Mohon tunggu...
Luthfi Wildani
Luthfi Wildani Mohon Tunggu... Penulis - Pecinta Hikmah dan Kebenaran

I'm Just The Ordinary Man and Thirsty Knowledge

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dakwah Bil-Hal sebagai Solusi Problematika Umat dan Bangsa

20 Agustus 2019   10:54 Diperbarui: 20 Agustus 2019   11:04 1310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Agama Islam sudah memasuki umurnya yang ke-15 abad, namun di umurnya yang semakin tua ini, Islam justru semakin tergerus oleh zaman, bukan karena ajaran Islamnya, namun karena pemeluknya. Perkembangan zaman yang semakin cepat dan pesat ini, menuntut kita untuk semakin baik dan bijak dalam beragama dan bermasyarakat. 

Bukan malah menjadi 'sampah masyarakat' dan problem maker. Disinilah harusnya seorang muslim harus menjadi problem solver dalam sebuah tatanan masyarakat, karena memang manusia diciptakan sebagai pemakmur bumi kita tercinta.

Setidaknya ada dua metode dakwah Islam yang masih menjadi role model saat ini, yaitu metode ceramah (dakwah bil-lisan) dan metode tulisan (dakwah bil-kitabah). Di zaman keterbukaan informasi dan era media sosial saat ini, semua orang bebas berbicara dan menulis apapun, karena memang media sosial disediakan untuk hal-hal seperti itu. 

Apalagi ditopang dengan undang-undang kebebasan berpendapat yang notabene adalah produk dari demokrasi an sich. Namun permasalahan yang dihadapi sekarang, seberapa kuatkah pengaruh dakwah bil-lisan dan dakwah bil-kitabah di tengah-tengah masyarakat?

Penulis kira pengaruhnya masih kurang optimal dan maksimal, karena justru kedua metode diatas sekarang banyak diselewengkan dan disalahgunakan oleh sebagian penceramah dan  penulis. Maksudnya, justru sebagian penceramah memanfaatkan mimbar ceramahnya untuk menebarkan benih-benih kebencian, permusuhan, pertikaian dan lain sebagianya. 

Ujaran kebencian (hate speech) sudah bukan menjadi hal yang tabu untuk disampaikan, justru menjadi hal yang lumrah dan biasa. Sebagian penceramah juga memanfaatkan mimbar podiumnya untuk kepentingan agitasi-propaganda yang bisa menyebabkan masyarakat akan mudah tersulut emosinya, apalagi menyangkut hal-hal yang sangat sensitif.

Sebenarnya tugas penceramah itu hanya satu, yaitu mengajak masyarakat ke jalan Tuhannya (An-Nahl : 125). Bukan malah mengajak ke jalan kelompoknya, golongannya, mazhabnya, partainya dan lain sebagainya. 

Namun kita memang tidak bisa memungkiri bahwa tiap golongan dan kelompok pasti menginginkan untuk mengajak orang sebanyak-banyaknya masuk ke dalam barisan kelompoknya. Dan itu merupakan sebuah realita dan fakta di lapangan yang tak terbantahkan.

Begitu pula para penulis, semenjak ada media sosial, kata-kata dan tulisan saat ini bukan menjadi 'barang mewah' lagi, tapi sudah menjadi sesuatu yang biasa dan sangat murah harganya. Karena siapapun bisa menulis apapun di media sosial. 

Baik itu tulisan yang berbobot dan berkualitas maupun hanya sekedar tulisan biasa. Sebagian mereka memanfaatkan tulisannya hanya untuk memfitnah kelompok dan golongan orang lain yang tidak seide dan sependapat dengannya. 

Menyebarkan berita hoax yang akibatnya bisa sangat fatal, diantaranya pembunuhan karakter, pembunuhan reputasi dan mungkin bisa sampai pertumpahan darah. Sebagian penulis juga memanfaatkan situasi dan kondisi hanya untuk meraup keuntungan pribadi dengan membawa-bawa isu SARA dalam tulisannya, yang hal itu sangat sensitif di tingkat masyarakat grass-root.

Image yang terbangun sekarang adalah bahwasanya muslim itu hanya bisa ngomong saja, baik lewat lisan maupun tulisan. Namun dalam tataran implementasi, masih kurang dan minim sekali. Kita bisa lihat bagaimana perilaku koruptif masih menjadi penyakit kronis yang tidak bisa disembuhkan. Praktek-praktek pungli yang sudah menjadi budaya ketika kita ingin urusan kita cepat kelar dan selesai. 

Dan itu semua yang melakukan adalah mayoritas beragama Islam. Penulis sadar betul bahwa memang Indonesia itu mayoritas penduduknya adalah muslim, namun bukan berarti kita membenarkan pernyataan bahwa "yaa pantas saja mayoritas koruptor adalah muslim, wong mayoritas penduduknya adalah muslim". 

Bagi penulis, pernyataan tersebut hanyalah sebuah apologi untuk menutupi kebobrokan kita sendiri sebagai umat Islam. Harusnya kita bisa menjadi pelopor dan pioneer untuk tidak melakukan tindakan koruptif dimulai dari hal yang paling terkecil, yaitu diri kita sendiri.

Betapa banyak wacana yang didiskusikan dan diperdebatkan, namun ujung-ujungnya hanya pepesan kosong. Betapa banyak konsep yang disusun dan direncanakan, namun ujung-ujungnya hanya masuk di laci arsip alias zonk. 

Para politisi busuk yang beragama Islam hanya mampu mengumbar janji-janji manis pada saat kampanye, namun setelah terpilih, rakyat dan umat diacuhkan begitu saja, seolah-olah janji-janji manis yang dikampanyekan hanyalah lip service belaka, apalagi janji itu dibalut dengan nuansa relijius, sehingga umat hanya bisa menganggukkan kepala saja seakan-akan janji-janjinya sudah pasti ditepati, karena ada garansi agama. 

Inilah realita kondisi umat Islam di Indonesia pada umumnya. Masyarakat yang rasional tentu tidak serta merta mempercayai janji-janji para politisi busuk jika belum ada buktinya dan belum memiliki track record yang jelas.

Oleh karena itu, salah satu solusi untuk memperbaiki kondisi umat Islam sekarang ini adalah dengan dakwah bil-hal. Sederhananya, dakwah bil-hal itu adalah dakwah langsung dengan tindakan. Bukan berarti penulis mengecilkan peran dari metode dakwah bil-lisan dan bil-kitabah. 

Namun penulis melihat bahwa dakwah bil-hal ini lebih dibutuhkan oleh masyarakat dan umat saat ini, ketimbang dua metode dakwah yang telah disebutkan. Karena masyarakat dan umat sekarang membutuhkan tokoh dan public figure yang bisa dijadikan contoh dan panutan, ketimbang para pragmatis dan oportunis dari kalangan manapun yang hanya memanfaatkan status quo masyarakat. Mereka lebih membutuhkan sosok-sosok yang bisa menjawab problematika yang tengah terjadi baik dari sisi agama, politik, ekonomi, sosial dan lain sebagainya.

Dakwah bil-hal itu cakupannya sangat luas sekali, bukan dipersempit hanya dalam ruang lingkup politik dan agama saja. Karena setiap muslim adalah seorang dai, dalam artian mempunyai tanggung jawab mengemban misi dakwah Islam, minimal untuk dirinya sendiri. 

Maka sudah sepatutnya kita harus memperlihatkan bahwa Islam memang agama untuk semua manusia dan sekalian alam. Yang mau kita dakwahkan adalah nilai-nilai yang terkandung di dalam ajaran agama Islam. Kita harus bisa memperlihatkan cermin keislaman kita dalam kehidupan sehari-hari.

Misalnya, bagi seorang pegawai, yang harus dilakukan adalah bekerja secara profesional dan harus mempunyai integritas. maka secara tidak langsung kita sudah berdakwah kepada orang lain bahwa seorang muslim itu ketika bekerja pasti profesional dan berintegritas. 

Bagi seorang politisi, yang harus dilakukan adalah menepati janji-janjinya pada saat kampanye dengan memberikan bukti yang konkret kepada konstituennya dan sesegera mungkin mengeksekusi program yang harus dijalankan. 

Hal ini secara tidak langsung kita juga sudah mendakwahkan Islam kepada masyarakat bahwasanya seorang politisi muslim itu ketika berjanji pasti akan ditepati dan akan menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya.

Bagi seorang pedagang, yang harus dilakukan adalah mengedepankan kejujuran dalam transaksi jual beli. Tidak boleh menipu dan berbuat kecurangan. Jika barangnya masih bagus ya katakan bagus, dan jika barangnya kurang bagus ya katakan saja kurang bagus, dan lain sebagainya. Perilaku ini secara tidak langsung sudah mempromosikan Islam ke khalayak umum bahwasanya seorang pedagang muslim itu pasti orangnya jujur-jujur.

Bagi seorang penceramah, yang harus dilakukan adalah katakanlah yang benar jika itu benar, dan katakanlah yang salah jika itu salah. Jangan memutarbalikkan kebenaran. Dan sampaikanlah kebenaran itu dengan cara yang benar, bukan dengan cara yang salah dan serampangan. karena ada sebuah adagium arab yang berbunyi "ath-thariqatu ahammu minal maddah", yang artinya metode atau cara itu lebih penting daripada konten. 

Tindakan ini juga mencerminkan keislaman kita bahwasanya seorang penceramah itu memang orang yang pure (murni) menyampaikan kebenaran, tidak ada tendensi dan kepentingan apapun dalam menyampaikannya.

Bagi seorang penulis, yang harus dilakukan adalah menulis sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Jangan sampai kita hanya menjadi jubir berita hoax di media sosial lewat tulisan kita. Jangan sampai juga tulisan kita memuat benih-benih kebencian dan permusuhan kepada kelompok dan golongan lain. 

Jadilah penulis yang menginspirasi banyak orang, menyejukkan dan mendamaikan. Sehingga tulisan kita tidak menyulut pertikaian di media sosial yang tiada ujungnya, apalagi jika kata-kata kotor sudah menjadi bumbu dalam sebuah perselisihan. 

Hal ini juga secara tidak langsung sudah menjadi marketing dakwah kita bahwasanya penulis muslim itu adalah penulis yang selalu menginspirasi orang banyak, kata-katanya menyejukkan dan mendamaikan.

Pada akhirnya, kita memang belum bisa menjadi Rasulullah saw yang tindakannya selaras dengan kata-katanya. Bahkan dalam sebuah riwayat, Aisyah ra menyebutkan bahwa akhlak Rasulullah adalah Al-Qur'an (kaana khuluquhu al-Qur'an). 

Semoga kita bisa menjadi pencipta-pencipta perubahan yang bisa membawa kepada kemaslahatan orang banyak melalui metode dakwah bil-hal, sehingga image umat Islam Indonesia bukan lagi menjadi problem maker, tapi sudah naik level menjadi problem solver dan creator of change. Ini semua dalam rangka mewujudkan baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun