenuh hati ia memasukan puisi buatannya ke dalam amplop, menghiasnya seindah mungkin dan meletakkannya di meja makan. Dengan hati yang berdebar Mei Fang mengintip dari balik pintu, ia ingin tau bagaimana reaksi ibunya setelah membaca puisi darinya. Setelah menunggu cukup lama, ia melihat ibunya duduk dan membaca puisinya hatinya makin tak karuan, dalam hati ia berdoa semoga ibunya menyukai puisi yang ia buat.

            Tapi, hal lain yang mengejutkan justru terjadi. Setelah membaca puisi yang ia buat wajah ibunya terlihat berbeda. Wajah ibunya menunjukan sebuah kemarahan, kemarahan yang sepetinya sudah tidak bisa dibendung lagi. Sesaat kemudian ia mendengar teriakan ibunya memanggil namanya yang menggema ke seluruh sudut rumah, seketika tubuh Mei Fang bergetar dan keringat dingin mengalir keseluruh tubuhnya. Dengan perasaan yang takut ia datang menemui ibunya, dengan amarah yang telah memuncak ibunya menyeret Mei Fang ke dalam kamarnya.

            Keesokan harinya dengan senyum yang mengembang Gideon datang ke toko kelontong untuk menemui Mei Fang, ia ingin menanyakan perihal puisi yang dibuat untuk ibunya. Namun, sayang sore itu ia tidak melihat Mei Fang di toko, ia malah mendapati orang lain. Ia memperhatikan orang itu ia bukan ibu atau ayah Mei Fang, dia orang asing yang belum pernah ia lihat di toko itu. Hatinya bertanya kemanakah Mei Fang pergi??? Pertanyaan itu sepertinya, tidak akan ia temukan jawabannya. Lalu melihat ibu Mei Fang berjalan menuju toko, ia menarik nafas dan mengumpulkan semua keberanian. Dengan segenap keberanian yang ia kumpulkan, ia menyapa ibu Mei Fang. Dengan raut muka yang masam ia menatap tajam pada Gideon. Gideon menanyakan keberadaan Mei Fang pada ibunya, dan dengan sinis pula ibunya menjawab “ Buat apa kau mencari anak gadisku itu ??? Kau ingin racuni apa lagi otak putriku itu ??? Kau ajari dia melawan pada orang tua, hanya untuk sebuah puisi yang tak ada harganya itu. Katanya kau guru sastra dari kota ??? Apa ini yang namanya guru ??? Mengajari hal yang tidak baik pada orang lain. Jika benar begitu benar sudah keputusanku untuk tidak menyekolahkan Mei Fang, jika dulu aku sekolahkan dia, sekarang ini dia pasti sok pintar dan bertingkah semaunya sendiri. Tidak usah lagi kau mencari anak gadisku itu, jangan memberi pengaruh buruk padanya. Jika kau ingin menghasut, hasut saja orang kota yang kau ajar, jangan kau hasut anakku agar sama sepetimu. Lagi pula siapa kau ??? Orang asing yang tak jelas asal usulnya. “

            Mendengar ucapan dari ibu Mei Fang, Gideon hanya bisa terdiam dan membisu tanpa bisa menjawab atau menyangkal apa yang dikatakan oleh ibu Me Fang. Dengan berat hati ia pamit kepada ibu Mei Fang. Dengan perasaan kaget dan sakit mendengar kata-kata ibu Mei Fang ia melangkah pergi meninggalkan toko kelontong yang sudah satu bulan ini menjadi tempat ia singgah tiap sore. Meski hatinya tergores ia tetap ingin mencari tau keberadaan Mei Fang. Ia yakin Mei Fang bukanlah orang yang akan pergi tanpa alasan apalagi jika ini menyangkut hal yang ia suka. Sepanjang perjalanannya menuju tempat ia menginap, pikirannya tetap tertuju pada apa yang membuat Mei Fang menghilang.

            Kesokan harinya, ia kembali lagi ke toko kelontong untuk menemui Mei Fang dan lagi-lagi ia hanya mendapati orang lain yang menjaga toko. Ia kembali mencoba untuk menanyakan keberadaan Mei Fang pada ibunya dan ibunya hanya mengatakan kalau ia tidak lagi bisa menemui Mei Fang karena ibunya menganggap bahwa dirinya membawa pengaruh buruk pada Mei Fang. Hingga pada titik dimana ia menyerah, ia menitipkan sebuah buku untuk Mei Fang tapi ibunya menolak buku itu. Buku itu adalah buku yang ingin ia jadikan kado perpisahan pada Mei Fang. Karena telah menyerah akhirnya ia membungkus buku itu menggunakan kertas kado dan memberikan tulisan salam perpisahan untuk Mei Fang. Lalu, keesokan harinya sebelum ia berangkat kembali ke kota ia menaruh buku itu di depan rumah Mei Fang. Di atas buku itu tertulis Baca buku ini dan resapi maknanya, buka halaman terakhir kau akan tau jawaban atas semua pertanyaanmu.

TAMAT.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun